Hitam dan Tercemar

  ' Like living in the dream.' Kabut menyelimuti langit pukul 05.30 pagi. Benda tak padat, yang tak bisa digenggam itu menelisik anggun di antara pepohonan, membuat beberapa dahan ketutupan. Seperti di dalam lukisan, kabut itu turun dari langit, ke sela sela pohon, hingga berbaur dengan orang-orang di atas tanah. Kabut datang bersama hawa dingin yang mengungkung sekujur tubuh. Seolah es yang membekukan kulit bagian luar, mendekap kuat tapi tak menghangatkan. Meski dingin menerjang, udara pagi di pegunungan tetap menawan paru paru yang penuh kepulan asap kendaraan dan tembakau bakar. Katlya duduk di pembatas jalan, merapatkan jaket yang dikenakan. Hidungnya memerah dan berlendir, pipinya dingin tapi kenyal seperti kue mochi di dalam freezer. Ia menggosokkan telapak tangannya mencari kehangatan. Seperti naga kehilangan daya, nafasnya menyemburkan asap tanpa api. "Kenapa mbak motornya? Mogok?," seorang pria paruh baya dengan celana pendek dan celurit menghampiri Katlya.

Anakku Sholeh


Ibu tampak sangat lelah menghadapi Sholeh yang kembali merajuk minta dibelikan mobil mainan. Dia bahkan menyusul ke warung makan milik Ibunya sambil menangis. Menarik-narik gamis oblong milik Ibunya yang sedang repot melayani pembeli. Beruntung ada Nina keponakan Ibu yang selalu membantu berjualan di warung. Tangis Sholeh semakin menjadi kala Ibunya tak kunjung berkata ‘iya’ untuk membelikan mobil mainan yang dia inginkan.
‘’ pokoknya Sholeh mau mainan seperti punya Bara Bu... yang pakai remote itu... belikan ya Bu.....’’
‘’Ibu sedang tidak ada uang Nak, kita belinya kapan-kapan tidak apa-apa kan?’’
            Tubuh kurus dan lelah Ibu coba meraih tubuh Sholeh, Ia mendekap anak semata wayangnya itu dan menggendongnya. Meskipun Sholeh sudah kelas 3 SD, tapi Ia sangat suka digendong oleh Ibunya.Bahkan setiap kali makan Ia selalu ingin disuapi Ibunya.                                                                                                                                                                                                                             
‘’tidak mau, pokoknya Sholeh mau belinya sekarang. Sholeh mau main mobil-mobilan bersama teman-teman.’’
            Tangis Sholeh semakin menjadi, ia bergerak-gerak tak karuan dalam timangan Ibunya. Ia memukuli tubuh Ibunya, hingga Ibunya begitu sulit menjaga keseimbangan dirinya. Tapi beliau tetap memeluk Sholeh bahkan semakin erat. Digoyang-goyangkan tubuhnya sambil tangannya mengelus rambut dan punggung Sholeh secara bergantian. Sholeh tidak lagi banyak bergerak dan memukuli Ibunya, ia begitu nyaman dalam dekapan Ibunya.
‘’Nak, maafkan Ibu ya belum bisa membelikan mobil mainan untuk kamu. Ibu belum punya uang untuk belikan mobil mainan baru. Nanti kalau Ibu sudah ada uang, ibu pasti akan belikan mobil mainan untuk Sholeh.’’
            Masih terdengar suara tangisan kecil dari Sholeh. Tapi lama-lama Ia mulai tertidur lelap di pundak Ibunya.
©
            Ayam jago masih belum berkokok, tetapi Ibu sudah sibuk di dapur. Setiap hari beliau bangun pukul 2 dinihari. Melakukan shalat malam sunnah lalu memasak untuk dagangan di warung makan. Beliau berangkat ke warung jam 6 pagi sambil mengantar Sholeh ke sekolah. Saat jam pulang sekolah, beliau akan pulang ke rumah untuk shalat dzuhur dan menyiapkan makan Sholeh. Ibu kembali lagi ke warung saat Sholeh sudah terlelap tidur atau pergi main.
            Ibu pulang ke rumah setiap adzan berkumandang, selain untuk melaksanakan shalat wajib juga untuk menengok anak kesayangannya. Tak jarang setiap Ibunya pulang, Sholeh selalu rewel minta uang jajan atau merajuk minta digendong. Sholeh hanya punya Ibu yang selalu ada untuknya. Ayahnya sudah terlebih dahulu berpulang saat Sholeh masih kelas 1 SD.
            Terkadang Sholeh kecil yang rindu akan sosok Ayah selalu menangis kencang meminta diantar ke Ayahnya. Dengan sabar Ibunya akan menggendongnya, mengajaknya berkeliling kampung. Seolah-olah akan mengantar Sholeh pada Ayahnya. Setiap hari kamis sehabis ashar, Ibu selalu menyempatkan diri mengajak Sholeh ke makam Ayahnya. Ibu ingin Sholeh tetap dekat dengan ayahnya meski ruang dan waktu terbentang lebar untuk mereka.  
‘’Sholeh kalau rindu sama Bapak, doakan saja Bapak agar tenang disana dan mendapatkan tempat terbaik disisi Allah.’’
“memangnya Bapak akan dengar kalau Sholeh mendoakan Bapak?’’
‘’mungkin Allah yang akan mendengar doa Sholeh, lalu Allah akan bilang sama bapak kalau putranya si Sholeh yang sholeh ini mendoakan yang terbaik untuk Bapak. Lalu Bapak akan tersenyum bangga dan bahagia di atas sana.’’
‘’kenapa Bapak harus meninggal Bu?’’
‘’karena Allah sangat sayang sama Bapak, makanya Allah minta Bapak pulang ke sisi-Nya.’’
‘’Sholeh juga sayang sama Bapak.’’
            Air mata menetes dari pelupuk mata Ibu, ia mendekap Sholeh dengan satu lengannya dan mencium kening Sholeh. Ada rasa haru dalam hatinya setiap kali melihat Sholeh yang semakin tumbuh besar setiap harinya. Ada gurat cemas dan takut bahwa ia tidak akan mampu membahagiakan Sholeh, atau memberikan yang terbaik untuk Sholeh. Setiap kali Sholeh merajuk meminta mainan atau buku baru, dan Ibu tak mampu membelikannya. Ibu selalu menangis lebih lama dalam sepertiga malamnya bersama Allah.
            Semenjak Ayah Sholeh meninggal dua tahun yang lalu, tubuh Ibu semakin kurus, matanya kian cekung dan timbul garis hitam di bawah matanya. Gambaran tubuh yang lelah begitu nampak dari wajahnya. Terkadang ia juga merindukan sosok suami yang selalu berjuang demi keluarga. Terkadang beliau rindu duduk di teras rumah di sore hari. Melihat Sholeh bermain sepeda di halaman sembari menunggu suaminya pulang.
            Tidak hanya Ibu yang merindukan sosok Ayah dalam keluarga kecilnya. Sholeh kecil pun rindu di panggul di pundak Ayahnya. Sholeh selalu iri melihat teman-teman yang Ayahnya datang saat penerimaan raport. Sepeninggal Ayahnya pun, Sholeh terlihat lebih manja pada Ibunya. Ia menuntut kasih sayang lebih dari sosok Ibunya.
©
            Sholeh membanting mainan-mainannya, buku dan baju-baju di kamarnya di lempar keluar rumah. Mainannya ia injak-injak hingga rusak. Ia menangis dengan kencang dan berteriak pada Ibunya.
‘’belikan PS bu... Sholeh mau PS seperti punya Bara.’’
‘’iya Nak, nanti ibu belikan kalau ibu sudah ada uang ya Nak.’’
‘’nggak mau Ibu bohong, Ibu kan setiap hari cari uang, masa Ibu tidak punya uang.’’
‘’iya Nak, tapi uangnya tidak cukup untuk membeli PS seperti punya Bara.’’
‘’Ibu bohong... Ibu jahat... Ibu tidak sayang sama Sholeh. Sholeh mau ikut Bapak saja.’’
            Ibu coba meraih Sholeh dan mendekapnya, tapi tangis Sholeh malah semakin kencang. Ia melempari Ibu dengan mainan dan benda disekelilingnya. Ibu tidak menyerah masih mencoba membujuk Sholeh yang merajuk.
‘’lihat ni Nak, ada ‘gamebot’ yang dulu dibelikan Bapak. Masi bagus ini Nak, masih bisa dipakai.’’
‘’tidak mau, itu sudah jelek. Sholeh mau PS.’’
            Sholeh membentak Ibunya dan berlari keluar, Sholeh menginjak buku dan pakaiannya dengan sandal lalu berlari pergi. Rasanya tubuh Ibu sangat lelah untuk mengejar Sholeh. Jadi Ibu hanya berdiri untuk membereskan mainan Sholeh yang berserakan. Ibu merapikan buku-buku Sholeh yang bertebaran diluar. Pakaian Sholeh dimasukkannya ke ember lalu dibawanya ke waduk untuk dicuci.
©
            Sholeh heran kenapa Ibunya belum mencarinya, padahal ini sudah hampir magrib. Biasanya Ibu akan mencari dan menggendongnya pulang. Memandikannya lalu menyuapi dan shalat magrib berjamaah. Lama menunggu dan menerka pasal ibunya, Sholeh pulang dengan sendirinya.
‘’Assalamualaikum... bu Sholeh laper...’’
            Sholeh membuka pintu rumah dan mencari Ibunya. Tapi tak terdengar suara Ibu menjawab salamnya. Sholeh melihat ke dalam kamar tapi Ibunya tidak ada. ‘apa Ibu belum pulang’ pikir Sholeh dalam hati. Sholehpun memutuskan menyusul Ibunya ke warung makan di persimpangan kampung.
            Dari kejauhan warung makan Ibunya tampak gelap, pintunya juga tertutup. Sholeh berlari mendekat dan mengetuk pintu warung.
‘’ibu.. ibu...ibu...’’
            Sholeh memanggil Ibunya, tapi tak ada jawaban dari dalam. Sholeh semakin keras mengetuk pintu warung dan memanggil Ibunya. Tapi masih tidak ada jawaban. Sholeh menangis dengan kencang sambil memanggil-manggil Ibunya. Dia berguling-guling diteras warung, persis seperti saat meminta mainan baru.
‘’sholeh... sholeh...’’
            Suara gadis remaja yang tak asing di telinga terdengar mendekat. Dengan tergopoh-gopoh gadis itu coba menghampiri Sholeh. Ia mencoba memeluk Sholeh seperti yang biasa dilakukan ibu pada Sholeh. Tapi Sholeh masih terus menangis dalam dekapan gadis itu. jelas terasa berbeda dengan dekapan ibunya yang terasa hangat dan menenangkan.
‘’sudah Sholeh jangan nangis lagi. Ke rumah kak Nina yukk...’’
‘’nggak mau, Sholeh mau digendong ibu.’’
‘’iya nanti ketemu Ibu tapi sekarang ke rumah kak Nina dulu ya.’’
‘’Sholeh mau ketemu ibu sekarang.. pokoknya sekarang.’’
‘’Sholeh kamu gak boleh nakal dong. Kalau kamu nakal kamu nggak bakal ketemu ibu lagi.’’
            Sholeh marah mendengar perkataan saudara sepupunya. Ia menggeliat dan memukuli tubuh kecil Nina. Tidak seperti Ibunya yang akan terus menggendongnya, Nina berjalan mundur menurunkan Sholeh dari gendongannya.
‘’Sholeh kalau kamu nggak nurut, kak Nina tinggal kamu sendiri disini biar dimakan harimau.’’
            Nina pun berjalan meninggalkan pekarangan warung. Sholeh tidak ingin ditinggal, Sholeh ingin digendong Ibu. Ibu kemana?. Akhirnya Sholeh berlari kecil mengikuti Nina. Tangannya mencengkeram ujung kaos Nina. Ia masih sesenggukan bingung dimana ibunya berada. Beberapa kali ia mengusap ingusnya dengan ujung lengan baju yang kotor dengan tanah.
©
            Sudah beberapa hari Sholeh tinggal di rumah Pamannya, bersama saudara sepupunya. Ia sangat merindukan sosok ibu yang selalu menggendongnya ke kamar mandi. Ia rindu sholat berjamaah shubuh bersama ibunya. Ia rindu di suapi, di timang, di peluk ibunya. Bahkan saat hujan petir semalam ia menangis ingin tidur bersama Ibunya. Membuat Nina kakak sepupunya tidur larut. Sepanjang malam Sholeh terjaga tidak ingin tidur. Sebenarnya bukan karena hujan petir mata Sholeh enggan menutup. Tapi ia ingin bertemu Ibunya. Lama menatap kosong ke arah langit-langit kamar, Sholeh tertidur.
            Sekian jam kemudian, muadzin telah bersuara di mikrofon masjid. Dengan lantang di suarakannya adzan. Membangunkan orang mukmin dari lelap tidurnya. Beberapa bahkan sudah terlihat berjalan ke arah masjid. Kebanyakan bapak-bapak yang beberapa berjalan bersama sambil mengobrol. Sebagian lagi para janda tua yang setia mendoakan suami di penghujung doanya. Lalu segelintir anak muda yang datang bergerombol dengan temannya, berencana lari pagi setelah berjamaah shubuh. Anak-anak kecil juga beberapa datang bersama ayah mereka.
            Sholeh kecil juga terbangun dari tidurnya yang baru sekian jam. Mendengar adzan shubuh, Sholeh menangis tanpa suara. Rasa rindu seolah menyeruak begitu saja dalam dadanya. Lambat laun suara sesenggukan kecil membangunkan Nina yang lelap disamping Sholeh. Dia mengucek mata lalu memandang Sholeh yang memunggunginya. Punggung Sholeh bergetar menahan suara tangis dari bibirnya.
‘’ Sholeh kenapa kok menangis lagi?’’
‘’Sholeh kangen ibu.’’
‘’sabar ya sayang.’’
            Nina mengelus rambut Sholeh dari belakang. Hatinya terenyuh mendengar rintihan tangis Sholeh.
‘’kita sholat shubuh yukk. Doakan ibu agar cepat pulang.’’
            Tanpa menjawab ajakan Nina, Sholeh sudah bergegas ke kamar mandi. Ia mengambil wudhu lalu  menggelar sajadah menghadap kiblat. Dia bilang ingin menjadi imam. Meski sempat ragu Nina akhirnya meng-iyakan kemauan adik sepupunya itu. dengan lantang Sholeh membaca surat al-fatihah dan surat pendek yang ia hafal bersama Ibunya. Ia bahkan tidak salah sedikitpun dalam urutan gerakan sholat. Usai sholat ia bahkan berdoa dengan lantang.
‘’ya Allah Sholeh kangen ibu. Sholeh sangat sayang ibu ya Allah, tolong jangan bawa ibu pulang ke sisi-Mu dulu ya Allah. Ayah sudah lama ada di sisi-Mu, aku tidak marah ia menemani-Mu. Tapi tolong jangan ibu, Sholeh masih butuh ibu disini. Sholeh janji akan jadi anak yang baik, yang menurut sama ibu. Tapi aku mohon jangan panggil ib untuk pulang ke sisi-Mu. Biarkan aku berbakti pada ibuku dulu ya Allah. Sholeh ingin buat ibu senang dulu ya Allah. Kembalikan ibu pada Sholeh.’’
            Suara Sholeh kian bergetar menahan tangis yang sudah di pelupuk mata. Nina dibelakangnyapun mengamini dengan penuh haru. Nina meraih Sholeh dalam pelukannya. Mereka tersedu dan tubuh mereka berguncang. Betapa kasih sayang ibu begitu terasa, ketika ia tak lagi disamping kita. Saat kita berjalan seorang diri lalu terjatuh, tidak akan kita merntih dan menangis selain dengan merapal memanggil ibu.
©
            Sholeh tidak ingin sekolah, ia ingin bertemu ibu. Dalam jalan menuju sekolah, Sholeh berbelok ke arah rumahnya. Ia mengetuk pintu memanggil-manggil ‘ibu’. Dia berjalan ke belakang, menarik ujung jendela kamarnya yang sulit di kunci. Masuk ke rumah melalui jendela, Sholeh bertelekan di tempat tidur ibu. Dia meraba bantal, guling, dan kasur ibu yang sangat dingin. Bulir-bulir air membasahi pipi Sholeh. Rasa rindu begitu menggebu ketika matanya menatap pigura di dinding kamar. Itu adalah ulang tahun terakhirnya bersama Ayah. Mereka sekeluarga mengenakan setelan berwarna biru laut dan pergi ke ancol untuk berlibur. Sinar kebahagian tergambar jelas di foto itu.  
©
            Seisi desa sedang ribut, semua pemuda keluar rumah dengan pentongan dan senter. Nina juga tampak begitu cemas, bersama para pemuda yang membunyikan kentongan. Nina berkeliling desa sambil mengelukan nama Sholeh. Ini sudah jam delapan malam, tapi Sholeh masih belum kembali ke rumah. Nina sudah pergi mencari ke sekolah ke rumah teman-teman sholeh bahlan ke warung atau ke rumah Sholeh, tapi hasilnya nihil.
            Sesudah disepakati ketua rt akhirnya para pemuda turut membantu mencari Sholeh. Gosip-gosip pun mulai santer terdengar bahwa Sholeh diculik genderuwo. Para ibu-ibu menakuti anak-anaknya supaya mereka tidak pergi bermain sampai malam hari. Anak-anak gadis pun mengunci rapat-rapat pintu dan jendela rumah mereka. Anak-anak kecil memutuskan tidur bersama orangtuanya.
            Sekelompok pemuda yang mendapat jatah melewati kuburan merapatkan barisannya. Mereka saling sikut lengan temannya, membunyikan dengan keras pentongan mereka. Seketika salah seorang dari mereka melihat sosok anak kecil di atas gundukan tanah merah di tengah kuburan.
‘’ehh ehh itu apa itu?’’
            Seorang pemuda mengarahkan sinar senter ke arah sebuah nisan putih kecil dari marmer bertengger. Tampak dari sorot cahaya senter yang berpendar, tubuh kecil seorang anak laki-laki yang tertidur di atas gundukan tanah merah yang mengering. Tangan mungilnya kokoh memeluk nisan marmer putih itu. tiga orang pemuda reflek berlari dan meraih tubuh mungil yang tergeletak tak berdaya.
            Badannya dingin seperti terselimuti hawa dingin musim hujan. Wajahnya pucat pasi, bibirnya membiru. Sebegitu pucatnya hingga tak tampak aliran darah di wajahnya. Tangannya lemas tak mampu bergerak meski matanya mengerjap merasakan ada sosok yang begitu panik menggendongnya. Tapi selemah apapun dia, tetaplah tahu bahwa sosok yang panik itu bukan ibunya.
            Hembusan nafas lega bercampur panik begitu terasa ketika sosok Sholeh yang terkulai dalam gendongan sampai di rumah pamannya. Nina yang sejak tadi sudah tenggelam dalam tangis pilu penuh rasa bersalah langsung menyeruak di keramaian dan menopang tubuh Sholeh dengan kedua tangannya. Ia membawa Sholeh ke dalam.
            Tubuh dingin penuh dengan aroma keringat itu diletakkan begitu pelan diatas kasur. Sepatu dan baju seragam yang basah dan kotor itu satu per satu di tanggalkan. Dengan masih sesenggukan, Nina membasuh tubuh Sholeh dengan air hangat dan handuk halus. Air matanya tak juga mengering kala ia membasuh wajah pucat Sholeh dan bibir birunya. Sebuah baju tidur hangat bergambar ultraman kesukaan Sholeh di kenakan di tubuh Sholeh.
            Dengan sabar Nina menyuapkan sesendok demi sesendok susu hangat ke mulut Sholeh. Meski mata Sholeh tak kian membuka, tapi perlahan dia menelan susu hangat itu. sesekali Nina mengecek handuk pengompres di kepala Sholeh. Dua lapis selimut juga turut menghangatkan tubuh Sholeh. Nina juga coba mengoleskan minyak kayu putih ke sekujur tubuh Sholeh. Habis seperempat gelas, Sholeh tak mau lagi meminum susu yang disuapkan untuknya. Air mata Nina turut menering bersama wajah Sholeh yang mulai memerah.
            Masih merasa bersalah dengan kelalaianya menjaga Sholeh, Nina coba tidur di samping Sholeh. Meski ia tak bisa memejamkan mata, tapi ia memeluk erat tubuh Sholeh.
©
            Badannya sudah hangat, darah rasanya kembali mengalir di tubuhnya. Ia malah merasa panas sekarang. Ia mencoba melepaskan pelukan tangan di perutnya. Tapi ia mengenal tangan kasar dan lelah ini. Dekapan hangat mengerubungi tubuhnya. Air mata menetes dari matanya, membasahi sebagian pipinya. Sholeh berbalik dan menatap wajah tua yang lelah itu, namun tatapan penuh cinta dan senyuman kasih sayang tak pernah luntur dari wajah itu.
            Ibunya masih terpejam, mungkin ia jauh lebih lelah dari Sholeh. Tangan kecilnya meraba wajah ibunya. Merasakan gurst keriput di mata ibunya. Matanya menatap satu persatu bagian wajah ibunya. Tangan kecilnya berhenti di pipi tirus ibunya. Ia meraba pipi yang sering ia pukul itu. ‘apakah masih sakit bu?’ begitu hatinya bertanya saat tangannya terus meraba pipi ibunya.
‘’ Sholeh sudah bangun?’’
            Ibunya mengerjap membuka mata, tersenyum pada Sholeh dan bertanya. Wajah lelah yang selalu Sholeh rindukan kini telah kembali. Senyuman kembali hampir dalam hidupnya. Haru menyeruak begitu saja dalam hatinya, entah apa yang membuatnya ingi menangs dalam dekapan ibunya. Sholeh memeluk erat tubuh kurus ibunya dan mulai menangis sejadinya.
‘’lho.. kok malah menangis nak?’’
            Tangan ibu mengelus kepala dan punggung Sholeh secara bergantian. Suhu tubuh Sholeh sudah kembali normal. Dia memang sempat mengalami demam tinggi semalam. Sehingga keluarga pamannya bersepakat membawa Sholeh ke Rumah Sakit tempat ibunya selama ini berada. Dokter hanya memberikan suntikan penurun panas dan membiarkan Sholeh tidur dalam dekapan ibunya. Jika kondisinya tidak membaik baru ia akan di pasangi infus dan di rawat di bilik anak-anak.
‘’ibu kemana saja? Ibu marah ya sama Sholeh? Kenapa ibu tinggalkan Sholeh?’’
‘’maafkan ibu ya nak, ibu tidak bisa pulang selama beberapa hari.’’
‘’tapi kenapa bu? Sholeh janji tidak akan nakal lagi bu.’’
            Suasana haru begitu terpancar di bilik kamar di ujung koridor sebuah Rumah Sakit daerah. Dengan sesenggukan seorang anak lelaki coba menguapkan rindu dalam hatinya. Tangis polosnya begitu memancing emosi dalam diri setiap orang. Janji dan perkataan maaf yang ia katakan seolah sembilu yang menyentuh hati.
‘’ kaki ibu sakit nak, sehingga ibu harus istirahat di Rumah Sakit.’’
            Sholeh mengalihkan pandangan ke kaki ibunya. Sebelah kanan kaki ibunya di balut perbang tebal yang ia suka lihat di tv ketika orang mengalami kecelakaan. Hal itu membuat tangis Sholeh kian pecah. Tapi ia tak mengamuk atau memukul ibunya, ia malah memeluk pinggang ibunya semakin erat.
‘’ kaki ibu kenapa?’’
            Kata-katanya terbata bergantian dengan tangis sesenggukan yang coba ia hentikan. Tapi tetap saja mengalir di bukit-bukit pipinya.
‘’ibu terpeleset di sungai saat mencuci baju nak.’’
‘’ itu pasti baju yang Sholeh buang dan injak-injak ya bu? Maafkan sholeh ya bu.’’
‘’tidak apa-apa nak, ibu saja yang tidak hati-hati berjalan di sungai.’’
            Tangan ibu mengusap bulir-bulir air di ujung mata dan pipi Sholeh. Tangannya yang satu mendekap Sholeh. Waktu terasa membeku sehingga semua orang tampak tak bermakna. Hanya ada Sholeh dan Ibunya yang saling bertukar rindu dan kasih sayang.
©
            Kaki ibu masih di perban, ia berjalan dengan tongkat atau sesekali di atas kursi roda. Ibu hanya memasak di rumah dan Nina lah yang berjualan di warung. Sesekali ibu datang dengan kursi roda yang di dorong Sholeh. Seperti hari ini, Sholeh pulang cepat dari sekolah karena gurunya akan menghadiri sebuh rapat di kota kecamatan. Dia membantu ibunya pergi ke warung untuk mengantarkan sisa lauk yangmasih ada di rumah.
            Nina menyambut mereka dengan senyuman hangat dan pelukan selamat datang. Hidup tampak jauh lebih baik setelah mereka pulang dari Rumah Sakit. Teman-teman Nina sering datang untuk makan dan sesekali bantu mencuci piring. Para pemuda desa yang terpikat kecantikan hati Nina pun turut meramaikan warung.
            Hari ini adalah tanggal 04 agustus, dimana biasanya Sholeh akan merengak meminta ibunya membuat sebuah nasi tumpeng dan mengundang teman-temannya ke rumah. Tapi sudah dari seminggu lalu Sholeh selalu bilang ia tidak ingin merayakan ulang tahunnya seperti tahun-tahun sebelumnya. Meski tampak baik-baik saja tapi ibu tahu Sholeh setidaknya ingin sebuah kado di hari spesialnya.
‘’selamat ulang tahun Sholeh, jadi anak yang baik ya jangan nakal sama ibu lagi.’’
            Nina meraba rambut atas Sholeh sambil memberikan sebuah bingkisan yang diselimuti kertas kado berwarn biru dengan motif mobil mainan. Belum mengucapkan terima kasih Sholeh sudah begitu tak sabar dan dengan asal membuka bingkisan itu. sebuah mobil remot berwarna biru gelap kesukaannya tampak masih baru dan tersegel dalam bungkusnya. Ia begitu senang dan berlari memeluk Nina.
‘’ terimakasih mbak Nina....’’
‘’iya sama-sama’’
‘’katanya nggak mau dirayakan ulang tahunnya, tapi senang sekali dikasih kado.’’
            Ibu mencibir dari belakang sambil mengayuh kursi rodanya mendekat ke Sholeh.
‘’sholeh kan tidak minta bu, tapi kalau di kasih ya tidak nolak.’’
            Tawa renyah pecah begitu saja di serambi warung. Ibu terus saja menggoda Sholeh yang mulai salah tingkah dengn kadonya. Dan dtengah keharmonisa keluarga mini itu, sebuah mobil nissan juke merapat ke halmn warung. Sang supir mencoba memarkir sebaik mungkin sehingga tidak menghambat lalu lintas.
            Sosok pria tampan nan gagah turun dari balik kursi kemudi. Pakaiannya tampak seperti orang kaya dengan kemeja dan sepatu yang melekat di kakinya. Senyum hangat terpancar dari wajah putihnya. Pria itu cukup tinggi dan dadanya bidang. Kulitnya putih dan bersih sangat kontras dengan orang-orang di kampung. Dia mengunci pintu mobil dan berjalan ke arah warung. Semua perhatian tersita untuknya. Bahkan sesuap nasi yang tinggal di telan pun mendadak susah masuk ke perut.
‘’ Assalamualaikum Sholeh...’’
            Pria itu merunduk di depan Sholeh dan menyapanya. Sholeh berlari ke pangkuan ibunya, mencari tempat berlindung.
‘’ Sholeh.. ini om fadil. Beliaulah yang menjaga ibu selama di Rumah Sakit dan juga yang membayar biaya pengobatan ibu.’’
            Dengan pelan sekali ibu coba menjelaskan sosok pria tampaan di hadapan mereka.
‘’Assalamualaikum Sholeh.’’
            Sekali lagi pria itu coba mencuri perhatian Sholeh yang malah kian terpaku dengan penjelasan ibunya.
‘’kok tidak di jawab salamnya.’’
‘’nak,, Sholeh,, ayo salim sama om fadil.’’
 ‘’ waalaikumussalam...’’
            Dengan takzim Sholeh mencium punggung tangan om Fadil. Dan dibalas dengan usapan hangat di rambutnya. 
‘’bagaimana? Sudah siap?’’
            Entah apa yang mereka bicarakan tapi ibu mengangguk mengisyaratkan setuju.
‘’Sholeh mau makan ayam ya katanya?’’
            Pria itu bersimpuh di depan Sholeh dan memegang kedua lengan Sholeh. Pria ini seperti sosk ayah yang telah lama hilang dalam hidupnya. Sholeh mengangguk dengan begitu polos, membuat Nina terkikik kecil melihat ekspresi Sholeh.
‘’kan Sholeh sedang ulang tahun. Jadi ibu sama om mau ajak Sholeh jalan-jalan ke mall nanti kita makan ayam disana. Mau?’’
            Sholeh menoleh ke arah ibunya, matanya membesar seolah menanti sebuah jawaban. Ibunya tersenyum dan mengangguk. Mata Sholeh berbinar dengan jawaban ibunya.
‘’ mau om. Tapi sama ibu kan?’’
‘’iyadong, kita pergi bertiga. Ibu Sholeh dan om. Nanti kita pergi naik mobil om, kita makan ayam dan jalan-jalan ke mall.’’
            Tak menyita banyak waktu, Sholeh menurut ketika om fadil mendudukkanya di bangku anak-anak di deretan kusi belakang. Om Fadil juga memasangkan sabuk pengaman untuk Sholeh dan ibu yang duduk di bangku depan.  Sepanjang jalan mereka hanya bercerita dan bercanda kecil. Sesekali Sholeh ikut meniruka penyanyi diRadio anak-anak yang sengaja di setel om Fadil.
            Mobil putih berplat H itu menepi di gerbang sebuah SMP. Om Fadil membuka kaca di jendela ibu lalu tersenyum dan mengklakson seorang anak perempuan yang berdiri di depan gerbang. Anak perempuan itu berlari menghampiri mobil dan membuka pintu belakang. Secara otomatis gadis itu duduk di sebelah Sholeh. Dia melambai sambil tersenyum hangat pada Sholeh.
‘’Assalamualaikum Sholeh.’’
             Gadis berjilbab putih berseragam SMP itu menyapa Sholeh dengan hangat.
‘’Waalaikumussalam..’’
‘’nama kakak bunga..’’
            Gadis itu mengulurkan tangan mengajak berkenalan. Reflek Sholeh mencium takzim tangan Bunga. Dia berfikir pernah melihat gadis ini sebelumnya. Ahh iya, Sholeh ingat wajah putih penuh kebahagiaan gadis ini. Dia sering datang ke warung ibu setiap pulang sekolah. Ia ingat suatu hari gadis itu pernah cerita dengan ibunya saat Sholeh sedang mengerjakan tugas menggambar di warung. Gadis itu bilang masakan pembantu di rumahnya tidak seenak milik ibu. Jadi setiap pulang sekolah dia selalu makan siang di warung ibu. Jadi om Fadil ini ayahnya kak Bunga.
            Gerbang mall sudah tampak 50 meter di depan. Sholeh begitu tertegun dengan gedung bertingkat yang selalu ia ingin kunjungi itu. kepalanya mendongak di kaca jendela. Tangannya menempel dikaca. Mereka memarkirkan mobil di tempat yang kita melewatinya dengan berputar-putar. Dengan sigap om fadil menurunkan kuris roda ibu dan menggendong ibu turun dari mobil. Kak Bungan menggenggam tangan Sholeh.
            Mereka berjalan memasuki lift dan naik ke lantai 2. Sebuah toko yang menjual ayam menjadi tujuan mereka. Sholeh sering melihat toko seperti ini di tv. Sehingga ia berfikir akankah dia masuk tv jika makan disini. Kak Bunga dan om Fadil sangat baik pada mereka. Ibu duduk di sebelah kak Bungan dan Sholeh duduk bersama om Fadil.  Canda tawa tampak menghiasi meja mereka. Om Fadil memotong kecil-kecil ayam Sholeh sehingga mudah di telan. Ia juga membimbing Sholeh mencuci tangan di wastafel dan mengeringkan tangan dengan udara panas yang membuat Sholeh berjingkat.
            Sehabis makan, mereka berjalan-jalan melihat toko mainan. Sesekali om Fadil menggendong ibu melewati tangga berjalan. Selebihnya, om Fadil memanggul Sholeh di pundaknya. Seperti yang ayah lakukan jika mereka pergi ke pasar malam. Mereka berhenti di toko Plastation. Om Fadil memberikan sebuah Ps 3 versi terbaru untuk Sholeh. Sedikitpun  ibu tidak mencegah om Fadil menunjukan kasih sayangnya untuk Sholeh. Kak Bungan bantu memilihkan permainan Ps yang boleh dimainkan Sholeh. Ia juga menjelaskan cara bermainnya.
            Sholeh pulang dengan wajah sumringah, bahkan sepanjang perjalanan ia mendekap Ps barunya. Adzan magrib berkumandang ketika mereka sampai di depan rumah. Nina bergegas membuka pintu saat Sholeh turun dari mobil. Ia berpelukan dengan kak Bunga. Ibu memakasa om Fadil untuk sholat magrib berjamaah di rumah dan makan malam bersama.
            Sholeh tampak lahap dengan ayam kecap dan sayur jagug masakan ibunya. Bercanda dengan om Fadil dan kak Bungan membuat ia merasa utuh sebagai anak yang baru saja berusia 10 tahun.  Sehabis isya, om Fadil dan kak Bunga pamit untuk pulang ke rumah. Kak Bunga memeluk Sholeh erat dan mencium pipinya. Sholeh membalas dengan mengecup tangan takzim pada om Fadil, seolh pada ayahnya sendiri.
            Om Fadil bersimpuh di depan Sholeh. Tangannya lagi-lagi memegang lengan Sholeh dan matanya masuk hingga hati Sholeh.
‘’boleh om Fadil jadi ayah baru Sholeh?’’
Tamat....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGEN DISAYANG TAPI OGAH PACARAN

Corona dan Manusia

Sebuah Skenario Kematian