Hitam dan Tercemar

  ' Like living in the dream.' Kabut menyelimuti langit pukul 05.30 pagi. Benda tak padat, yang tak bisa digenggam itu menelisik anggun di antara pepohonan, membuat beberapa dahan ketutupan. Seperti di dalam lukisan, kabut itu turun dari langit, ke sela sela pohon, hingga berbaur dengan orang-orang di atas tanah. Kabut datang bersama hawa dingin yang mengungkung sekujur tubuh. Seolah es yang membekukan kulit bagian luar, mendekap kuat tapi tak menghangatkan. Meski dingin menerjang, udara pagi di pegunungan tetap menawan paru paru yang penuh kepulan asap kendaraan dan tembakau bakar. Katlya duduk di pembatas jalan, merapatkan jaket yang dikenakan. Hidungnya memerah dan berlendir, pipinya dingin tapi kenyal seperti kue mochi di dalam freezer. Ia menggosokkan telapak tangannya mencari kehangatan. Seperti naga kehilangan daya, nafasnya menyemburkan asap tanpa api. "Kenapa mbak motornya? Mogok?," seorang pria paruh baya dengan celana pendek dan celurit menghampiri Katlya.

Natal Pertamaku

Hari ini aku mendapat undangan untuk meliput perayaan natal disalah satu  TK dan SD di Kota Yogyakarta. Sejujurnya, hatiku merasa takut, gelisah sekaligus juga penasaran dan sangat senang. Ini akan menjadi perayaan natal pertamaku. Akan jadi seperti apa ya? aku benar-benar penasaran. Jadi, sejak pagi aku sudah bersiap-siap memperhitungkan jarak dan waktu tempuh. Setelah kesasar beberapa kali akhirnya aku sampai di tempat tujuan. Saat sampai di depan gerbang, aku membeku sesaat, ragu-ragu ingin masuk ke dalam. Aku memegang ujung kerudung ku sambil membatin, aku boleh masuk gak ya? mereka risih gak ya?. Akhirnya dengan ragu-ragu aku masuk, menyapa seorang pria dengan seragam berlogo sekolah setempat. Aku memarkirkan kendaraan ku serapi mungkin. Pikirku, aku membawa identitas agamaku, sebuah kerudung  hitam yang menjadi penutup aurat. Aku harus bersikap sebaik mungkin.
'permisi pak, apakah benar acara ini disini.'
Aku bertanya dengan berhati-hati, jujur aku takut sekali tidak diterima di tempat itu. Ternyata, bapak itu tersenyum kemudian mengantarkanku ke ruang tamu sekolah. Dia ramah sekali. Selalu tersenyum dan menjawab pertanyaan ku dengan halus. Kami sempat melewati meja tamu, ada beberapa murid yang mengucapkan selamat datang dan guru-guru yang tersenyum sambil mengangguk perlahan. 
Tidak lama setelahnya, aku bertemu dengan guru yang mengundangku, lalu dia mengantarkan pada ketua panitia. Singkatnya, aku menjalankan pekerjaan ku, wawancara. Observasi lapangan, mengumpulkan data, dan mengambil gambar. 
Aku diajak berkeliling oleh ketua panitia, melihat beragam fasilitas yang ditawarkan sekolah itu, bertemu muridnya yang cantik dan tampan, mereka semua cerdas, mereka baik sekali sama aku, meskipun tinggi kita sepantaran. Selesai berkeliling, kita tiba dipanggung utama, disana sedang ada ibadah yang dipimpin oleh frater. Aku sangat penasaran ingin mengetahui isi ibadah itu. Sebenarnya ketua panitia menawariku untuk menunggu diruang terpisah, tapi aku menolak dan memilih ikut beribadah. Jika tak salah tangkap, beliau menunjukkan sedikit rona khawatir dengan keputusan ku mengikuti ibadah pagi. Tapi beliau hanya tersenyum dan mempersilahkan ku duduk disalah satu kursi. 
Frater dibalik mimbar (aku tidak tahu apa namanya, tapi diagamaku tempat itu disebut mimbar) sedang berpesan kepada anak murid dihadapannya untuk menjadi sahabat bagi semua orang. Dia mengisahkan tiga kata ajaib, yang perlu kita amalkan untuk menjadi sahabat semua orang. Terimakasih, Tolong dan maaf. Ia juga meminta anak-anak untuk berjanji menjadi teman bagi semua orang dan menjaga perdamaian. Jujur saja, pesan itu begitu membekas dalam hatiku. Aku merasa belakangan ini, beberapa kelompok agama yang sama dianut dengan ku telah menjadi sedemikian jahat dan egois terhadap umat agama lainnya. Aku sedih mendengar ceramah itu, mengingat kondisi toleransi bangsa yang ada dikepala ku. Dalam hati aku ingin meminta maaf kepada umat agama lainnya, jika seandainya kami yang merasa agama kami paling benar, kerap menyakiti hati kalian, memperlakukan kalian dengan sedemikian tak manusiawinya. 
Aku sedih dan resah, aku juga ingin menjadi sahabat bagi semua orang seperti yang frater sampaikan. Dengan ragu aku mengunggah foto kegiatan pagi ini ke sosial media, takut beberapa teman ku akan menjadi sensitif dan menyuruhku mengucap syahadat lagi. Padahal, selama ibadah berlangsung hatiku terus menyebut nama Tuhan. Aku bertanya pada Tuhan. Tuhan, aku kemari dengan misi ku sebagai manusia, aku ingin menjadi manusia yang bisa memanusiakan manusia lainnya, terlepas apa agama dan latar belakangku, apa iya ini salah? kalau salah maka mohon ampuni aku dan tegur aku? jika salah tolong beritahu aku, bagaimana caranya agar aku dapat tetap memanusiakan mereka yang berbeda pilihan dengan ku? 
Hari ini, ditengah nyanyian mereka semua tentang Yesus yang menjadi sahabat bagi semua, aku terus menyebut nama Tuhan dan mengatakan, hari ini aku melihat sesuatu yang sangat indah. Yakni kehidupan bermanusia yang damai.  Lagi-lagi aku bertanya, bisakah kedamaian ini selalu ada dalam kehidupan manusia?. Bisakah kita akur dengan perbedaan, dengan mahluk lainnya, berbaik hati dengan hewan dan alam. Segala perasaan, sesal ketakutan, keresahan menghantui hatiku, menyergap pikiran ku dengan beragam pertanyaan, yang aku tidak tahu tuan mana yang memiliki jawabannya.  
Saat semua anak masuk kedalam kelas, semua orangtua dipersilahkan masuk ke ruang tunggu. Aku memilih duduk di dekat panggung, memandangi salib yang terpajang di tengah panggung, diatasnya ada patung garuda terpajang. Lalu aku terpikir tentang kebhinekaan. Diatas segala agama yang ada di negara ini, tidakkah keberagaman seharusnya menjadi dasar persatuan?. Mungkin ini narasi basi, tapi selayaknya lagu indonesia raya tiga stanza, ada janji yang rakyat saat ini harus tunaikan, atas segala perjuangan yang dilakukan pahlawan di masa lampau. Jasa para pahlawan tidak hanya terhenti pada mengheningkan cipta. 
Tiba-tiba seorang wali murid membawakan ku sepiring kecil cemilan dan segelas teh yang dari aroma dan rasanya sangat kaya dengan rempah. Aku tidak tahu apa yang aku minum, tapi aku meminumnya hingga hampir habis. Jujur aku bertanya, kenapa mereka begitu baik? Atau apakah aku yang terlalu takut? Takut mereka akan membalas segala ketidakadilan yang mungkin selama ini mereka dapatkan. 
Natal pertama ku, yang berlangsung satu bulan setelah natal itu sendiri. Penuh dengan keresahan , tapi aku menemukan keindahan dan kedamaian. Terimakasih untuk kedepannya. Mereka bilang 'Berkah ndalem' untuk berpisah. Aku ingin mengutip perkataan frater ketika menutup ibadah pagi ini. Semoga kedamaian meliputi kita semua dan jadilah sahabat bagi semua orang. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

jauh

KKN (Kisah Kasih Nyata), Mitos atau Fakta ?

PENGEN DISAYANG TAPI OGAH PACARAN