Ibu
tampak sangat lelah menghadapi Sholeh yang kembali merajuk minta dibelikan
mobil mainan. Dia bahkan menyusul ke warung makan milik Ibunya sambil menangis.
Menarik-narik gamis oblong milik Ibunya yang sedang repot melayani pembeli.
Beruntung ada Nina keponakan Ibu yang selalu membantu berjualan di warung.
Tangis Sholeh semakin menjadi kala Ibunya tak kunjung berkata ‘iya’ untuk
membelikan mobil mainan yang dia inginkan.
‘’ pokoknya
Sholeh mau mainan seperti punya Bara Bu... yang pakai remote itu... belikan ya
Bu.....’’
‘’Ibu sedang
tidak ada uang Nak, kita belinya kapan-kapan tidak apa-apa kan?’’
Tubuh kurus dan lelah Ibu coba
meraih tubuh Sholeh, Ia mendekap anak semata wayangnya itu dan menggendongnya.
Meskipun Sholeh sudah kelas 3 SD, tapi Ia sangat suka digendong oleh Ibunya.Bahkan
setiap kali makan Ia selalu ingin disuapi Ibunya.
‘’tidak mau,
pokoknya Sholeh mau belinya sekarang. Sholeh mau main mobil-mobilan bersama
teman-teman.’’
Tangis Sholeh semakin menjadi, ia
bergerak-gerak tak karuan dalam timangan Ibunya. Ia memukuli tubuh Ibunya,
hingga Ibunya begitu sulit menjaga keseimbangan dirinya. Tapi beliau tetap memeluk
Sholeh bahkan semakin erat. Digoyang-goyangkan tubuhnya sambil tangannya
mengelus rambut dan punggung Sholeh secara bergantian. Sholeh tidak lagi banyak
bergerak dan memukuli Ibunya, ia begitu nyaman dalam dekapan Ibunya.
‘’Nak, maafkan
Ibu ya belum bisa membelikan mobil mainan untuk kamu. Ibu belum punya uang
untuk belikan mobil mainan baru. Nanti kalau Ibu sudah ada uang, ibu pasti akan
belikan mobil mainan untuk Sholeh.’’
Masih terdengar suara tangisan kecil
dari Sholeh. Tapi lama-lama Ia mulai tertidur lelap di pundak Ibunya.
©
Ayam jago masih belum berkokok,
tetapi Ibu sudah sibuk di dapur. Setiap hari beliau bangun pukul 2 dinihari.
Melakukan shalat malam sunnah lalu memasak untuk dagangan di warung makan.
Beliau berangkat ke warung jam 6 pagi sambil mengantar Sholeh ke sekolah. Saat
jam pulang sekolah, beliau akan pulang ke rumah untuk shalat dzuhur dan
menyiapkan makan Sholeh. Ibu kembali lagi ke warung saat Sholeh sudah terlelap
tidur atau pergi main.
Ibu pulang ke rumah setiap adzan
berkumandang, selain untuk melaksanakan shalat wajib juga untuk menengok anak
kesayangannya. Tak jarang setiap Ibunya pulang, Sholeh selalu rewel minta uang
jajan atau merajuk minta digendong. Sholeh hanya punya Ibu yang selalu ada
untuknya. Ayahnya sudah terlebih dahulu berpulang saat Sholeh masih kelas 1 SD.
Terkadang Sholeh kecil yang rindu
akan sosok Ayah selalu menangis kencang meminta diantar ke Ayahnya. Dengan
sabar Ibunya akan menggendongnya, mengajaknya berkeliling kampung. Seolah-olah
akan mengantar Sholeh pada Ayahnya. Setiap hari kamis sehabis ashar, Ibu selalu
menyempatkan diri mengajak Sholeh ke makam Ayahnya. Ibu ingin Sholeh tetap
dekat dengan ayahnya meski ruang dan waktu terbentang lebar untuk mereka.
‘’Sholeh kalau
rindu sama Bapak, doakan saja Bapak agar tenang disana dan mendapatkan tempat
terbaik disisi Allah.’’
“memangnya Bapak
akan dengar kalau Sholeh mendoakan Bapak?’’
‘’mungkin Allah
yang akan mendengar doa Sholeh, lalu Allah akan bilang sama bapak kalau
putranya si Sholeh yang sholeh ini mendoakan yang terbaik untuk Bapak. Lalu
Bapak akan tersenyum bangga dan bahagia di atas sana.’’
‘’kenapa Bapak
harus meninggal Bu?’’
‘’karena Allah
sangat sayang sama Bapak, makanya Allah minta Bapak pulang ke sisi-Nya.’’
‘’Sholeh juga
sayang sama Bapak.’’
Air mata menetes dari pelupuk mata
Ibu, ia mendekap Sholeh dengan satu lengannya dan mencium kening Sholeh. Ada
rasa haru dalam hatinya setiap kali melihat Sholeh yang semakin tumbuh besar
setiap harinya. Ada gurat cemas dan takut bahwa ia tidak akan mampu
membahagiakan Sholeh, atau memberikan yang terbaik untuk Sholeh. Setiap kali
Sholeh merajuk meminta mainan atau buku baru, dan Ibu tak mampu membelikannya.
Ibu selalu menangis lebih lama dalam sepertiga malamnya bersama Allah.
Semenjak Ayah Sholeh meninggal dua
tahun yang lalu, tubuh Ibu semakin kurus, matanya kian cekung dan timbul garis
hitam di bawah matanya. Gambaran tubuh yang lelah begitu nampak dari wajahnya.
Terkadang ia juga merindukan sosok suami yang selalu berjuang demi keluarga.
Terkadang beliau rindu duduk di teras rumah di sore hari. Melihat Sholeh
bermain sepeda di halaman sembari menunggu suaminya pulang.
Tidak hanya Ibu yang merindukan
sosok Ayah dalam keluarga kecilnya. Sholeh kecil pun rindu di panggul di pundak
Ayahnya. Sholeh selalu iri melihat teman-teman yang Ayahnya datang saat
penerimaan raport. Sepeninggal Ayahnya pun, Sholeh terlihat lebih manja pada
Ibunya. Ia menuntut kasih sayang lebih dari sosok Ibunya.
©
Sholeh membanting mainan-mainannya,
buku dan baju-baju di kamarnya di lempar keluar rumah. Mainannya ia injak-injak
hingga rusak. Ia menangis dengan kencang dan berteriak pada Ibunya.
‘’belikan PS
bu... Sholeh mau PS seperti punya Bara.’’
‘’iya Nak, nanti
ibu belikan kalau ibu sudah ada uang ya Nak.’’
‘’nggak mau Ibu
bohong, Ibu kan setiap hari cari uang, masa Ibu tidak punya uang.’’
‘’iya Nak, tapi
uangnya tidak cukup untuk membeli PS seperti punya Bara.’’
‘’Ibu bohong...
Ibu jahat... Ibu tidak sayang sama Sholeh. Sholeh mau ikut Bapak saja.’’
Ibu coba meraih Sholeh dan
mendekapnya, tapi tangis Sholeh malah semakin kencang. Ia melempari Ibu dengan
mainan dan benda disekelilingnya. Ibu tidak menyerah masih mencoba membujuk
Sholeh yang merajuk.
‘’lihat ni Nak,
ada ‘gamebot’ yang dulu dibelikan
Bapak. Masi bagus ini Nak, masih bisa dipakai.’’
‘’tidak mau, itu
sudah jelek. Sholeh mau PS.’’
Sholeh membentak Ibunya dan berlari
keluar, Sholeh menginjak buku dan pakaiannya dengan sandal lalu berlari pergi. Rasanya
tubuh Ibu sangat lelah untuk mengejar Sholeh. Jadi Ibu hanya berdiri untuk
membereskan mainan Sholeh yang berserakan. Ibu merapikan buku-buku Sholeh yang
bertebaran diluar. Pakaian Sholeh dimasukkannya ke ember lalu dibawanya ke
waduk untuk dicuci.
©
Sholeh heran kenapa Ibunya belum
mencarinya, padahal ini sudah hampir magrib. Biasanya Ibu akan mencari dan
menggendongnya pulang. Memandikannya lalu menyuapi dan shalat magrib berjamaah.
Lama menunggu dan menerka pasal ibunya, Sholeh pulang dengan sendirinya.
‘’Assalamualaikum...
bu Sholeh laper...’’
Sholeh membuka pintu rumah dan
mencari Ibunya. Tapi tak terdengar suara Ibu menjawab salamnya. Sholeh melihat
ke dalam kamar tapi Ibunya tidak ada. ‘apa Ibu belum pulang’ pikir Sholeh dalam
hati. Sholehpun memutuskan menyusul Ibunya ke warung makan di persimpangan
kampung.
Dari kejauhan warung makan Ibunya
tampak gelap, pintunya juga tertutup. Sholeh berlari mendekat dan mengetuk
pintu warung.
‘’ibu..
ibu...ibu...’’
Sholeh memanggil Ibunya, tapi tak
ada jawaban dari dalam. Sholeh semakin keras mengetuk pintu warung dan
memanggil Ibunya. Tapi masih tidak ada jawaban. Sholeh menangis dengan kencang
sambil memanggil-manggil Ibunya. Dia berguling-guling diteras warung, persis
seperti saat meminta mainan baru.
‘’sholeh...
sholeh...’’
Suara gadis remaja yang tak asing di
telinga terdengar mendekat. Dengan tergopoh-gopoh gadis itu coba menghampiri
Sholeh. Ia mencoba memeluk Sholeh seperti yang biasa dilakukan ibu pada Sholeh.
Tapi Sholeh masih terus menangis dalam dekapan gadis itu. jelas terasa berbeda
dengan dekapan ibunya yang terasa hangat dan menenangkan.
‘’sudah Sholeh
jangan nangis lagi. Ke rumah kak Nina yukk...’’
‘’nggak mau,
Sholeh mau digendong ibu.’’
‘’iya nanti
ketemu Ibu tapi sekarang ke rumah kak Nina dulu ya.’’
‘’Sholeh mau
ketemu ibu sekarang.. pokoknya sekarang.’’
‘’Sholeh kamu
gak boleh nakal dong. Kalau kamu nakal kamu nggak bakal ketemu ibu lagi.’’
Sholeh marah mendengar perkataan
saudara sepupunya. Ia menggeliat dan memukuli tubuh kecil Nina. Tidak seperti
Ibunya yang akan terus menggendongnya, Nina berjalan mundur menurunkan Sholeh
dari gendongannya.
‘’Sholeh kalau
kamu nggak nurut, kak Nina tinggal kamu sendiri disini biar dimakan harimau.’’
Nina pun berjalan meninggalkan
pekarangan warung. Sholeh tidak ingin ditinggal, Sholeh ingin digendong Ibu.
Ibu kemana?. Akhirnya Sholeh berlari kecil mengikuti Nina. Tangannya
mencengkeram ujung kaos Nina. Ia masih sesenggukan bingung dimana ibunya
berada. Beberapa kali ia mengusap ingusnya dengan ujung lengan baju yang kotor
dengan tanah.
©
Sudah beberapa hari Sholeh tinggal
di rumah Pamannya, bersama saudara sepupunya. Ia sangat merindukan sosok ibu
yang selalu menggendongnya ke kamar mandi. Ia rindu sholat berjamaah shubuh
bersama ibunya. Ia rindu di suapi, di timang, di peluk ibunya. Bahkan saat
hujan petir semalam ia menangis ingin tidur bersama Ibunya. Membuat Nina kakak
sepupunya tidur larut. Sepanjang malam Sholeh terjaga tidak ingin tidur.
Sebenarnya bukan karena hujan petir mata Sholeh enggan menutup. Tapi ia ingin
bertemu Ibunya. Lama menatap kosong ke arah langit-langit kamar, Sholeh
tertidur.
Sekian jam kemudian, muadzin telah
bersuara di mikrofon masjid. Dengan lantang di suarakannya adzan. Membangunkan
orang mukmin dari lelap tidurnya. Beberapa bahkan sudah terlihat berjalan ke
arah masjid. Kebanyakan bapak-bapak yang beberapa berjalan bersama sambil
mengobrol. Sebagian lagi para janda tua yang setia mendoakan suami di
penghujung doanya. Lalu segelintir anak muda yang datang bergerombol dengan
temannya, berencana lari pagi setelah berjamaah shubuh. Anak-anak kecil juga
beberapa datang bersama ayah mereka.
Sholeh kecil juga terbangun dari
tidurnya yang baru sekian jam. Mendengar adzan shubuh, Sholeh menangis tanpa
suara. Rasa rindu seolah menyeruak begitu saja dalam dadanya. Lambat laun suara
sesenggukan kecil membangunkan Nina yang lelap disamping Sholeh. Dia mengucek
mata lalu memandang Sholeh yang memunggunginya. Punggung Sholeh bergetar
menahan suara tangis dari bibirnya.
‘’ Sholeh kenapa
kok menangis lagi?’’
‘’Sholeh kangen
ibu.’’
‘’sabar ya
sayang.’’
Nina mengelus rambut Sholeh dari
belakang. Hatinya terenyuh mendengar rintihan tangis Sholeh.
‘’kita sholat
shubuh yukk. Doakan ibu agar cepat pulang.’’
Tanpa menjawab ajakan Nina, Sholeh
sudah bergegas ke kamar mandi. Ia mengambil wudhu lalu menggelar sajadah menghadap kiblat. Dia
bilang ingin menjadi imam. Meski sempat ragu Nina akhirnya meng-iyakan kemauan
adik sepupunya itu. dengan lantang Sholeh membaca surat al-fatihah dan surat
pendek yang ia hafal bersama Ibunya. Ia bahkan tidak salah sedikitpun dalam
urutan gerakan sholat. Usai sholat ia bahkan berdoa dengan lantang.
‘’ya Allah
Sholeh kangen ibu. Sholeh sangat sayang ibu ya Allah, tolong jangan bawa ibu
pulang ke sisi-Mu dulu ya Allah. Ayah sudah lama ada di sisi-Mu, aku tidak
marah ia menemani-Mu. Tapi tolong jangan ibu, Sholeh masih butuh ibu disini.
Sholeh janji akan jadi anak yang baik, yang menurut sama ibu. Tapi aku mohon
jangan panggil ib untuk pulang ke sisi-Mu. Biarkan aku berbakti pada ibuku dulu
ya Allah. Sholeh ingin buat ibu senang dulu ya Allah. Kembalikan ibu pada
Sholeh.’’
Suara Sholeh kian bergetar menahan
tangis yang sudah di pelupuk mata. Nina dibelakangnyapun mengamini dengan penuh
haru. Nina meraih Sholeh dalam pelukannya. Mereka tersedu dan tubuh mereka
berguncang. Betapa kasih sayang ibu begitu terasa, ketika ia tak lagi disamping
kita. Saat kita berjalan seorang diri lalu terjatuh, tidak akan kita merntih
dan menangis selain dengan merapal memanggil ibu.
©
Sholeh tidak ingin sekolah, ia ingin
bertemu ibu. Dalam jalan menuju sekolah, Sholeh berbelok ke arah rumahnya. Ia
mengetuk pintu memanggil-manggil ‘ibu’. Dia berjalan ke belakang, menarik ujung
jendela kamarnya yang sulit di kunci. Masuk ke rumah melalui jendela, Sholeh
bertelekan di tempat tidur ibu. Dia meraba bantal, guling, dan kasur ibu yang
sangat dingin. Bulir-bulir air membasahi pipi Sholeh. Rasa rindu begitu
menggebu ketika matanya menatap pigura di dinding kamar. Itu adalah ulang tahun
terakhirnya bersama Ayah. Mereka sekeluarga mengenakan setelan berwarna biru
laut dan pergi ke ancol untuk berlibur. Sinar kebahagian tergambar jelas di
foto itu.
©
Seisi desa sedang ribut, semua
pemuda keluar rumah dengan pentongan dan senter. Nina juga tampak begitu cemas,
bersama para pemuda yang membunyikan kentongan. Nina berkeliling desa sambil
mengelukan nama Sholeh. Ini sudah jam delapan malam, tapi Sholeh masih belum
kembali ke rumah. Nina sudah pergi mencari ke sekolah ke rumah teman-teman
sholeh bahlan ke warung atau ke rumah Sholeh, tapi hasilnya nihil.
Sesudah disepakati ketua rt akhirnya
para pemuda turut membantu mencari Sholeh. Gosip-gosip pun mulai santer
terdengar bahwa Sholeh diculik genderuwo. Para ibu-ibu menakuti anak-anaknya
supaya mereka tidak pergi bermain sampai malam hari. Anak-anak gadis pun
mengunci rapat-rapat pintu dan jendela rumah mereka. Anak-anak kecil memutuskan
tidur bersama orangtuanya.
Sekelompok pemuda yang mendapat
jatah melewati kuburan merapatkan barisannya. Mereka saling sikut lengan
temannya, membunyikan dengan keras pentongan mereka. Seketika salah seorang
dari mereka melihat sosok anak kecil di atas gundukan tanah merah di tengah
kuburan.
‘’ehh ehh itu
apa itu?’’
Seorang pemuda mengarahkan sinar
senter ke arah sebuah nisan putih kecil dari marmer bertengger. Tampak dari
sorot cahaya senter yang berpendar, tubuh kecil seorang anak laki-laki yang
tertidur di atas gundukan tanah merah yang mengering. Tangan mungilnya kokoh
memeluk nisan marmer putih itu. tiga orang pemuda reflek berlari dan meraih
tubuh mungil yang tergeletak tak berdaya.
Badannya dingin seperti terselimuti
hawa dingin musim hujan. Wajahnya pucat pasi, bibirnya membiru. Sebegitu
pucatnya hingga tak tampak aliran darah di wajahnya. Tangannya lemas tak mampu
bergerak meski matanya mengerjap merasakan ada sosok yang begitu panik
menggendongnya. Tapi selemah apapun dia, tetaplah tahu bahwa sosok yang panik
itu bukan ibunya.
Hembusan nafas lega bercampur panik
begitu terasa ketika sosok Sholeh yang terkulai dalam gendongan sampai di rumah
pamannya. Nina yang sejak tadi sudah tenggelam dalam tangis pilu penuh rasa
bersalah langsung menyeruak di keramaian dan menopang tubuh Sholeh dengan kedua
tangannya. Ia membawa Sholeh ke dalam.
Tubuh dingin penuh dengan aroma
keringat itu diletakkan begitu pelan diatas kasur. Sepatu dan baju seragam yang
basah dan kotor itu satu per satu di tanggalkan. Dengan masih sesenggukan, Nina
membasuh tubuh Sholeh dengan air hangat dan handuk halus. Air matanya tak juga
mengering kala ia membasuh wajah pucat Sholeh dan bibir birunya. Sebuah baju
tidur hangat bergambar ultraman kesukaan Sholeh di kenakan di tubuh Sholeh.
Dengan sabar Nina menyuapkan sesendok
demi sesendok susu hangat ke mulut Sholeh. Meski mata Sholeh tak kian membuka,
tapi perlahan dia menelan susu hangat itu. sesekali Nina mengecek handuk
pengompres di kepala Sholeh. Dua lapis selimut juga turut menghangatkan tubuh
Sholeh. Nina juga coba mengoleskan minyak kayu putih ke sekujur tubuh Sholeh.
Habis seperempat gelas, Sholeh tak mau lagi meminum susu yang disuapkan
untuknya. Air mata Nina turut menering bersama wajah Sholeh yang mulai memerah.
Masih merasa bersalah dengan
kelalaianya menjaga Sholeh, Nina coba tidur di samping Sholeh. Meski ia tak
bisa memejamkan mata, tapi ia memeluk erat tubuh Sholeh.
©
Badannya sudah hangat, darah rasanya
kembali mengalir di tubuhnya. Ia malah merasa panas sekarang. Ia mencoba
melepaskan pelukan tangan di perutnya. Tapi ia mengenal tangan kasar dan lelah
ini. Dekapan hangat mengerubungi tubuhnya. Air mata menetes dari matanya,
membasahi sebagian pipinya. Sholeh berbalik dan menatap wajah tua yang lelah
itu, namun tatapan penuh cinta dan senyuman kasih sayang tak pernah luntur dari
wajah itu.
Ibunya masih terpejam, mungkin ia
jauh lebih lelah dari Sholeh. Tangan kecilnya meraba wajah ibunya. Merasakan
gurst keriput di mata ibunya. Matanya menatap satu persatu bagian wajah ibunya.
Tangan kecilnya berhenti di pipi tirus ibunya. Ia meraba pipi yang sering ia
pukul itu. ‘apakah masih sakit bu?’ begitu
hatinya bertanya saat tangannya terus meraba pipi ibunya.
‘’ Sholeh sudah
bangun?’’
Ibunya mengerjap membuka mata,
tersenyum pada Sholeh dan bertanya. Wajah lelah yang selalu Sholeh rindukan
kini telah kembali. Senyuman kembali hampir dalam hidupnya. Haru menyeruak
begitu saja dalam hatinya, entah apa yang membuatnya ingi menangs dalam dekapan
ibunya. Sholeh memeluk erat tubuh kurus ibunya dan mulai menangis sejadinya.
‘’lho.. kok
malah menangis nak?’’
Tangan ibu mengelus kepala dan
punggung Sholeh secara bergantian. Suhu tubuh Sholeh sudah kembali normal. Dia
memang sempat mengalami demam tinggi semalam. Sehingga keluarga pamannya
bersepakat membawa Sholeh ke Rumah Sakit tempat ibunya selama ini berada.
Dokter hanya memberikan suntikan penurun panas dan membiarkan Sholeh tidur
dalam dekapan ibunya. Jika kondisinya tidak membaik baru ia akan di pasangi
infus dan di rawat di bilik anak-anak.
‘’ibu kemana
saja? Ibu marah ya sama Sholeh? Kenapa ibu tinggalkan Sholeh?’’
‘’maafkan ibu ya
nak, ibu tidak bisa pulang selama beberapa hari.’’
‘’tapi kenapa
bu? Sholeh janji tidak akan nakal lagi bu.’’
Suasana haru begitu terpancar di
bilik kamar di ujung koridor sebuah Rumah Sakit daerah. Dengan sesenggukan
seorang anak lelaki coba menguapkan rindu dalam hatinya. Tangis polosnya begitu
memancing emosi dalam diri setiap orang. Janji dan perkataan maaf yang ia
katakan seolah sembilu yang menyentuh hati.
‘’ kaki ibu
sakit nak, sehingga ibu harus istirahat di Rumah Sakit.’’
Sholeh mengalihkan pandangan ke kaki
ibunya. Sebelah kanan kaki ibunya di balut perbang tebal yang ia suka lihat di
tv ketika orang mengalami kecelakaan. Hal itu membuat tangis Sholeh kian pecah.
Tapi ia tak mengamuk atau memukul ibunya, ia malah memeluk pinggang ibunya
semakin erat.
‘’ kaki ibu
kenapa?’’
Kata-katanya terbata bergantian
dengan tangis sesenggukan yang coba ia hentikan. Tapi tetap saja mengalir di
bukit-bukit pipinya.
‘’ibu terpeleset
di sungai saat mencuci baju nak.’’
‘’ itu pasti
baju yang Sholeh buang dan injak-injak ya bu? Maafkan sholeh ya bu.’’
‘’tidak apa-apa
nak, ibu saja yang tidak hati-hati berjalan di sungai.’’
Tangan ibu mengusap bulir-bulir air
di ujung mata dan pipi Sholeh. Tangannya yang satu mendekap Sholeh. Waktu
terasa membeku sehingga semua orang tampak tak bermakna. Hanya ada Sholeh dan
Ibunya yang saling bertukar rindu dan kasih sayang.
©
Kaki ibu masih di perban, ia
berjalan dengan tongkat atau sesekali di atas kursi roda. Ibu hanya memasak di
rumah dan Nina lah yang berjualan di warung. Sesekali ibu datang dengan kursi
roda yang di dorong Sholeh. Seperti hari ini, Sholeh pulang cepat dari sekolah
karena gurunya akan menghadiri sebuh rapat di kota kecamatan. Dia membantu
ibunya pergi ke warung untuk mengantarkan sisa lauk yangmasih ada di rumah.
Nina menyambut mereka dengan
senyuman hangat dan pelukan selamat datang. Hidup tampak jauh lebih baik setelah
mereka pulang dari Rumah Sakit. Teman-teman Nina sering datang untuk makan dan
sesekali bantu mencuci piring. Para pemuda desa yang terpikat kecantikan hati
Nina pun turut meramaikan warung.
Hari ini adalah tanggal 04 agustus,
dimana biasanya Sholeh akan merengak meminta ibunya membuat sebuah nasi tumpeng
dan mengundang teman-temannya ke rumah. Tapi sudah dari seminggu lalu Sholeh
selalu bilang ia tidak ingin merayakan ulang tahunnya seperti tahun-tahun
sebelumnya. Meski tampak baik-baik saja tapi ibu tahu Sholeh setidaknya ingin
sebuah kado di hari spesialnya.
‘’selamat ulang
tahun Sholeh, jadi anak yang baik ya jangan nakal sama ibu lagi.’’
Nina meraba rambut atas Sholeh
sambil memberikan sebuah bingkisan yang diselimuti kertas kado berwarn biru dengan
motif mobil mainan. Belum mengucapkan terima kasih Sholeh sudah begitu tak
sabar dan dengan asal membuka bingkisan itu. sebuah mobil remot berwarna biru
gelap kesukaannya tampak masih baru dan tersegel dalam bungkusnya. Ia begitu
senang dan berlari memeluk Nina.
‘’ terimakasih
mbak Nina....’’
‘’iya
sama-sama’’
‘’katanya nggak
mau dirayakan ulang tahunnya, tapi senang sekali dikasih kado.’’
Ibu mencibir dari belakang sambil
mengayuh kursi rodanya mendekat ke Sholeh.
‘’sholeh kan
tidak minta bu, tapi kalau di kasih ya tidak nolak.’’
Tawa
renyah pecah begitu saja di serambi warung. Ibu terus saja menggoda Sholeh yang
mulai salah tingkah dengn kadonya. Dan dtengah keharmonisa keluarga mini itu,
sebuah mobil nissan juke merapat ke halmn warung. Sang supir mencoba memarkir
sebaik mungkin sehingga tidak menghambat lalu lintas.
Sosok pria tampan nan gagah turun
dari balik kursi kemudi. Pakaiannya tampak seperti orang kaya dengan kemeja dan
sepatu yang melekat di kakinya. Senyum hangat terpancar dari wajah putihnya.
Pria itu cukup tinggi dan dadanya bidang. Kulitnya putih dan bersih sangat
kontras dengan orang-orang di kampung. Dia mengunci pintu mobil dan berjalan ke
arah warung. Semua perhatian tersita untuknya. Bahkan sesuap nasi yang tinggal
di telan pun mendadak susah masuk ke perut.
‘’
Assalamualaikum Sholeh...’’
Pria itu merunduk di depan Sholeh
dan menyapanya. Sholeh berlari ke pangkuan ibunya, mencari tempat berlindung.
‘’ Sholeh.. ini
om fadil. Beliaulah yang menjaga ibu selama di Rumah Sakit dan juga yang
membayar biaya pengobatan ibu.’’
Dengan pelan sekali ibu coba
menjelaskan sosok pria tampaan di hadapan mereka.
‘’Assalamualaikum
Sholeh.’’
Sekali lagi pria itu coba mencuri
perhatian Sholeh yang malah kian terpaku dengan penjelasan ibunya.
‘’kok tidak di
jawab salamnya.’’
‘’nak,, Sholeh,,
ayo salim sama om fadil.’’
‘’ waalaikumussalam...’’
Dengan
takzim Sholeh mencium punggung tangan om Fadil. Dan dibalas dengan usapan
hangat di rambutnya.
‘’bagaimana?
Sudah siap?’’
Entah apa yang mereka bicarakan tapi
ibu mengangguk mengisyaratkan setuju.
‘’Sholeh mau
makan ayam ya katanya?’’
Pria itu bersimpuh di depan Sholeh
dan memegang kedua lengan Sholeh. Pria ini seperti sosk ayah yang telah lama
hilang dalam hidupnya. Sholeh mengangguk dengan begitu polos, membuat Nina
terkikik kecil melihat ekspresi Sholeh.
‘’kan Sholeh
sedang ulang tahun. Jadi ibu sama om mau ajak Sholeh jalan-jalan ke mall nanti
kita makan ayam disana. Mau?’’
Sholeh menoleh ke arah ibunya,
matanya membesar seolah menanti sebuah jawaban. Ibunya tersenyum dan
mengangguk. Mata Sholeh berbinar dengan jawaban ibunya.
‘’ mau om. Tapi
sama ibu kan?’’
‘’iyadong, kita
pergi bertiga. Ibu Sholeh dan om. Nanti kita pergi naik mobil om, kita makan
ayam dan jalan-jalan ke mall.’’
Tak menyita banyak waktu, Sholeh
menurut ketika om fadil mendudukkanya di bangku anak-anak di deretan kusi
belakang. Om Fadil juga memasangkan sabuk pengaman untuk Sholeh dan ibu yang
duduk di bangku depan. Sepanjang jalan
mereka hanya bercerita dan bercanda kecil. Sesekali Sholeh ikut meniruka
penyanyi diRadio anak-anak yang sengaja di setel om Fadil.
Mobil putih berplat H itu menepi di
gerbang sebuah SMP. Om Fadil membuka kaca di jendela ibu lalu tersenyum dan
mengklakson seorang anak perempuan yang berdiri di depan gerbang. Anak
perempuan itu berlari menghampiri mobil dan membuka pintu belakang. Secara
otomatis gadis itu duduk di sebelah Sholeh. Dia melambai sambil tersenyum
hangat pada Sholeh.
‘’Assalamualaikum
Sholeh.’’
Gadis berjilbab putih berseragam SMP itu
menyapa Sholeh dengan hangat.
‘’Waalaikumussalam..’’
‘’nama kakak
bunga..’’
Gadis itu mengulurkan tangan
mengajak berkenalan. Reflek Sholeh mencium takzim tangan Bunga. Dia berfikir
pernah melihat gadis ini sebelumnya. Ahh iya, Sholeh ingat wajah putih penuh
kebahagiaan gadis ini. Dia sering datang ke warung ibu setiap pulang sekolah.
Ia ingat suatu hari gadis itu pernah cerita dengan ibunya saat Sholeh sedang
mengerjakan tugas menggambar di warung. Gadis itu bilang masakan pembantu di
rumahnya tidak seenak milik ibu. Jadi setiap pulang sekolah dia selalu makan
siang di warung ibu. Jadi om Fadil ini ayahnya kak Bunga.
Gerbang mall sudah tampak 50 meter
di depan. Sholeh begitu tertegun dengan gedung bertingkat yang selalu ia ingin
kunjungi itu. kepalanya mendongak di kaca jendela. Tangannya menempel dikaca.
Mereka memarkirkan mobil di tempat yang kita melewatinya dengan berputar-putar.
Dengan sigap om fadil menurunkan kuris roda ibu dan menggendong ibu turun dari
mobil. Kak Bungan menggenggam tangan Sholeh.
Mereka berjalan memasuki lift dan
naik ke lantai 2. Sebuah toko yang menjual ayam menjadi tujuan mereka. Sholeh
sering melihat toko seperti ini di tv. Sehingga ia berfikir akankah dia masuk
tv jika makan disini. Kak Bunga dan om Fadil sangat baik pada mereka. Ibu duduk
di sebelah kak Bungan dan Sholeh duduk bersama om Fadil. Canda tawa tampak menghiasi meja mereka. Om
Fadil memotong kecil-kecil ayam Sholeh sehingga mudah di telan. Ia juga
membimbing Sholeh mencuci tangan di wastafel dan mengeringkan tangan dengan
udara panas yang membuat Sholeh berjingkat.
Sehabis makan, mereka berjalan-jalan
melihat toko mainan. Sesekali om Fadil menggendong ibu melewati tangga
berjalan. Selebihnya, om Fadil memanggul Sholeh di pundaknya. Seperti yang ayah
lakukan jika mereka pergi ke pasar malam. Mereka berhenti di toko Plastation.
Om Fadil memberikan sebuah Ps 3 versi terbaru untuk Sholeh. Sedikitpun ibu tidak mencegah om Fadil menunjukan kasih
sayangnya untuk Sholeh. Kak Bungan bantu memilihkan permainan Ps yang boleh
dimainkan Sholeh. Ia juga menjelaskan cara bermainnya.
Sholeh pulang dengan wajah
sumringah, bahkan sepanjang perjalanan ia mendekap Ps barunya. Adzan magrib
berkumandang ketika mereka sampai di depan rumah. Nina bergegas membuka pintu
saat Sholeh turun dari mobil. Ia berpelukan dengan kak Bunga. Ibu memakasa om
Fadil untuk sholat magrib berjamaah di rumah dan makan malam bersama.
Sholeh tampak lahap dengan ayam
kecap dan sayur jagug masakan ibunya. Bercanda dengan om Fadil dan kak Bungan
membuat ia merasa utuh sebagai anak yang baru saja berusia 10 tahun. Sehabis isya, om Fadil dan kak Bunga pamit
untuk pulang ke rumah. Kak Bunga memeluk Sholeh erat dan mencium pipinya.
Sholeh membalas dengan mengecup tangan takzim pada om Fadil, seolh pada ayahnya
sendiri.
Om Fadil bersimpuh di depan Sholeh.
Tangannya lagi-lagi memegang lengan Sholeh dan matanya masuk hingga hati
Sholeh.
‘’boleh om Fadil
jadi ayah baru Sholeh?’’
Tamat....
Komentar
Posting Komentar