Hitam dan Tercemar

 'Like living in the dream.' Kabut menyelimuti langit pukul 05.30 pagi. Benda tak padat, yang tak bisa digenggam itu menelisik anggun di antara pepohonan, membuat beberapa dahan ketutupan. Seperti di dalam lukisan, kabut itu turun dari langit, ke sela sela pohon, hingga berbaur dengan orang-orang di atas tanah.


Kabut datang bersama hawa dingin yang mengungkung sekujur tubuh. Seolah es yang membekukan kulit bagian luar, mendekap kuat tapi tak menghangatkan. Meski dingin menerjang, udara pagi di pegunungan tetap menawan paru paru yang penuh kepulan asap kendaraan dan tembakau bakar.

Katlya duduk di pembatas jalan, merapatkan jaket yang dikenakan. Hidungnya memerah dan berlendir, pipinya dingin tapi kenyal seperti kue mochi di dalam freezer. Ia menggosokkan telapak tangannya mencari kehangatan. Seperti naga kehilangan daya, nafasnya menyemburkan asap tanpa api.

"Kenapa mbak motornya? Mogok?," seorang pria paruh baya dengan celana pendek dan celurit menghampiri Katlya.

Gadis berpipi empuk itu menoleh, dengan mulut yang mengeluarkan asap. Matanya tampak sembab, dengan cengkungan dalam dan bagian bawah yang menghitam.

"Enggak pak. Saya cuma lagi istirahat aja," jawab Lya sambil mencoba menggerakkan kedua ujung bibirnya yang membeku.

"Mbaknya kenapa?," pria itu kembali bertanya, gurat wajahnya seolah menangkap hal yang tak beres dari bahasa tubuh Katlya.

Sederhana saja pertanyaan pria dengan pakaian lusuh dan wajah penuh kerutan di depannya. Tapi bahkan, untuk satu pertanyaan basa basi itu saja, Lya tak bisa memikirkan jawaban. Hatinya penuh dengan berbagai emosi dan kepalanya dihantam ribuan pemikiran.

Tiba-tiba bahu Lya terguncang, bibirnya yang gemetar digigit kencang. Butir kristal cair yang sedari tadi tertahan tumpah ruah begitu saja. Katlya meraung, ia duduk bersimpuh di tepi jalan. Tumpah seluruh penderitaan yang ditanggungnya selama tiga jam perjalanan.

Laki-laki itu lari, meninggalkan Katlya yang kini tak lagi menahan beban emosi yang ia simpan rapi sejak sepeda motornya berjalan pukul 03.00 pagi. Sepanjang perjalanan sampai ke tempat yang tak dikenalnya itu, Lya seolah melamun, hampa, dan kosong hanya ingin terus berjalan.

Dua puluh menit kemudian, pria paruh baya yang membawa celurit kembali dengan seorang wanita dengan perut buncit dan seorang pemuda dengan rambut acak acakan. Pria itu menunjuk-nunjuk Katlya sambil berbicara dengan bahasa Jawa.

"Kae lho mbak e, reti reti nangis dewe (Itu lho mbaknya tiba tiba nangis sendiri)," ujar pria itu.

Pemuda yang datang bersamanya menguap sambil garuk garuk kepala dan sesekali mengucek mata. Sementara wanita yang tengah berbadan dua itu memandang Katlya dengan tatapan penuh rasa iba.

Hormon keibuan yang muncul membuat wanita hamil itu memeluk begitu saja wanita yang tengah meraung di depannya. Ibu hamil ini tak mengucap sepatah katapun, melainkan hanya memeluk wanita di depannya dengan khidmat.

Sepuluh menit lamanya adegan penuh nuansa haru itu berlangsung. Pria paruh baya, dan pemuda yang baru bangun tidur tadi ikut duduk di tepi jalan. Ikut merenung sembari menebak-nebak alasan seorang wanita muda menangis di tepi jalan tak dikenal.

"Mbak kalau sudah tenang, ikut saya ke rumah yuk," ibu hamil menggenggam tangan Lya, membawanya berjalan kaki menuju ke sebuh perkampungan berjarak sepuluh menit berjalan santai dari tepi jalan.

Dengan isyarat mata dan dagu, wanita berbadan dua itu menyuruh adiknya yang datang setengah sadar untuk membawa sepeda motor milik Katlya, berboncengan dengan ayah mereka yang semula hendak pergi mencari rumput lantas mengurungkan niatnya.

Dua wanita muda itu tidak saling berbincang, Kaltya merasakan kehangatan dari telapak tangan ibu hamil yang menggenggamnya erat. Waktu sebentar lagi menunjukkan pukul 07.00 pagi, banyak anak sekolah yang berpapasan dengan mereka. Tidak sedikit warga desa yang sudah mulai beraktivitas.

"Eh Bu Bidan, saking pundi (dari mana)?," tanya seorang wanita yang tengah menjemur pakaian.

"Ini ada tamu dari kota," jawab wanita hamil itu sambil menepuk punggung tangan Lya yang digenggamnya. Ia tersenyum manis sambil mengangguk seraya terus berjalan.

Langkah keduanya memasuki sebuah rumah kayu sederhana dengan pekarangan yang asri banyak tanaman, pohon mangga dan kolam ikan sederhana. Wanita paruh baya lainnya tersenyum dari pintu. Seolah menyadari isyarat tubuh putrinya wanita itu tidak berkata apa-apa.

Ia membiarkan putrinya mengantar 'tamu dari kota' ke dalam kamar. Ruangan itu terlihat sederhana namun rapi, ada sebuah ranjang, almari, dan meja rias. Di dindingnya tertempel foto Bu Bidan dengan seorang pria berseragam loreng hijau.

"Istirahat dulu mbak, nanti kalau sudah lebih nyaman kita makan di luar yaa. Tidur aja gak papa," bidan cantik itu dengan halus membaringkan Katlya yang masih membisu, msnyelimutinya dan mengelus rambut coklat Lya sebelum keluar kamar.

Satu jam pertama, air mata masih membelah pipi gadis kota itu. Ia terisak kecil, namun terdengar oleh seisi rumah. Tidak ada yang menghampirinya, menghibur atau memaksanya diam. Lya terus menangis hingga terlelap.

###

Mata Katlya terasa berat, ia mengerjap-erjap mencoba membuka mata. Tubuhnya terasa hangat, namun kelopak matanya terasa pegal. Gadis berbola mata coklat ini coba memijat pelipisnya. Badannya merasa lelah, namun ia mencoba bangkit dari tidur.

Sesaat, Katlya mencoba mengingat apa yang terjadi padanya hingga tiba di rumah yang asing ini. Ingatannya pulih saat melihat potret sepasang suami istri dengan seragam loreng dan hijau. Ia mengingat bagaimana pertahanannya runtuh di tepi jalan saat ditanya oleh seorang pria paruh baya.

Lamunan Lya buyar saat terdengar suara perbincangan di luar kamar. Wanita muda dan tua tengah membicarakan harga makanan pokok yang melambung, sedang hasil panen mereka justru kian menyusut.

"Sudah enakan mbak badannya?," ujar Bu Bidan dengan senyum ramah saat melihat Lya keluar kamar.

Lya mengangguk malu, bingung harus berbuat apa. Antara malu sudah menangis dan menumpang tidur serta bingung harus berbuat apa. Namun, jujur dari lubuk hatinya, Katlya tak punya banyak daya untuk menghadapi kenyataan yang menghantamnya bertubi.

"Gak papa mbak, sini duduk makan telo goreng bikinan ibu. Enak lho," masih dengan senyum ramahnya, Bu Bidan mencoba membuat Lya tidak sungkan.

"Iyo nduk. Gak usah isin," wanita paruh baya ini turut tersenyum ramah samhil menyodorkan sepiring ketela goreng.

"Nama saya Sari, ini ibu saya Turni. Bapak saya yang tadi pagi Sagiran namanya, kalau yang cowok itu adek saya, Firman. Nama mbaknya siapa?," todong Bu Bidan saat Lya duduk di sampingnya.

"Nama saya Katlya Kusuma Wardani, tapi biasa dipanggil Lya," jawab Lya.

"Mbak Lya ini darimana mau kemana?," kali ini giliran Bu Turni yang mewawancarainya.

"Saya... dari rumah bu. Gak tahu mau kemana," Lya menundukkan kepalanya, ia memilin ibu jarinya. Menahan luka yang menyeretnya hingga ke tempat yang tidak di kenalnya.

"Rumahnya dimana?," lanjut Sari sambil menggenggam tangan Lya. Seolah menyadari keresahan yang membuat tamunya gamang.

"Rumah saya di Jogja," setetes air terjun dari sudut mata Lya menimpa punggu tangan Sari.

"Kok jauh sekali sampai ke Temanggung," jawab Bu Turni.

Lya mulai terisak, sedang Sari makin erat menggenggam tangannya. Disela dengan nafas tersengal, gadis dari provinsi lain ini mulai menceritakan kisah di balik perjalanan pagi butanya sampai ke tempat Sari.

###

Sehari sebelumnya, pukul 15.00 sore, Lya menerima kabar yang menyambar hatinya bagai petir di siang bolong. Sebuah panggilan dari rumah sakit tempat ayahnya di rawat selama satu minggu terakhir.

"Selamat siang Mbak Katlya. Mohon maaf kami mau menyampaikan bahwa bahwa Bapak Tomi dinyatakan meninggal dunia pukul 14.45. Kami sudah berusaha sebaik mungkin untuk menyelamatkan nyawa Bapak Tomi, namun Tuhan berkehendak lain," suara seorang perawat terdengar sangat berhati hati menyampaikan kabar tak menyenangkan itu.

"Baik sus," jawab Katlya singkat dan datar. Gemuruh perasaan dan pikiran tak karuan tak terdengar selain oleh pemilik tubuh itu sendiri.

"Sesuai dengan prosedur penyakit menular, jenazah Bapak Tomi akan diurus dan dimakamkan secara khusus oleh pihak rumah sakit," lanjut perawat di sebrang telepon dilanjutkan dengan menjelaskan berbagai prosedur dan administrasi yang harus diurua Lya.

Hari itu, Katlya pulang lebih awal dari kantornya, wajahnya tampak muram tapi tidak ada air mata yang mengalir. Dengan cepat ia menyelesaikan urusan di rumah sakit, biaya, administrasi dan semua prosedur pemakaman penyakit menular diurusnya dengan baik.

Pukul 18.00 sore saat jenazah ayahnya akan dimakamkan, Abdi, kekasihnya datang bersama sahabat kecil Katlya, Lexia. Mereka memeluk Lya yang masih tak menangis dan menepuk punggunynya. Serta menemani anak perempuan semata wayang itu sampai ke pemakaman.

Tidak banyak pelayat yang hadir, selain karena tidak memiliki banyak kerabat, prosesi pemakaman juga hanya boleh dilihat dari jauh. Namun, di antara beberapa orang yang menyalami Katlya tampak sang ibu bersama dengan keluarga barunya. Mereka tampak harmonis dengan dua anak perempuan yang beranjak remaja.

Wanita yang melahirkan Katlya itu mencoba mencium pipi anak perempuan yang ditinggalkannya lima belas tahun lalu. Namun anak gadis itu menolak, ia menghindar dengan tatapan dingin, enggan didekap perempuan yang tak lagi dipanggilnya ibu itu.

Selama prosesi pemakaman, Lexia terus menggenggam tangan Lya. Sesekali merengkuh pundaknya, seolah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja, masih ada dirinya di sini. Abdi pun tampak sibuk ikut membantu menyalami pelayat.

Jarum pendek menunjukkan pukul 22.00 malam. Semua tamu sudah pulang, tersisa Abdi dan Lexia yang membantu membereskan rumah. Katlya duduk di ranjang sang ayah, mengusap sprei yang seolah masih menangkap bau badan pria yang membesarkannya seorang diri itu.

Belum ada air mata yang menetes sedikitpun. Katlya mendekap kemeja sang ayah, mencium sisa sisa aroma tubuh ayahnya yang masih tertinggal. Ia rengkuh dengan erat baju putih kusam, berharap tubuh ayahnya masih berbalut kemeja pemberiannya dua tahun lalu itu.

Suara gesekan antar benda mengganggu telinga Katlya. Rasa penasaran membawanya ke jendela yang mengarah ke halaman belakang. Dibukanya tirai yang tertutup rapat itu perlahan. Lya mengintip di tengah remang remang cahaya bulan.

Terlihat Abdi duduk di atas kursi taman belakang. Sementara Lexia duduk di atas pria yang dikencani Lya selama lima tahun terakhir. Bibir mereka saling berpagutan, tangan Abdi ganas membuka jaket jeans hitam Lexia hingga jatuh di tanah.

Di tengah kehampaan Lya kehilangan cinta pertamanya, ia melihat pria yang konon akan menikahinya bercumbu dengan sahabat yang dikenalnya selama dua puluh tahun terakhir. Bahkan, Abdi tak pernah mencumbui anak Pak Tomi itu sedemikian ganasnya.

Namun, masih saja tak ada air mata yang menetes di wajah Katlya. Gadis itu berjalan ke halaman besar, mengambil sebongkah batu dan melempari kaca depan mobil Abdi. Sirine mobil meraung-raung seolah meminta ampun atas hukuman yang menyasar padanya.

Tergopoh Abdi berlari ke halaman depan, pakaiannya tampak berantakan. Bahkan reslesting celananya belum dibetulkan. Lexia menyusul dibelakang, rambutnya tampak kusut dan bajunya baru terpakai sebagian.

"Pergi," ucap Katlya, padat, lemah namun mendalam.

Abdi dan Lexia tampak kebingungan, raut panik terpampang di antara kerutan alis mereka. Abdi sempat hendak menjelaskan, mulutnya menganga sembari berjalan ke arah Lya. Namun gadis yatim itu mengundurkan dirinya.

"Pergi! Kalau mau mesum di rumah kalian sendiri aja!," ujar Katlya kini setenga berteriak, setengah tercekat.

Anak semata wayang yang ditinggal ibunya di usia belia dan kini kehilangan ayahnya itu melangkah masuk ke dalam rumah. Mengunci pintu depan dan tak sedikitpun melirik mantan kekasih dan sahabatnya itu.

Ia kembali berbaring di atas ranjang ayahnya, mendekap kemeja pemberiannya yang paling sering dipakai sang ayah. Matanya terbuka hingga dini hari. Perasaannya hampa, seolah ada lubang hitam yang menyedot seluruh gairah hidupnya.

Lubang hitam itu menganga besar di dada Katlya, membuatnya kehilangan kesadaran, hanya tersadar tanpa tahu harus berbuat apa-apa. Hingga akhirnya, ia mengambil kunci sepeda motor memulai perjalanan tanpa tujuan, tanpa bekal.

###

Katlya masih terisak saat menyelesaikan kisahnya. Kini Sari merengkuh pundak tamunya memeluknya dengan erat. Sedangkan Bu Turni mengenggam tangan Katlya kuat, menepuk punggung tangan anak yatim itu, seperti mentrasnfer energi positif.

Gadis sebatang kara ini tak mampu menyampaikan dukanya di depan kerabat, sahabat dan kekasih yang berujung menghianatinya. Namun, di desa yang tak dikenalnya ini, dalam dekapan orang yang tak dikenalnya, Katlya menumpahkan seluruh perasaan yang tertahan.

Terkadang, orang yang paling dekat adalah yang paling menyeramkan. Mereka mampu, menyakiti dengan amat sangat, di bawah kesadaran bahwa kita adalah seseorang berperasaan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGEN DISAYANG TAPI OGAH PACARAN

Corona dan Manusia

Sebuah Skenario Kematian