Hitam dan Tercemar

  ' Like living in the dream.' Kabut menyelimuti langit pukul 05.30 pagi. Benda tak padat, yang tak bisa digenggam itu menelisik anggun di antara pepohonan, membuat beberapa dahan ketutupan. Seperti di dalam lukisan, kabut itu turun dari langit, ke sela sela pohon, hingga berbaur dengan orang-orang di atas tanah. Kabut datang bersama hawa dingin yang mengungkung sekujur tubuh. Seolah es yang membekukan kulit bagian luar, mendekap kuat tapi tak menghangatkan. Meski dingin menerjang, udara pagi di pegunungan tetap menawan paru paru yang penuh kepulan asap kendaraan dan tembakau bakar. Katlya duduk di pembatas jalan, merapatkan jaket yang dikenakan. Hidungnya memerah dan berlendir, pipinya dingin tapi kenyal seperti kue mochi di dalam freezer. Ia menggosokkan telapak tangannya mencari kehangatan. Seperti naga kehilangan daya, nafasnya menyemburkan asap tanpa api. "Kenapa mbak motornya? Mogok?," seorang pria paruh baya dengan celana pendek dan celurit menghampiri Katlya.

Senja di Usia Tua


Terik mentari perlahan meredup, semburat jingga menutupi genteng rumah dan pohon-pohon di tepi jalan. Cuaca yang panas membuat keringat menimbulkan rasa lengket di badan. Pakaian yang dikenakan sudah lembab terkungkung keringat. Semilir angin sore sedikit memberikan hawa sejuk untuk jiwa-jiwa lelah yang bertaruh hidup di jalanan. 

Dalmudi, duduk memangku tangan diatas becaknya. Handuk kecil melingkar di leher yang menampakkan urat-urat perjuangan. Di usianya yang ke 70 tahun, ia masih berjudi dengan nasib. Kaki-kakinya tetap kokoh mengayuh becak untuk dapur yang tetap harus mengepul. 

Sorot matanya sayup menatap jalanan yang penuh dengan kendaraan modern bermesin canggih. Asap-asap kendaraan seolah menyapu wajah keriput nan legam Dalmudi dengan kenyataan bahwa dunia tak lagi sama. Semua berubah menjadi lebih kejam dan lebih berisik untuk orangtua papa sepertinya. 

Dalam lamunannya, Dalmudi dihampiri pria berseragam coklat-coklat. Langkah tegap mereka berhenti di depan becak Dalmudi. Lengan kokoh itu memberikan sekotak makanan kepada Dalmudi yang tersadar dari lamunannya. Sekotak makanan itu terlihat seperti oase di padang pasir. Layaknya air dari sumur yang ia teguk dibawah sengatan sang surya.

"Terimakasih pak, terimakasih," Dalmudi menundukkan badannya penuh hormat. 

Tentu saja, sebagaimana layaknya bantuan di era digital, semua serba meriah dengan jepretan kamera. Bibir Dalmudi tak tertarik ke sisinya, meski ia bahagia dengan rizki yang mendatanginya, namun hidupnya masih terlalu pedih untuk sebuah senyuman. Tatapan senjanya masih menghiasi cekung mata yang dalam itu. 

Sang surya telah duduk diperaduan, kegelapan mengisi separuh lebih permukaan bumi. Dalmudi menaruh kotak makan itu di kursi penumpang, baik-baik ia jaga nasi itu jangan sampai tumpah atau rusak. Ia mengayuh becaknya pulang ke rumah. Begitu berat beban yang ia bawa, bukan karena ada penumpang bertubuh besar, tapi karena lagi-lagi tidak ada penumpang yang menjadi perantara rizki dari Tuhan. 

Adzan berkumandang bersaut-sautan dari berbagai corong masjid yang berlomba menjadi paling keras disekitarnya. Dalmudi tiba di halaman rumahnya dengan peluh yang membasahi sebagian kaus putih usang bergambar pemimpin yang ingkar janji. Perut Dalmudi meronta mengharap ada makanan yang bisa diolah. 

"Assalamualaikum," Dalmudi masuk ke rumah kayu yang sudah ia diami selama separuh abad hidupnya. 

Nasi kotak pemberian pasukan pria berdada bidang tadi ia letakkan diatas meja dekat dengan tempat nasi yang sudah sepekan tak bergeming. Suriah, istri Dalmudi keluar dari balik kelambu yang menjadi pembatas antara kamar dan ruang tamu. Ia mendekat ke meja, mengambil teko air dan menuang isinya ke dalam gelas kaca. 

"Minum dulu pak," Suriah mengulurkan gelas bergambar bunga pada pria yang sudah menanggung hidupnya untuk puluhan tahun lamanya. 

Dalmudi mengangguk, sambil mengibaskan handuknya untuk mengusir gerah, ia menenggak air putih itu seolah minuman ternikmat di dunia. Jakunnya naik dan turun seiring dengan air yang terjun melalui kerongkongannya dan berakhir mendamaikan isi perutnya yang gaduh. 

"Nasi kotak lagi mbah?," Gadis kecil berambut cepak dengan baju merah maroon yang meriah keluar dari balik kelambu. 

Kali ini, kerutan di wajah Dalmudi tertarik ke tepian. Ia tersenyum seraya mengangguk kepada cucunya yang baru saja menginjak usia delapan tahun. Kedua anaknya pergi merantau dan bertahan hidup bersama keluarga kecil mereka. Sedangkan gadis kecil itu tinggal bersama kakek neneknya karena kejamnya ibukota akan menciderai ketulusannya. 

Dalmudi membuka kedua lengannya, menyambut cucu kesayangannya ke dalam pelukan. Gadis bernama Fatma itu duduk dipangkuan laki-laki yang mencurahkan seluruh upayanya untuk kesejahteraan keluarga. Fatma membuka tutup nasi kotak berwarna putih tersebut. 

"Ini dari siapa mbah," suara cempreng Fatma memberikan sengatan semangat untuk Dalmudi yang kelelahan dihantam realita. 

"Ini dari pak polisi nduk, tadi mereka masak-masak buat dibagi sama Fatma," Pria yang tak lagi muda itu membangun cerita tentang sekotak nasi yang jadi rizkinya hari itu. 

"Wah lauknya ayam kecap, Mbah Putri mau nggak?," manik mata Fatma menatap perempuan dengan rambut penuh uban yang selalu mendekapnya tiap malam. 

"Mbah putri gak laper, Fatma aja yang makan," Suriah berdiri dari duduknya berjalan menuju kamar mandi. 

"Mbah Kakung mau gak?," cucu kecil itu menawarkan pada kakeknya sambil mencuil potongan ayam yang tampak menggiurkan. 

"Mbah kalau ikut makan, nanti kurang nasinya. Tapi kalau liat Fatma makan, mbah sudah kenyang duluan. Fatma makannya berantakan sih," gurau Dalmudi antara menentramkan cucunya atau perutnya. 

Malam sudah nampak diperjamuan, bulan bertengger dengan anggunnya berpadu dengan bintang yang berebut terang. Dalmudi duduk di ruang tamu, sambil menatap langit malam yang terpampang dari balik jendela rumah yang berlubang. 

"Gak ada yang bagi-bagi sembako lagi pak e?," Suriah datang sambil menyuguhkan teh pahit dalam cangkir yang sompal di ujung gagangnya. 

"Nggak ada bu, sekarang pada bagi-bagi nasi," Dalmudi mencecap teh tawar yang rasa manisnya terbuat dari ketulusan wanita yang bersedia menemani kemalangan hidupnya sekian puluh tahun lamanya. 

Mereka duduk di ruang tamu dengan meja kursi yang ikut menua. Dalam senyap, mereka menguatkan satu sama lain bahwa sekali lagi mereka berhasil menjalani satu hari tanpa nasi dan seperangkat lauk lainnya. Angin malam mengisi ruang-ruang kosong di antara kursi reot dan meja yang berulangkali ganti kaki. 

"Orang sekarang ini apa lebih seneng bagi-bagi sembako ya bu daripada bantu nglarisi becaknya bapak?," kata Dalmudi tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela. 

"Ya setidaknya mereka masih mau membantu pak," Suriah mengikat rambut putihnya yang tergerai sampai punggung, lalu masuk ke dalam kamar menyusul cucu kecilnya menuju alam mimpi. 

Dalmudi ditinggal sendiri, bersama perasaan yang berkecamuk dalam hati rentanya. Di usianya yang sudah memasuki masa senja, ia masih memilih berusaha tanpa mencoba berpangku tangan. Namun peradaban tak berkata demikian, ia justru dipandang layaknya orang papa. Dikasihani untuk diberi bantuan sebulan sekali, tinimbang dibantu mengupayakan nafkah dari usahanya mengayuh pedal becak. 

Jari Dalmudi memilin biji tasbih yang selalu jadi teman setianya kala gundah. Air mata yang mengalir di lekuk keriput wajahnya seolah menggambarkan betapa tak berdayanya ia atas nasib yang telah digariskan. Bibirnya basah akan kalimat memohon ampun atas rasa syukurnya yang kecil, juga basah akan kalimat syukur atas istri yang tabah mendukungnya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

jauh

KKN (Kisah Kasih Nyata), Mitos atau Fakta ?

PENGEN DISAYANG TAPI OGAH PACARAN