Postingan

Menampilkan postingan dari 2020

Hitam dan Tercemar

  ' Like living in the dream.' Kabut menyelimuti langit pukul 05.30 pagi. Benda tak padat, yang tak bisa digenggam itu menelisik anggun di antara pepohonan, membuat beberapa dahan ketutupan. Seperti di dalam lukisan, kabut itu turun dari langit, ke sela sela pohon, hingga berbaur dengan orang-orang di atas tanah. Kabut datang bersama hawa dingin yang mengungkung sekujur tubuh. Seolah es yang membekukan kulit bagian luar, mendekap kuat tapi tak menghangatkan. Meski dingin menerjang, udara pagi di pegunungan tetap menawan paru paru yang penuh kepulan asap kendaraan dan tembakau bakar. Katlya duduk di pembatas jalan, merapatkan jaket yang dikenakan. Hidungnya memerah dan berlendir, pipinya dingin tapi kenyal seperti kue mochi di dalam freezer. Ia menggosokkan telapak tangannya mencari kehangatan. Seperti naga kehilangan daya, nafasnya menyemburkan asap tanpa api. "Kenapa mbak motornya? Mogok?," seorang pria paruh baya dengan celana pendek dan celurit menghampiri Katlya.

Sebuah Skenario Kematian

 Awan mendung ini datang lagi, setelah bertahun-tahun lamanya berhasil ditahan, diikat dalam sebuah pohon bernama masa lalu. Entah bagaimana, rasanya semua jadi sia-sia, jadi semakin buruk adanya. Kali ini, aku sudah tidak kuat lagi rasanya, ingin sudahi saja semua.  Terkadang aku merasa seperti tengah duduk di sebuah balkon lantai dua, berbincang dengan semua teman dan pacar. Orang-orang yang aku harap masih bisa memberikan aku kebahagiaan dan perhatian. Tapi, di tengah perbincangan aku merasa ingin melompat dari balkon. Aku, ingin terjun begitu saja dari sebuah balkon yang tidak terlalu tinggi bangunannya. Di bawah, aku membayangkan ada sebuah kolam renang, cukup luas untuk berendam sekitar lima puluh orang. Aku, mencoba terjun ke sana.  Memang dasarnya bodoh hitung-hitungan, aku jadi salah perkiraan. kepala ku terantuk tepi kolam renang. Pecah, darahnya bercucuran dan berceceran. Lantai itu jadi basah bersimbah darah. Teman-temanku terkejut, apalagi pacarku. Bagaimana bisa, gadis ya

Aku Bukan Chairil Anwar

Aku ingin lari, jauh, jauh sekali. Kadang aku ingin tenggelam dalam lautan, lalu menghilang di pegunungan. Aku ingin menjauh dari diriku sendiri, ingin lepas jadi diri sendiri, ingin jadi sesuatu yang baru. Aku kehilangan arahku, kehilangan akalku, kehilangan diriku. Aku, tidak tahu siapa aku.  It's hurt. Ini terasa sakit disini. Ini terasa sakit saat aku menepuk dadaku. Ada luka yang tak kasat mata. Luka yang seperti tusukan pisau sangat dalam. Seolah rongga hatimu dikorek dengan benda tajam. Bertahun-tahun, bertahun-tahun sudah luka itu hidup, semakin lebar dan menyebar. Tapi setiap tahun juga kau belajar untuk mengacuhkannya.  Katanya harus sudah lebih dewasa.  Luka itu memudar, oleh perasaan sudah harus lebih dewasa. Tertutupi oleh wajah-wajah palsu yang terus berganti setiap hari. Lama-lama aku lupa aku siapa. Lama-lama aku tidak tahu aku yang mana. Kadang aku terdiam menatap ke dalam cermin, lalu bingung yang di dalamnya itu wajah siapa.  Semakin hari, aku jadi pandai bersand

Senja di Usia Tua

Gambar
Terik mentari perlahan meredup, semburat jingga menutupi genteng rumah dan pohon-pohon di tepi jalan. Cuaca yang panas membuat keringat menimbulkan rasa lengket di badan. Pakaian yang dikenakan sudah lembab terkungkung keringat. Semilir angin sore sedikit memberikan hawa sejuk untuk jiwa-jiwa lelah yang bertaruh hidup di jalanan.  Dalmudi, duduk memangku tangan diatas becaknya. Handuk kecil melingkar di leher yang menampakkan urat-urat perjuangan. Di usianya yang ke 70 tahun, ia masih berjudi dengan nasib. Kaki-kakinya tetap kokoh mengayuh becak untuk dapur yang tetap harus mengepul.  Sorot matanya sayup menatap jalanan yang penuh dengan kendaraan modern bermesin canggih. Asap-asap kendaraan seolah menyapu wajah keriput nan legam Dalmudi dengan kenyataan bahwa dunia tak lagi sama. Semua berubah menjadi lebih kejam dan lebih berisik untuk orangtua papa sepertinya.  Dalam lamunannya, Dalmudi dihampiri pria berseragam coklat-coklat. Langkah tegap mereka berhenti di depan

Pathetic

Dua tahun berlalu sejak aku fikir semua itu sudah berakhir. Katanya, waktu dapat menyembuhkan luka yang menganga. Katanya, lama-lama kita akan terbiasa dengan keadaan yang ada. Ternyata, setiap detik, lebih dari 720 hari aku hanya berpura-pura seolah tidak apa-apa. Bahwa aku baik-baik saja meninggalkannya dan semua kenangan buruk itu.  "Percuma,"  Aku berteriak pada bayangan diriku dicermin. Betapa kerdil dan pengecutnya jiwa yang bersembunyi dibalik sosok yang mencoba mengalahkan dunia ini. Mataku menatap nanar jari-jari kecil yang kumiliki. Bisa apa tangan ini? Mampu menggenggam apa dengan telapak yang sempit ini. Bahkan saat aku terluka dan menangis, mereka tak cukup lebar untuk menyeka semua air yang mengalir atau menutup wajahku yang melebar di bagian pipi.  Di televisi, mereka membantu orang-orang dengan rumah yang 'tak layak' menjadi sebuah 'singgasana' baru yang katanya (lagi) lebih baik. Tapi kenapa, tidak ada yang membantu jiwaku yang su

Corona dan Manusia

Aku baru menyelesaikan dua tulisan ketika sebuah pesan elketronik muncul di layar ponsel.  'Chik, titip cek kondisi pasar sama stok gula ya,' Koordinator Liputan meminta ku meliput situasi pasar ditengah merebaknya wabah Corona. Sejujurnya hari ini, aku tidak merencanakan pergi kemana-mana, aku hanya menghubungi beberapa narasumber untuk melakukan wawancara secara daring, baik melalui sambungan telepon maupun pesan elektronik.  Segera aku pergi mandi dan bersiap-siap. Lima belas menit berlalu, aku siap mengenakan jaket dan masker. Sudah satu bulan belakangan aku terserang batuk dan pilek. Aku juga sudah bertandang ke dokter dan meminum tiga obat berbeda. Katanya, aku hanya terkena flu biasa, ditambah sedikit asam lambung.  Gerimis menemani perjalanan ku menuju pasar di kawasan Bantul. Pasar pertama yang ku kunjungi sudah tak berpenghuni, bahkan nampak gelap dan menyeramkan. Di bawah langit yang mendung aku memacu sepeda motorku, tidak terlalu kencang hanya 40

Selamat Malam, Maya.

Dua orang manusia duduk dibagian luar Cafe yang tidak tersekat oleh dinding ruangan. Seorang wanita yang duduk bersandar pada kursi dengan tangan menyilang di depan dada. Serta seorang laki-laki yang duduk dengan punggung tegap. Menyandarkan lengannya diatas meja dengan tatapan serius menjurus ke lawan bicaranya. Dua gelas minuman berbeda jenis dengan rasa yang sama-sama tidak manis sudah terminum separuh, bertelekan diatas meja. Tanaman english ivy yang menutup dinding bagian luar Cafe mendramatisir suasana diantara mereka berdua. Angin bertiup perlahan mengisi ruas jari dan membelai sela rambut dua orang tersebut.  "Jadi kamu mau apa?" Ucap laki-laki itu berbisik dengan tajam, nada mengancamnya terdengar miris. "Pertanggung jawabkan perbuatanmu." Balas wanita itu tak kalah sinis. Matanya menatap tanpa ada keraguan sedikit pun. Kaki kanannya terangkat kemudian menyilang diatas kaki kirinya.  "Jadi maksudmu gimana?" Laki-laki itu masih menc

Natal Pertamaku

Hari ini aku mendapat undangan untuk meliput perayaan natal disalah satu  TK dan SD di Kota Yogyakarta. Sejujurnya, hatiku merasa takut, gelisah sekaligus juga penasaran dan sangat senang. Ini akan menjadi perayaan natal pertamaku. Akan jadi seperti apa ya? aku benar-benar penasaran. Jadi, sejak pagi aku sudah bersiap-siap memperhitungkan jarak dan waktu tempuh. Setelah kesasar beberapa kali akhirnya aku sampai di tempat tujuan. Saat sampai di depan gerbang, aku membeku sesaat, ragu-ragu ingin masuk ke dalam. Aku memegang ujung kerudung ku sambil membatin, aku boleh masuk gak ya? mereka risih gak ya?. Akhirnya dengan ragu-ragu aku masuk, menyapa seorang pria dengan seragam berlogo sekolah setempat. Aku memarkirkan kendaraan ku serapi mungkin. Pikirku, aku membawa identitas agamaku, sebuah kerudung  hitam yang menjadi penutup aurat. Aku harus bersikap sebaik mungkin. 'permisi pak, apakah benar acara ini disini.' Aku bertanya dengan berhati-hati, jujur aku takut sekali tidak