Hitam dan Tercemar

  ' Like living in the dream.' Kabut menyelimuti langit pukul 05.30 pagi. Benda tak padat, yang tak bisa digenggam itu menelisik anggun di antara pepohonan, membuat beberapa dahan ketutupan. Seperti di dalam lukisan, kabut itu turun dari langit, ke sela sela pohon, hingga berbaur dengan orang-orang di atas tanah. Kabut datang bersama hawa dingin yang mengungkung sekujur tubuh. Seolah es yang membekukan kulit bagian luar, mendekap kuat tapi tak menghangatkan. Meski dingin menerjang, udara pagi di pegunungan tetap menawan paru paru yang penuh kepulan asap kendaraan dan tembakau bakar. Katlya duduk di pembatas jalan, merapatkan jaket yang dikenakan. Hidungnya memerah dan berlendir, pipinya dingin tapi kenyal seperti kue mochi di dalam freezer. Ia menggosokkan telapak tangannya mencari kehangatan. Seperti naga kehilangan daya, nafasnya menyemburkan asap tanpa api. "Kenapa mbak motornya? Mogok?," seorang pria paruh baya dengan celana pendek dan celurit menghampiri Katlya.

Selamat Malam, Maya.

Dua orang manusia duduk dibagian luar Cafe yang tidak tersekat oleh dinding ruangan. Seorang wanita yang duduk bersandar pada kursi dengan tangan menyilang di depan dada. Serta seorang laki-laki yang duduk dengan punggung tegap. Menyandarkan lengannya diatas meja dengan tatapan serius menjurus ke lawan bicaranya. Dua gelas minuman berbeda jenis dengan rasa yang sama-sama tidak manis sudah terminum separuh, bertelekan diatas meja. Tanaman english ivy yang menutup dinding bagian luar Cafe mendramatisir suasana diantara mereka berdua. Angin bertiup perlahan mengisi ruas jari dan membelai sela rambut dua orang tersebut. 

"Jadi kamu mau apa?" Ucap laki-laki itu berbisik dengan tajam, nada mengancamnya terdengar miris.
"Pertanggung jawabkan perbuatanmu." Balas wanita itu tak kalah sinis. Matanya menatap tanpa ada keraguan sedikit pun. Kaki kanannya terangkat kemudian menyilang diatas kaki kirinya. 
"Jadi maksudmu gimana?" Laki-laki itu masih mencoba menekan lawan biacaranya dengan segala emosi yang ia keluarkan. 
"Kamu sadarkan kamu membuat kesalahan?." Nada perdebatan mulai terdengar dari wanita itu.
Mereka saling menunjukkan emosi masing-masing. Kali ini tangan laki-laki itu menggenggam, seolah menahan luapan emosi yang lebih besar lagi. Sementara wanita disebrangnya juga terus mengeluarkan tatapan penghakiman. Duduknya yang bersandar dengan kaki menyilang, membuat amarahnya tampak elegan. Meskipun sama-sama tidak ingin mengalah, namun wanita itu terlihat lebih mampu mengontrol emosinya. 
"Ahh kamu rumit." Laki-laki itu menyalak, kehilangan batas kesabaran menghadapi lawan bicaranya.
"Kamu yang berbelit." Kalimat itu keluar seperti desisan ular cobra yang mengeluarkan bisa dari mulutnya. 
Mata mereka beradu dengan emosi yang terasa memanas diantara keduanya. Gigi laki-laki itu bergemelutuk menahan letupan amarah. Dia berdiri dari duduknya sambil menarik pistol dari balik kemejanya. Senjata itu terselip dibagian belakang celananya. 
"Jangan macam-macam kamu ya." Bentak laki-laki tersebut sambil menodongkan senjata apinya tepat ke wajah wanita berambut kuncir kuda di depannya. 
"Hah." Wanita itu tertawa sinis melihat moncong senjata yang tepat berada di depan hidungnya. Bahunya sedikit terangkat saat senyum sinis menghiasi paras cantiknya. 
"Kamu pikir aku takut?" Imbuh wanita itu, sambil menggenggam gelas dihadapannya, dan menyesap isinya. Tidak ada raut ketakutan sedikitpun dalam dirinya. Ia hanya tertawa sinis sambil menggelengkan kepala, bahunya ikut terangkat beberapa kali. Sesaat setelah ia membenarkan posisi duduknya, wanita itu menatap penuh kebencian pada laki-laki di depannya. 
"Kamu pikir aku takut?. Tidak. Kalau kau membunuhku? bunuh saja. Toh hidup lebih sulit daripada mati."
Sementara wanita yang ia ancam tidak menunjukkan rasa takut sedikitpun, laki-laki itu nampak sedikit goyah. Wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut, dan kakinya sempat tergerak beberapa senti, seolah mencari pijakan baru untuk menjatuhkan lawannya. 
"Jika aku mati terbunuh olehmu, Tuhan mungkin justru akan mengasihaniku dan mengampuni dosa-dosa sebelumnya. Sementara kau, mungkin akan membusuk di penjara karena menembak ku di depan umum. Bahkan meski aku tidak mati atas pelurumu, ku pastikan kau tetap membusuk di penjara." Wanita itu berkata dengan nada mengancam penuh keyakinan pada pemilik senjata yang mengancam nyawanya.
"Hah? kau pikir aku akan dibiarkan tinggal di penjara? Orang-orang akan mencari dan mengeluarkanku." Laki-laki itu menjawab dengan sedikit rasa getir diujung kalimatnya. 
"Bodoh. Bukan penjara yang akan menghukummu, atau sanksi sosial masyarakat yang akan menelanjangimu di jalanan setiap hari. Tapi penyesalan dan kata hatimu yang selama ini kau bunuh, dan kau buat dirimu sendiri menderita." Wanita itu kembali bersandar, dengan tangan menyilang. Menanggapi ucapan lawan bicaranya dengan santai dan tawa kecil di sela kalimatnya. 
"Hah bangsat!" Laki-laki itu menyalak marah dan menembak ke sembarang tempat. Tangannya yang bergetar membuat tembakannya tidak tepat dan melesat ke barang-barangt disekitarnya.
Pyuwww. Salah satu pelurunya melesat tepat menggores bahu si wanita. Rasa panas yang dihasilkan membuat waita itu terduduk tegas. Di wajahnya, senyum sinis kembali terukir.
"Kau pikir pelurumu dapat membunuhku?" Wanita itu meludah, mengeluarkan penghinaan kepada laki-laki bersenjata di depannya.
Ia lantas berdiri dari duduknya, menendang meja dihadapan mendesak laki-laki bengis didepannya hingga menyentuh pagar. sekuat tenaga ia menekan meja itu, melawan dorongan lelaki yang mencoba mempertahankan raga yang telah kehilangan harga diri. Mereka beradu kekuatan dorongan, rasa sakit dibahu sedikit mengurangi tenaga dengan tatapan tajam menghujam itu. kakinya menapak dengan kuat, mempertahankan posisinya yang sedikit lebih unggul. 
Laki-laki itu semakin terdesak, keringat sudah membasahi telapak tangannya. Pelurunya habis tak bersisa, sementara pecahan kaca berceceran dimana-mana. Suasana cafe berubah mencekam, para pegawai mencoba melindungi pengunjung lain yang lantas meringkuk gemetaran. 
Perang emosi terus bergelora, tatapan tajam saling menusuk sanubari. Adegan panas itu dihentikan oleh sirine polisi yang terdengar dekat. Laki-laki itu semakin panik, ia menendang meja yang mendesaknya secara brutal. Wanita itu jatuh terpelanting diatas pecahan kaca. Telapak tangannya tertusuk ujung kaca yang tajam, bau amis tercium tipis, bersama aroma peluru yang masih menguar. 
Braakkk, laki-laki itu terjatuh saat mencoba kabur dengan melompati tangga balkon Cafe. Senyum sinis nampak dari balik guratan lelah dari wanita yang duduk bersila diatas remah kaca. Peduli setan dengan luka tembak dibahunya, atau tusukan kaca ditelapaknya. Ia puas melihat laki-laki yang mengirim pesan tak senonoh pada rekan-rekan kerjanya kelimpungan mencari perlindungan. Tindak kriminal yang dilakukan laki-laki itu berhasil ditelanjangi publik. Bukan karena usahanya mendesak laki-laki itu, melainkan karena otak yang tertinggal dari balik songsong peluru. 


Dua minggu sejak kejadian yang menggemparkan di Cafe kala itu. Laki-laki berinisial Z ditetapkan polisi sebagai pelaku pelecehan seksual, dan percobaan pembunuhan. Ia didakwa karena mengirim pesan-pesan tidak senonoh kepada pemnyiar perempuan yang tengah bertugas, dengan modus request lagu. Pihak perusahaan radio juga turut mendapatkan sanksi, karena tidak melindungi keamanan dan identitas pekerjanya. Sebab, perbuatan melanggar norma tersebut telah dilaporkan, namun tidak pernah ditindak. 

Maya, gadis yang menantang maut untuk mendesak pria brengsek mengakui kebejatannya, menghilang tepat setelah memberikan kesaksian di kepolisian. Bahkan, wartawan investigasi kelas atas tak dapat meraba jejaknya. Ia menghilang selayaknya siluman bertemu siang. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGEN DISAYANG TAPI OGAH PACARAN

Corona dan Manusia

Sebuah Skenario Kematian