Hitam dan Tercemar

  ' Like living in the dream.' Kabut menyelimuti langit pukul 05.30 pagi. Benda tak padat, yang tak bisa digenggam itu menelisik anggun di antara pepohonan, membuat beberapa dahan ketutupan. Seperti di dalam lukisan, kabut itu turun dari langit, ke sela sela pohon, hingga berbaur dengan orang-orang di atas tanah. Kabut datang bersama hawa dingin yang mengungkung sekujur tubuh. Seolah es yang membekukan kulit bagian luar, mendekap kuat tapi tak menghangatkan. Meski dingin menerjang, udara pagi di pegunungan tetap menawan paru paru yang penuh kepulan asap kendaraan dan tembakau bakar. Katlya duduk di pembatas jalan, merapatkan jaket yang dikenakan. Hidungnya memerah dan berlendir, pipinya dingin tapi kenyal seperti kue mochi di dalam freezer. Ia menggosokkan telapak tangannya mencari kehangatan. Seperti naga kehilangan daya, nafasnya menyemburkan asap tanpa api. "Kenapa mbak motornya? Mogok?," seorang pria paruh baya dengan celana pendek dan celurit menghampiri Katlya.

#kupu-kupu di perut ku



Aku ingin merebahkan kepala ku di pundak mu. Sekaligus menyandarkan hati ku ke jiwa mu. Bintang gemintang berbisik kepada bulan. Katanya, aku terlalu mencintai sosok mu.

Apapun itu aku hanya ingin menyemai setiap lembar langit malam bersama mu. Aku ingin mengantongi setiap impian bersama mu. Melangkah dalam jurang duka dan jembatan cita sambil menggenggam telapak tangan kasar mu.

Aku rasa ilmuwan tak lagi butuh penelitian untuk membuktikan keberadaan manusia listrik. Nyatanya, setiap insan yang jatuh cinta selalu mengalami sengatan di sekujur tubuhnya. Hatinya yang berjingkat senang kelonjakan sengatan listrik ke seluruh tubuh. Mengalirkan darah segar warna merah muda dengan rasa manis legit.

Kamu tahu?, Saat kamu melangkah ke arah ku, saat senyum mu tertuju pada ku, saat suara mu menggelitik telinga ku. Ada jutaan kupu-kupu yang lama tidur tiba-tiba bangun dan menguar dalam perutku. Menggelitik setiap rongga kosong yang tiba-tiba menjadi penuh oleh paras mu.

Hatiku kalah telak pada kerlingan mata mu. Aku yang mati rasa pada dunia, seketika jatuh cinta hanya dalam sepersekian canda. Kamu unik, membuat ku jatuh cinta dalam tertawa bukan dengan pesona. Bahkan jika paras mu tak seberapa, nyatanya itu mampu membuat ku tergila-gila.

Aku takut menulis nama mu dalam buku, sebab nanti yang baca bisa jatuh cinta. Aku ragu menyebut nama mu melalui lisan ku, sebab nanti yang mendengar bisa jatuh cinta. Bahkan aku takut mendengar nama mu disebut, sebab begitu saja aku sudah jatuh cinta lagi, lagi, dan lagi.

Sudah cukup cerita tentang mu, sebab aku takut tak becus mengurai nama mu. Para bintang masih berbisik apakah aku menggilai mu atau cinta mati pada mu. Keduanya aku pun tak bisa memberi kepastian. Biar langit yang memutuskan bagaimana hati ku memprioritaskan mu dalam setiap doa ku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGEN DISAYANG TAPI OGAH PACARAN

Corona dan Manusia

Sebuah Skenario Kematian