Hitam dan Tercemar

  ' Like living in the dream.' Kabut menyelimuti langit pukul 05.30 pagi. Benda tak padat, yang tak bisa digenggam itu menelisik anggun di antara pepohonan, membuat beberapa dahan ketutupan. Seperti di dalam lukisan, kabut itu turun dari langit, ke sela sela pohon, hingga berbaur dengan orang-orang di atas tanah. Kabut datang bersama hawa dingin yang mengungkung sekujur tubuh. Seolah es yang membekukan kulit bagian luar, mendekap kuat tapi tak menghangatkan. Meski dingin menerjang, udara pagi di pegunungan tetap menawan paru paru yang penuh kepulan asap kendaraan dan tembakau bakar. Katlya duduk di pembatas jalan, merapatkan jaket yang dikenakan. Hidungnya memerah dan berlendir, pipinya dingin tapi kenyal seperti kue mochi di dalam freezer. Ia menggosokkan telapak tangannya mencari kehangatan. Seperti naga kehilangan daya, nafasnya menyemburkan asap tanpa api. "Kenapa mbak motornya? Mogok?," seorang pria paruh baya dengan celana pendek dan celurit menghampiri Katlya.

~Sebab aku tidak berbohong tentang cinta ku~


Hujan mengingatkan ku pada kota Bogor. Rintik airnya mengingatkan ku pada kerinduan. Dan aromanya, mengingatkan ku pada deru suara motor mu yang membelah jalanan. Lalu semua kenangan tentang mu berputar layaknya layar sinema tengah malam, tanpa jeda iklan.

Ingatkah kamu pada hari terakhir kita bertemu di bawah rintik hujan. Tubuh mu basah kuyup oleh hujan dan wajah ku basah kuyup oleh air mata. Bahkan saat matahari bersinar yang ku ingat bukan terang, tapi kisah kita yang berakhir di pinggir jalan. Aku tidak takut sakit karena kehujanan. Aku hanya takut kamu tak kembali bahkan ketika hujan sudah pergi.

Sampai hari ini saat gerombolan air datang menyemai bumi, aku masih mencium aroma mu pada hari itu. Aroma parfum mu yang tak pernah hilang di terpa hujan. Aroma tubuh mu yang menguar dan begitu akrab dalam ingatan. Bahkan kepulan asap knalpot motor tua yang kau bawa hari itu masih menguar di ingatan ku.

Apakah kau mendengar Isak ku pada hari itu?. Isak yang kalah oleh suara petir namun dalam sampai ke palung hati. Isak yang kau tinggal pergi meski masih deras mengalir membelah pipi. Isak yang jika kau rasakan kelak kau tak kan lagi bisa mendefinisikan tangisan. Mungkin Isak ku tak terdengar namun aku tahu hati mu merasakan. Bagaimana di hari itu aku menggenggam hati mu dengan tangis ku. 'Jangan pergi' kataku, namun nyatanya sampai hari ini kau tak pernah kembali.

Tubuhku menggigil di aspal jalan, bukan karena kedinginan tapi karena kehilangan. Kepala ku pening bukan sebab kehujanan tapi sebab dipaksa melupakan. Hati hancur berkeping-keping bukan karena kecelakaan, tapi karena ditinggalkan. Ingatkah kamu? Bagaimana aku yang hanya mengenakan kaos tipis yang kita buat bersama. Kehujanan dan ditinggalkan, mematung di trotoar memandangi punggung mu menghilang. Bahkan di detik terakhir perpisahan kau tak pernah memberi ku kehangatan.

Entah bagaimana aku harus bersikap, saat akhirnya sikap dingin mu tak kan lagi kurasakan. Namun ternyata, kepergian mu justru membuat hati ku menggigil tak karuan. Meski tak pernah kau genggam namun tangan ku tak lagi mampu merajut kehangatan. Meski tak pernah kau buat aku tertawa bahagia namun kepergian mu pun bukan alasan untuk ku merangkai tawa. Aku hanya menjadi lebih diam, bahkan dari sebuah batu aku menjadi lebih pendiam.

Hari itu aku hampir mati karena supir angkot yang ugal-ugalan. Padahal sebenarnya jiwa ku sudah terlebih dulu mati kau tikam dengan kata perpisahan. Aku membuat onar dengan pengguna jalan. Sebab kaki ku tak sedikitpun bisa berjalan terpaku di tempat kejadian perkara. Dimana kau adalah pelaku peledakan dan aku korban kehancuran hubungan. Aku tidak mampu pulang, sebab rumah ku adalah kamu. Lalu jika kamu pergi kemana aku harus berlari.

Apa kabar kamu hari ini? Aku tidak berani menerka. Jika saja kamu hidup bahagia bersama istri dan anak mu, aku ingin meronta, sebab aku ingin jadi bagian dari kebahagiaan mu. Jika saja kamu hidup menderita, kedinginan dan gagal di tempa kehidupan ibu kota. Aku juga ingin meronta, sebab aku ingin memeluk mu saat kau kesusahan dan kelelahan. Sebab aku ingin kau jadikan sandaran saat kau pikir hidup telah menelanjangi mu dengan cobaan.

Tapi kini aku bahkan tak tau seperti apa wajah penuh bulu di dagu itu kini berada. Aku sibuk dengan diam ku. Diam diam memikirkan mu, diam diam mengharapkan mu, diam diam aku mati dalam diam. Aku sudah bersuami, dia supir angkot ugal-ugalan yang membawa ku dari pinggir jalan. Mendadani ku layaknya pengantin dan menjadikan istrinya tanpa pernah mendengar ku berkata 'iya'.

Pernikahan kami sederhana, hanya di hadiri aku dan dia juga seorang penghulu. Baju ku bekas istrinya dulu yang kini hidup merawat diriku. Istrinya buta, tak bisa menatap wajah istri kedua suaminya. Mungkin sebab itu dia tidak pernah memaki ku, malah justru merawat tubuh ku, bukan hatiku. Istri suami ku kehilangan penglihatannya tapi masih bisa berbuat apa saja, termasuk memandikan dan membuang kotoran ku. Aku 'hanya' kehilangan kamu, tapi langsung tak bisa apa-apa.

Aku tidak pernah berbohong saat ku bilang bahwa hidup ku adalah kamu. Aku tidak pernah bohong saat ku bilang tidak bisa hidup tanpa kamu. Hanya supir angkot ugal-ugalan itu yang membuang waktunya merawat ku. Fisik ku dinikahinya tapi hatiku bahkan tak di sentuhnya. Tidakkah kamu ingin kembali padaku? Sekedar mengembalikan nafas yang kau renggut separuh. Namun jika benar kau kembali bersama separuh nafas ku. Akan ku gunakan untuk mengejar mu kembali. Sebab aku tidak pernah berbohong saat ku katakan 'Aku Cinta Kamu'.

Jika kau akan kembali, kembalilah menghidupi ruh ku. Jika kau ingin pergi, 'ku mohon jangan pergi....' aku tidak sanggup jatuh cinta seorang diri.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

jauh

KKN (Kisah Kasih Nyata), Mitos atau Fakta ?

Dari UMKM Untuk Milenial