Hitam dan Tercemar

  ' Like living in the dream.' Kabut menyelimuti langit pukul 05.30 pagi. Benda tak padat, yang tak bisa digenggam itu menelisik anggun di antara pepohonan, membuat beberapa dahan ketutupan. Seperti di dalam lukisan, kabut itu turun dari langit, ke sela sela pohon, hingga berbaur dengan orang-orang di atas tanah. Kabut datang bersama hawa dingin yang mengungkung sekujur tubuh. Seolah es yang membekukan kulit bagian luar, mendekap kuat tapi tak menghangatkan. Meski dingin menerjang, udara pagi di pegunungan tetap menawan paru paru yang penuh kepulan asap kendaraan dan tembakau bakar. Katlya duduk di pembatas jalan, merapatkan jaket yang dikenakan. Hidungnya memerah dan berlendir, pipinya dingin tapi kenyal seperti kue mochi di dalam freezer. Ia menggosokkan telapak tangannya mencari kehangatan. Seperti naga kehilangan daya, nafasnya menyemburkan asap tanpa api. "Kenapa mbak motornya? Mogok?," seorang pria paruh baya dengan celana pendek dan celurit menghampiri Katlya.

Pathetic

Dua tahun berlalu sejak aku fikir semua itu sudah berakhir. Katanya, waktu dapat menyembuhkan luka yang menganga. Katanya, lama-lama kita akan terbiasa dengan keadaan yang ada. Ternyata, setiap detik, lebih dari 720 hari aku hanya berpura-pura seolah tidak apa-apa. Bahwa aku baik-baik saja meninggalkannya dan semua kenangan buruk itu. 

"Percuma," 

Aku berteriak pada bayangan diriku dicermin. Betapa kerdil dan pengecutnya jiwa yang bersembunyi dibalik sosok yang mencoba mengalahkan dunia ini. Mataku menatap nanar jari-jari kecil yang kumiliki. Bisa apa tangan ini? Mampu menggenggam apa dengan telapak yang sempit ini. Bahkan saat aku terluka dan menangis, mereka tak cukup lebar untuk menyeka semua air yang mengalir atau menutup wajahku yang melebar di bagian pipi. 

Di televisi, mereka membantu orang-orang dengan rumah yang 'tak layak' menjadi sebuah 'singgasana' baru yang katanya (lagi) lebih baik. Tapi kenapa, tidak ada yang membantu jiwaku yang sudah renta dan reot ini diubahnya jadi jiwa baru yang lebih layak merasa bahagia. Kenapa tidak ada yang mampu menyadari permintaan tolong dari balik senyum yang terpampang manis dalam setiap potret yang ditampilkan. 

"Bagaimana caranya aku masih bisa tertawa setelah semua kejadian itu? Masih berhak kah aku untuk bahagia?," 

Aku duduk sambil memeluk lutut, hawa dingin seolah menyergap tubuhku dengan rentetan peristiwa yang berputar layaknya komedi putar dalam kepala. Lalu aku mulai frustasi kenapa aku bisa hidup dalam situasi sebodoh itu?. Bagaimana bisa aku bertahan selama hampir tiga tahun, dengan orang yang ahh. Bahkan namanya terlalu menyedihkan untuk ku sebut. 

Lampu meredup, ruangan menjadi semakin dingin, film berputar dilayar adegan demi adegan bergulir. Seorang wanita tengah dihajar oleh KEKASIHNYA. Pria yang katanya pelindung bagi kaum wanita itu melayangkan tanganya di udara lalu mendarat dengan keras dipipi wanita itu. Tanganku erat mencengkeram lengan kursi. Adegan itu membuat nafasku terburu. Seperti ada  jeruji kawat yang melilit dileher. Jantungku digelantungi ingatan yang membuat hatiku seolah dihantam batu. 

Dua ratus orang yang menyaksikan adegan itu mungkin menitikkan air mata, berempati pada pemeran wanita. Sedangkan aku mengasihi diriku sendiri yang pernah ada dalam situasi yang sama.  Dikepalaku, bukan lagi pantulan dari adegan film yang berputar. Melainkan sosok diriku yang mengalami perlakuan tak beda. Kami, sama-sama hanya tertunduk pasrah dalam isak tangis berharap mentari pagi dapat merubah sifat biadab menjadi beradab. 

Itu semua terjadi, karena hal-hal kecil yang berlarian seumur hidup, menjadi bumbu-bumbu kehidupan. Pertengkaran dan teriakan, cemburu dan emosi. Semua menjadi sebab pada lebam-lebam yang hilang tertutup luka lainnya. Sering aku mencoba lari, tapi layaknya hewan peliharaan yang terikat lehernya ia selalu menarik ku kembali.

Bibirnya sangat pandai mengucap janji dan kata maaf, bahkan ada air yang mengalir di sudut matanya. Seolah bibirnya dirajut dari ketulusan dan kata-katanya adalah janji tak terbantahkan. Beberapa kali hal itu membuatku tetap tinggal dan selama beberapa saat dia berubah menjadi sosok malaikat. Apapun yang aku inginkan ia selalu memberikannya, bahkan meski bukan barang yang murah. Hingga akhirnya aku merasa muak dan ingin pergi. 

Ancaman dan cacian menjadi santap siang dan malam. Aku mulai kehilangan teman-teman ku, kehidupanku. Seperti anjing yang dibawa berjalan ke taman. Dia selalu memegang tali leher ku, memastikan aku tidak lari, memastikan aku tidak menyalak meminta tolong, memastikan aku tidak begini dan tidak begitu. Pesan-pesan sampah benar meneror indra penglihatan dan pendengaranku. Abai. Berharap waktu akan membunuh semua luka itu beserta sumpah serapah yang jadi pembungkusnya. 

Keluar dari kandang singa aku terjebak di lubang buaya. Aku berhasil memutus rantai yang mengikat leher ku dengan bergelayut dilengan orang lain. Kalimat-kalimat teror mengisi kotak kotak surat. Seolah bertaruh nyawa aku mencoba mencampakkan pria itu. Berlari pada majikan baru lainnya. Ia tak memasang tali dileher, namun ia membuat ku mengejar tongkat yang ia lempar dan membawanya kembali. 

Sayangnya, lengan tempat ku bergelayut tak sedemikian kokohnya. Ia membuat ku tertatih di atas jembatan rumpang. Aku terjebak dalam sebuah kantung semar. Saat aku ingin pergi, hal yang sama terjadi, cengkraman erat di tangan dan kalimat-kalimat sampah mengisi ruang-ruang percakapan. Seperti film layar lebar yang kembali diputar di televisi. Tidak sama besarnya, tapi tetap terjadi. Sebegitu pedih adanya. 

"Sialan!," 

Aku tidak bisa sepenuhnya membenci mereka, semakin aku membenci mereka justru berujung membenci diriku sendiri. Setiap kali amarah terbakar di dada, hanya diri sendiri berakhir babak belur karena pukulan tangan sendiri. Jiwaku meratapi betapa bodohnya diri ini membiarkan mahluk-mahluk itu menjamah kehidupanku. Nafasku sesak setiap kenangan itu menyergap. Mereka menggerogoti jiwaku, membuatnya seolah terjebak dalam kegelapan. Sampai kering sungai yang berhulu disudut mata itu. Sebegitu keringnya hingga hati ini menangis dalam kepedihan yang tidak siapapun akan mendengar. 

Dari rangkain peristiwa itu, kini aku lebih memahami. Bagaimana rasanya ketika tokoh wanita itu dipukuli. Bagaimana rasanya ketika telinga kita penuh dengan sumpah serapah. Bagaimana rasanya menjadi peliharaan dengan tali leher yang tak pernah dilepaskan. Sedikit banyak kini aku mengerti. Sesekali, aku bahkan mengasihani diri. 

Jika sekarang, kalian melihat ku dijalan-jalan meneriakkan tentang kesetaraan. Ini bukan lagi tentang mereka yang tertindas dalam ikatan kasih sayang. Tapi juga tentang aku yang tidak bisa lepas dari kenangan akan hal itu. Juga tentang aku yang masih paham betul bagaimana rasanya perlakuan itu. Memang tidak ada memar yang kini tampak, atau gurat merah cengkraman yang berbekas tapi aku masih paham betul setiap hal yang terjadi. Bahkan, dalam adegan film yang diputar berulang itu aku mengerti bagaimana rasanya. 

Apa aku dendam? Apa aku benci? Entah. Aku hanya tidak suka bagaimana ingatan-ingatan itu bermain-main di kepala, menyergap syaraf-syaraf otakku dan menjadikannya lumpuh akan kewarasan. Aku benci bagaimana kenangan-kenangan itu bergelayut di setiap jengkal tubuhku, membuatku merasa jijik pada diri sendiri. Aku tidak tahu harus merasa bagaimana. Aku hanya ingin lupa bahwa hal itu pernah ada. Aku ingin masa-masa itu hilang dari perjalanan hidupku. Tapi aku tahu tidak akan bisa, semakin aku coba lupa semakin ia menyiksaku dalam ingatan. Sekarang yang tersisa, hanya aku yang berpura-pura tidak apa dalam ingatan yang siap menyergap kapan saja. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

jauh

KKN (Kisah Kasih Nyata), Mitos atau Fakta ?

PENGEN DISAYANG TAPI OGAH PACARAN