Hitam dan Tercemar

  ' Like living in the dream.' Kabut menyelimuti langit pukul 05.30 pagi. Benda tak padat, yang tak bisa digenggam itu menelisik anggun di antara pepohonan, membuat beberapa dahan ketutupan. Seperti di dalam lukisan, kabut itu turun dari langit, ke sela sela pohon, hingga berbaur dengan orang-orang di atas tanah. Kabut datang bersama hawa dingin yang mengungkung sekujur tubuh. Seolah es yang membekukan kulit bagian luar, mendekap kuat tapi tak menghangatkan. Meski dingin menerjang, udara pagi di pegunungan tetap menawan paru paru yang penuh kepulan asap kendaraan dan tembakau bakar. Katlya duduk di pembatas jalan, merapatkan jaket yang dikenakan. Hidungnya memerah dan berlendir, pipinya dingin tapi kenyal seperti kue mochi di dalam freezer. Ia menggosokkan telapak tangannya mencari kehangatan. Seperti naga kehilangan daya, nafasnya menyemburkan asap tanpa api. "Kenapa mbak motornya? Mogok?," seorang pria paruh baya dengan celana pendek dan celurit menghampiri Katlya.

Sebuah Skenario Kematian

 Awan mendung ini datang lagi, setelah bertahun-tahun lamanya berhasil ditahan, diikat dalam sebuah pohon bernama masa lalu. Entah bagaimana, rasanya semua jadi sia-sia, jadi semakin buruk adanya. Kali ini, aku sudah tidak kuat lagi rasanya, ingin sudahi saja semua. 

Terkadang aku merasa seperti tengah duduk di sebuah balkon lantai dua, berbincang dengan semua teman dan pacar. Orang-orang yang aku harap masih bisa memberikan aku kebahagiaan dan perhatian. Tapi, di tengah perbincangan aku merasa ingin melompat dari balkon. Aku, ingin terjun begitu saja dari sebuah balkon yang tidak terlalu tinggi bangunannya. Di bawah, aku membayangkan ada sebuah kolam renang, cukup luas untuk berendam sekitar lima puluh orang. Aku, mencoba terjun ke sana. 

Memang dasarnya bodoh hitung-hitungan, aku jadi salah perkiraan. kepala ku terantuk tepi kolam renang. Pecah, darahnya bercucuran dan berceceran. Lantai itu jadi basah bersimbah darah. Teman-temanku terkejut, apalagi pacarku. Bagaimana bisa, gadis yang baru saja tertawa di balkon itu terjun bebas dan memecahkan kepalanya di tepi kolam. Tapi aku belum mati, aku melihat semua darah itu mewarnai lantai dan aku tertawa. Aku tertawa melihat luka besar di kening dan darah yang terus mengalir. Kesadaran ku semakin hilang bersama dengan rasa sakit di kepala yang menyiksaku. Tapi aku masih tertawa, karena aku merasa rasa sakit itu mengalihkan apa yang selam ini terpendam di jiwa. 

Karena tidak mati, aku hanya jadi mumi di rumah sakit. Bagian kepala dan lenganku di perbah, begitu juga punggung dan kakiku. Bukan membunuh tubuhku, aku malah menghancurkan tulang-tulangnya, menyedot banyak biaya. Tapi aku masih tertawa. Aku terus tertawa membayangkan betapa menyenangkannya melompat dari atas balkon dan membuat tubuhku terluka. Lalu, darah-darah itu, warnanya sungguh menakjubkan, membuat ku ingin mencium dan menjilatnya. Segar sekali merasakan semua kenestapaan yang mengalir di sekujur tubuh tumpah ruah di ruang terbuka. 

Ya begitulah rasanya setiap kali awan hitam itu datang. Aku terus memikirkannya dalam lamunan, memoles skenario terbaik dari seorang gadis yang melompat dari balkon dengan penuh tawa. Pada setiap lamunan yang membuatku tersenyum, aku puas melihat diriku terkapar dengan darah bercucuran. Terkadang, aku bahkan mempraktikkanya. Aku berbaring di lantai kamar membayangkan tubuh ku terkapar bersimbah darah lalu tertawa, sesekali menjilati darah yang mengalir tidak ada habisnya. 

Tapi itu semua hanya skenario adanya, tidak terbayang bagaimana caranya mengajak orang-orang yang aku kasihi itu ke sebuah penginapan dengan sebuah balkon menghadap ke kolam renang hanya untuk menyaksikan ku yang sudah lelang berjuang menghabisi hidup. Ahh sulit sekali pasti menentukan waktunya. Lalu, bagaimana dengan pemilik kolam yang akan kehilangan pelanggan karena takut arwah ku gentayangan. Jika aku memutuskan mati, itu karena aku ingin menemui kedamaian, bukan malah menjarah kebahagian orang dan menyusahkan. 

Skenario lainnya, aku masih seorang gadis yang banyak tertawa setiap harinya. Ragaku tengah terbaring diatas kasur bertingkat dalam ruangan 3x3 meter yang disewa dengan harga Rp 500.000 perbulannya. Aku tidak melakukan apa-apa hanya sedang merasa terluka dan merasa tidak beruntung dengan yang aku dapatkan dalam hidup. Tiba-tiba aku yang sudah tidak bisa mengeluarkan air mata ini terduduk, merangkak ke arah meja komputer di sudut ruangan. Di bawah meja itu ada segelas peralatan makan berupa sendok, garpu, dan sebilah pisau. 

Aku pandangi pisau itu, lalu aku ambil dan genggam. Aku gesekkan ujung di pergelangan tangan. Belum, aku belum mengirisnya. Aku baru merasakan sensasinya. Dingin. Aku menikmatinya. Lalu aku sentuh ujungnya yang tajam, hingga telunjukku terluka. Seperti Aurora si gadis kerajaan apakah aku akan tidur dan bertemu pangeran setelahnya? ah kok bullshit rasanya. Jadi aku mulai membayangkan aku goreskan luka di pergelangan tangan dengan mata pisau yang tajam. Ahh goresan pertama segaris darah keluar, menyenangkan. Melihat bagaimana darah itu mengalir, setetes demi setetes di pergelangan tangan, ingin aku hisap dan hirup. Beginikah rasanya kehidupan dalam tubuhku. 

Tapi tenang, lagi-lagi itu hanya khayalan. Jika kamu lihat sekarang tanganku penuh coretan, itu adalah sebentuk usaha agar aku tidak melukainya. Alay. Iya memang begitu kelihatannya. Seperti bocah ABG yang baru kenal tinta pena, aku banyak menggambar di tangan. Kadang isinya kata-kata kasar, bukan sok gaul seperti para selebriti, tapi ini caraku melawan susahnya hidup yang ku jalani. Iya gak usah kamu ceramahi, aku juga tahu hidup semua orang itu berat. Tapi bolehkan aku melewatinya dengan caraku sendiri, dengan menulis skenario kematian misalnya. 

Pada akhirnya, aku masih takut berjumpa dengan kematian, takut tidak terima Tuhan jadi umat-Nya. Meskipun, saat aku menyusun sebuah skenario kematian, aku merasa jadi hamba yang paling lemah imannya. Maafkan aku Tuhan untuk tidak menghargai setiap nafas yang engkau berikan. Tapi jika boleh jujur, rasanya sesak sekali di sini, meskipun aku tak punya gangguan pernafasan. Aku juga jadi bertanya, bagaimana jika Tuhan tiba-tiba ambil nyawaku, tanpa aku susah payah membunuhnya, apa aku benar-benar siap pergi ke neraka. 

"Kaya udah punya bekal aja," ujar seorang pemuda berusia 22 tahun yang aku ceritakan bagaimana aku ingin mengakhiri hidup ini. 

Iya, aku belum punya bekal untuk dibawa menemui kematian. Tapi aku juga kehabisan bekal untuk melanjutkan kehidupan. Rasanya, hari-hari ini hidup berjalan begitu saja. Tanpa arah dan tujuan, ketika teman-temanku bercerita soal Jepang, karir, cita-cita, impian, lanjut s2 dan aku masih terbengong dengan ide pikiran 'bagaimana cara melanjutkan kehidupan,'. 

Ceritakan padaku, bagaimana bisa kalian bertahan dalam hidup ini. Saat ini semua sedang terasa begitu sulit dan hancurnya untukku. Bagaimana caranya agar aku bertahan menjalani hidup hari demi hari, memaknai setiap tarikan dan hembusan nafas yang Tuhan beri. Kadang aku juga bingung kenapa Tuhan biarkan aku hidup seperti ini. Kenapa juga orang harus dipaksa tetap hidup saat ia merasa dunianya sudah hancur lebur. Rasanya sakit sekali, hidup di balik senyuman hanya karena tidak ingin jadi perhatian. Bukan, terkadang saat seseorang sudah sekarat dan mencari pertolongan lalu orang-orang disekitarnya hanya akan bilang, 'Semangat yaa jangan sedih lagi ayo senyum,'. Lalu mereka menipu diri sendiri dengan tersenyum hanya agar orang-orang tidak berteriak menyemangatinya. 

Bisakah, saat seseorang terseok dengan masalah hidupnya, lalu para bedebah yang berteriak semangat itu hanya merengkuhnya, menepuk pundaknya. Terima saja sedihnya, biarkan ia terluka sedalam-dalamnya. Genggam tangannya sembari ia terseok mencari makna hidupnya. Hanya, terima saja, biarkan ia terluka dan menangis di sisimu. Setidaknya ia jadi tahu, bukan hal yang salah untuk merasa sedih dan terluka, meski kamu seorang yang taat beragama. 

Aku sekarat, bukan karena terserang kanker atau mengalami kecelakaan atau bahkan karena bayangan ku soal terjun dari sebuah balkon terwujud. Aku sekarat, sebab raga ku hidup dengan sebegitu baiknya, banyak makan dan tersenyum. Tapi jiwaku melayang-layang entah kemana, berteriak minta tolong tanpa pernah didengar, mengharap kematian tapi takut akan ajal. 

Suatu hari, jika aku kembali membaca ini dan entah bagaimana aku selamat dari sekarat, aku ingin berkata terima kasih. Entah untuk apa, hanya saja terimakasih yang banyak. Mungkin, suatu hari aku juga akan menyesali tulisan ini, tapi hari ini aku hanya ingin berbagi tentang apa rasanya punya pikiran soal kematian dalam lamunan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

jauh

KKN (Kisah Kasih Nyata), Mitos atau Fakta ?

PENGEN DISAYANG TAPI OGAH PACARAN