Hitam dan Tercemar

  ' Like living in the dream.' Kabut menyelimuti langit pukul 05.30 pagi. Benda tak padat, yang tak bisa digenggam itu menelisik anggun di antara pepohonan, membuat beberapa dahan ketutupan. Seperti di dalam lukisan, kabut itu turun dari langit, ke sela sela pohon, hingga berbaur dengan orang-orang di atas tanah. Kabut datang bersama hawa dingin yang mengungkung sekujur tubuh. Seolah es yang membekukan kulit bagian luar, mendekap kuat tapi tak menghangatkan. Meski dingin menerjang, udara pagi di pegunungan tetap menawan paru paru yang penuh kepulan asap kendaraan dan tembakau bakar. Katlya duduk di pembatas jalan, merapatkan jaket yang dikenakan. Hidungnya memerah dan berlendir, pipinya dingin tapi kenyal seperti kue mochi di dalam freezer. Ia menggosokkan telapak tangannya mencari kehangatan. Seperti naga kehilangan daya, nafasnya menyemburkan asap tanpa api. "Kenapa mbak motornya? Mogok?," seorang pria paruh baya dengan celana pendek dan celurit menghampiri Katlya.

Corona dan Manusia


Aku baru menyelesaikan dua tulisan ketika sebuah pesan elketronik muncul di layar ponsel. 

'Chik, titip cek kondisi pasar sama stok gula ya,'

Koordinator Liputan meminta ku meliput situasi pasar ditengah merebaknya wabah Corona. Sejujurnya hari ini, aku tidak merencanakan pergi kemana-mana, aku hanya menghubungi beberapa narasumber untuk melakukan wawancara secara daring, baik melalui sambungan telepon maupun pesan elektronik. 

Segera aku pergi mandi dan bersiap-siap. Lima belas menit berlalu, aku siap mengenakan jaket dan masker. Sudah satu bulan belakangan aku terserang batuk dan pilek. Aku juga sudah bertandang ke dokter dan meminum tiga obat berbeda. Katanya, aku hanya terkena flu biasa, ditambah sedikit asam lambung. 

Gerimis menemani perjalanan ku menuju pasar di kawasan Bantul. Pasar pertama yang ku kunjungi sudah tak berpenghuni, bahkan nampak gelap dan menyeramkan. Di bawah langit yang mendung aku memacu sepeda motorku, tidak terlalu kencang hanya 40 km/jam. 

Tigapuluh menit kemudian, aku sampai di Pasar Jejeran. Seingatku pasar ini buka sampai sore. Pernah aku berkunjung pukul 14:00 WIB dan masih banyak aktifitas yang terjadi. Namun, hari ini berbeda sebagian besar toko sudah tutup. Bahkan tidak ada masyarakat yang biasa berlalu lalang disekitarnya. 

Aku menemukan satu toko kelontong yang masih buka. Seorang wanita duduk dibagian depan toko, tengah membungkus terigu menjadi ukuran 1kg. Seorang lagi wanita datang, membawa gelas dengan cairan putih. 

"Ngapunten bu bade tanglet rego gulo sakniki pinten nggeh," aku bertanya kepada keduanya, terserah siapa yang menjawab. 

"Larang mbak sakniki, 17500 sekilo," Jawab wanita yang baru datang. 

Obrolan kami berlanjut seputar harga kebutuhan pokok dipasar. Ia ramah sekali menjawab beragam pertanyaan ku, meskipun kami belum sempat berkenalan. Selain data untuk tulisan ku, aku juga menangkap beberapa keresahan yang ia sampaikan. 

Nama wanita itu Amanah, ia sudah berdagang di Pasar Jejeran selama 5 tahun. Sebagian besar pelanggannya adalah penjual makanan, mulai dari pengusaha katering, pedagang bakso, hingga pedagang jajanan di sekolah. Virus Corona, tidak menyerang kesehatannya namun menghancurkan mata pencahariannya.

Pasar yang biasa beroperasi hingga sore itu kini sudah berhenti beraktfitas sejak pagi menjelang siang. Harga kebutuhan pokok yang ia jual mulai merangkak naik dengan jumlah barang yang semakin berkurang. Dengan diliburkannya siswa sekolah, para pelanggan Amanah tidak lagi punya pembeli, mereka berhenti berdagang dan berhenti belanja. 

"Bakul bakso nggon ku biasane nggo bali sejuta, saiki sedino paling 300. Nak cah sekolah leren, kabeh yo leren mbak," akunya.

Ada getir dalam ucapannya, kondisi tersebut membuat hatiku berdesir, digelayuti kekhawatiran. Bagaimana jika kita benar-benar harus dirumahkan, apa yang akan terjadi pada pedagang-pedagang kecil. Masihkan mereka memiliki mata pencaharian, masihkan mereka bisa menjajakan dagangannya. Rasanya, solusi tidak hanya sekedar kebutuhan pokok yang dicukupi pemerintah. Nyatanya, perkara hidup lebih besar dari sekedar sandang, pangan dan papan. 

.....

Pagi yang cerah, semoga lekas membaik juga keadaan ibu pertiwi. Sepeda motorku sudah membelah jalanan sejak pukul delapan. Aku berencana pulang, mengobati batuk ku yang mulai membuatku dijauhi orang-orang. Sekedar batuk biasa, aku sudah dicurigai corona. Jalanan nampak lengang, selama dua jam perjalanan aku tak menemui kemacetan. 

Semua masih berjalan sedemikian sama di desa. Orang-orang masih pergi ke kebun, memanen tomat dan seledri. Lomba balap burung masih jadi tontonan wajib di sore hari. Udara yang sejuk memelukku erat, mengisi setiap celah dari tubuhku, seolah menguliti polusi perkotaan yang membekap paru-paru.

"Cari mobil susah sekali, 40 menit saya nunggu gak ada yang lewat,"

Kata paman ibuku saat berkunjung ke rumah. Ia mengeluhkan sepinya jalanan dan liburnya anak sekolah, membuat kendaraan umum jarang yang beroperasi. Di desaku, kendaraan umum masih jarang, hanya lewat pada pukul 06:00 - 16:00 WIB, selebihnya tidak ada. Jadwal lewatnya juga tidak beraturan, masyarakat hanya bisa menunggu di tepi jalan dengan harap harap cemas. 

Pria yang aku panggil mbah itu bercerita, supir bis yang ia tumpangi juga mengeluh, dalam satu hari hanya dapat uang sepuluh ribu. Supir itu sampai tidak berani pulang karena tidak bawa uang. Penumpang utama bis adalah anak sekolah dan pegawai pabrik. Jika kedua tempat tersebut tutup, tentu penumpangnya berkurang hingga 80% lebih. 
.....

Rumah sakit memang tak pernah sepi, area pendaftaran pagi itu sudah dipadati pasien sejak pukul tiga shubuh. Aku mengambil antrian selepas shubuh dan menunggu tiga jam untuk kemudian dapat mendaftar. Terlalu sesak, penuh dan riuh entah kebijakan siapa yang membuat banyak pasien berdesak-desakan sejak pagi buta. 

Satu jam setelah mendaftar, aku akhirnya dipanggil masuk ke ruang dokter. Seorang pria paruh baya dengan rambut yang sepenuhnya memutih, duduk dibalik meja dokter dengan stetoskop menggantung di leher. Sudah sejak jaman kakek dulu, dokter ini dipercaya keluargaku untuk pemeriksaan segala penyakit dalam. 

"Ini Bronko Pneumonia, bagian kanan paru-parunya seperti ada flek. Tolong hindari asap rokok ya mbak," kata Dokter Hudi. 

Setelah melakukan ronsen dan pengecekan saluran pernafasan, ia memberikan diagnosa, berupa radang paru-paru. Aku tidak tahu itu separah apa, namun aku cukup lega setidaknya bukan corona. Sudah cukup aku dipandang penuh curiga hanya karena batuk di depan umum. Aku tidak terpapar virus, aku diserang bakteri. 

....

Aku harus menghabiskan waktu lima hari di rumah, untuk kemudian kontrol lagi ke dokter. Selama itu, aku terkadang ikut bapak dan ibu ke pasar, menjaga toko. Pasar biasanya mulai ramai sejak jam enam pagi dan berakhir di siang hari. 

Namun, pagi ini pasar sepi, seolah tidak aktifitas jual beli. Hanya sesekali pelanggan datang, tidak berbelanja banyak. Di dalam pasr tampak lengang. Wanita-wanita kuat yang keriput dimakan usia, duduk menghadap sayuran yang ia jajakan. Tidak banyak yang ia jual, tidak banyak pula yang terjual. 

Kerutan dibawah matanya menegaskan berapa banyak air mata berhasil ia tangguhkan. Pundaknya yang tak lagi tegap, seolah mengisahkan ribuan beban kehidupan yang ia topang. Berdagang, bukan lagi soal untung-rugi. Bagi mereka, ini soal hidup, bagaimana hidupnya terus berjalan menuju kematian. 

Ada banyak hal yang ditawarkan pedagang pasar selain dagangannya. Tentang prinsip hidup, kejujuran, tanggung jawab, kesetiaan. Sesekali duduk diamlah dan pandangi mereka, betapa hidup tak sesederhana memiliki uang dan keuntungan. 

Jika sayur tak laku dijual, mereka bagikan pada sanak saudara dan tetangga. Terkadang Tuhan begitu baik, langsung membalasnya. Sayur satu kilo itu diganti dengan barang lainnya. Dalam istilah sejarah, disebut sebagai barter. Mereka bertukar barang, agar yang ia punya tak sia-sia, dan orang-orang disekelilingnya bisa menikmati berkah Tuhan bersama-sama. 

....

Sepulang dari pasar, aku membersihkan diri, lalu duduk bersama mbak yang sedang menyetrika pakaian. 

"Corona ki opo to kak?"

Aku sedikit terkejut dengan pertanyaannya. Saat sudah banyak generasi milenial yang mengisi status mereka dengan info corona, masih ada orang-orang disekelilingku yang belum tahu, apa itu corona. Aku sedih, karena aku yakin jika mbak yang masih berusia 20 an saja bingung dengan informasi yang beredar, bagaimana dengan mereka yang usianya lebih tua. 

Dengan bahasa sederhana, aku menjelaskan corona sesuai kadar pengetahuanku. Termasuk ketika ia bertanya pasal sholat jumat dan ibadah di masjid dalam situasi saat ini. Beruntung aku sudah lebih dulu membacanya, sehingga dapat menjelaskan sedikit banyak. 

Mbak mengaku sempat tersulut emosi dengan perintah dilarangnya sholat jumat di beberapa masjid, hingga menuliskan komentar buruk di postingan facebook. Setelah diskusi tersebut, ia mengaku sedikit menyesal sudah berkomentar buruk. Aku senang dapat membantu mbak memahami virus corona, tapi aku juga ingin membantu banyak orang lainnya yang mungkin juga tidak tahu. 

Obrolan kami terhenti karena ibu memanggilku. Aku yakin masih banyak pertanyaan yang belum mbak sampaikan. Semoga sedikit obrolan tadi memberi gambaran singkat tentang corona. 

.....

Sore hari, saat semua anggota keluarga berkumpul di depan tv, menyaksikan sinetron favorit. Bapak merebahkan diri di karpet, lengannya menjadi bantalan kepala. 

"Ah, sayur-sayur do rapayu seledri regane mudun,"

Beberapa bulan belakangan bapak kembali mengolah lahan, karena hasil berdagang tidak lagi mencukupi. Sayur pertama yang ia tanam adalah seledri. Aku pernah sekali ikut ke kebun, seledri bapak tumbuh dengan subur. Batangnya tinggi, daunnya lebat warnanya hijau segar. 

Saat panen sebelumnya, 1kg seledri dihargai Rp 9000, cukup untuk mengembalikan modal. Sekarang saat panen untuk mendapatkan untung, harga seledri hanya Rp 4500/kg.  

Selalu saja begini, saat harga sayuran di kota meningkat tajam, harga sayur di petani malah kerap kali terjun bebas. Sama halnya dengan kisah salah satu anggota BPBD Bantul yang pernah aku temui. Keluarganya adalah petani bawang merah. Saat harga bawang merah di Pasar Giwangan mencapai Rp 34.000/kg. Harga yang diterima petani hanya Rp 14.000/kg. 

dulu, saat usiaku belum genap 10 tahun, aku sering berfikir petani selalu memenuhi kebutuhan kita. Mereka memanen beras, dan sayuran, tapi kenapa mereka tidak kaya. Seharusnya, mereka lebih sejahtera daripada kami yang hanya membeli hasil kerja mereka. Sampai sekarang, pertanyaan itu masih menjadi PR.

.....

Situasi saat ini terasa semakin mencekam, orang-orang diperkotaan mulai mengunci diri dalam rumah. Pedagang kecil dan pengemudi ojek daring mulai kepayahan. Sementara supermarket mulai kehabisan barang. 

Seandainya, kalian berniat mengurung diri di rumah, bolehkah aku titipkan nasib para pedagang di pasar. Saat pagi datang, gunakan jaket masker dan sarung tangan, pergilah keluar berbelanja di pasar. Biarkan setidaknya mereka juga bisa makan.

Aku tahu, belanja di supermarket lebih bersih dan tidak perlu menawar, tapi demi kemanusiaan bisakah kalian juga belanja ke pasar. 

Jika hilang rasa kemanusiaan, mungkin kamu masih hidup setelah badai ini berakhir. Akhirnya kamu dapat kembali berjalan-jalan diluar. Tapi belum tentu dengan para pedagang kecil yang kau tinggalkan. Mereka bisa saja meninggal bukan karena corona, tapi karena kelaparan. 

Terimakasih sudah mengunggah beraga informasi menarik. Tapi bisakah aku titipkan, edukasi orang-orang disekelilingmu. Mereka yang mungkin tidak bisa mengakses media masa. Mereka, yang mungkin tidak paham bahasa-bahasa keren mu. Social distancing, lockdown, carrier virus dan sebagainya. 

Percayalah, Tuhan tetap selalu mengawasi gerak-gerik kita bahkan meski disembunyikan dibalik badai corona. Jika kau mudahkan hidup mereka, Tuhan akan mudahkan hidupmu dan sebaliknya. 

Bahkan seandainya kau tidak percaya Tuhan, kau masih bisa bertindak selayaknya manusia. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGEN DISAYANG TAPI OGAH PACARAN

Sebuah Skenario Kematian