Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2015

Hitam dan Tercemar

  ' Like living in the dream.' Kabut menyelimuti langit pukul 05.30 pagi. Benda tak padat, yang tak bisa digenggam itu menelisik anggun di antara pepohonan, membuat beberapa dahan ketutupan. Seperti di dalam lukisan, kabut itu turun dari langit, ke sela sela pohon, hingga berbaur dengan orang-orang di atas tanah. Kabut datang bersama hawa dingin yang mengungkung sekujur tubuh. Seolah es yang membekukan kulit bagian luar, mendekap kuat tapi tak menghangatkan. Meski dingin menerjang, udara pagi di pegunungan tetap menawan paru paru yang penuh kepulan asap kendaraan dan tembakau bakar. Katlya duduk di pembatas jalan, merapatkan jaket yang dikenakan. Hidungnya memerah dan berlendir, pipinya dingin tapi kenyal seperti kue mochi di dalam freezer. Ia menggosokkan telapak tangannya mencari kehangatan. Seperti naga kehilangan daya, nafasnya menyemburkan asap tanpa api. "Kenapa mbak motornya? Mogok?," seorang pria paruh baya dengan celana pendek dan celurit menghampiri Katlya.

naskah drama 1

7 pancaran sinar             Tampak di tanah yang kotor dan berbau busuk itu. Seonggok daging hidup masih menderu – deru bernafas. Kian hari tubuhnya kian ringkih. Long – long an jeritan hatinya tak lagi mampu ia kendalikan. Ia bukan tawanan perang, ia bukan pula rakyat sipil korban perang. Ia seonggok daging bernyawa yang pergi mencari hal lain dalam sisi gelap kehidupan. ( sebuah cahaya hadir ) Develin             : anak muda.... siapakah nama mu? Langkah kan lah sepasang kaki itu mendekat pada ku. Ke istana kasih dan sayang. Riou                 : suara siapa gerangankah itu... begitu merdu bagai lantunan doa suci para bidadari. (terbangun dan terseok mencari arah asal suara)             Temaram cahaya itu di tangkap oleh sepasang mata yang telah lama hanya melihat gelap. Ia mendatangi sebuah gubuk yang bercahaya itu. Gubuk yang memancarkan kasih dan sayang. Riou     : wahai wanita... dari sinikah suara bidadari tadi berasal? Develin: lihatlah wajah kuyu mu. Kau

zainuddin

Gambar
  Zainuddin           Langit masih setia dengan warna biru cerah dan gumpalan awan putih tak bernoda siang ini. Aku pun menerawang ke atas sana, menilik ada rahasia tuhan apa yang ditulis di balik kepolosan warna biru siang ini. Namun, itu hanya kesibukan yang aku buat. Demi menentramkan hati yang terus menerus bergejolak. Mataku terpejam hikmah mencoba bercakap dengan Tuhan. Aku bertanya padanya,           “ Tuhan alasan apa kau pertemukan aku dengan dia? Kebetulankah atau?”           Mataku terbuka tak sanggup melanjutkan kalimat yang aku rangkai sendiri. Aku meraba kenangan ku dengannya. Hari pertama aku bertemu dengannya. Semua itu berawal biasa saja. Tidak ada tabrakan saat aku membawa buku. Atau aku terjatuh dan ditangkap olehnya. Atau aku dan dia yang saling menatap untuk sepersekian detik. Apalagi tangan kami yang bersentuhan saat dia membantuku memungut buku ku yang terjatuh.           Pagi itu dia hanya berdiri di atas mimbar. Berteriak dengan suara lantang mener

sekotak pahala yang tumpah

Gambar
Sekotak pahala yang tumpah             Pagi yang cerah mengawali hari yang indah. Seorang gadis cilik berkepang 2 berjalan Setengah melompat. Dengan riang menyusuri jalanan desa yang tampak sepi. Gadis kecil itu bernama mita. Umurnya baru 6 tahun. Tapi dia gadis yang sangat cerdas dan baik hatinya. Tiba-tiba saat mita melewati gank kecil, mita bertemu dengan nenek tua yang membawa sebuah keranjang berisi jajanan teradisional. Nenek itu terlihat sangat lelah dan kesusahan membawa keranjang yang masih penuh itu. Mita pun mendekati nenek itu.             “nenek kenapa? Nenek capek ya?”             “iya nak, nenek lelah. Suami nenek sedang sakit keras. Nenek harus mencari uang untuk biaya makan dan pengobatan kakek. Tapi sejak tadi pagi nenek berkeliling,belum ada yang membeli.”             Nenek itu bercerita sambil terbatuk-batuk dan sesekali mengusap peluh yang terlihat membasahi kening nenek yang penuh dengan keriput. Mendengar cerita nenek, mita tergerak hatinya,berharap