Hitam dan Tercemar

  ' Like living in the dream.' Kabut menyelimuti langit pukul 05.30 pagi. Benda tak padat, yang tak bisa digenggam itu menelisik anggun di antara pepohonan, membuat beberapa dahan ketutupan. Seperti di dalam lukisan, kabut itu turun dari langit, ke sela sela pohon, hingga berbaur dengan orang-orang di atas tanah. Kabut datang bersama hawa dingin yang mengungkung sekujur tubuh. Seolah es yang membekukan kulit bagian luar, mendekap kuat tapi tak menghangatkan. Meski dingin menerjang, udara pagi di pegunungan tetap menawan paru paru yang penuh kepulan asap kendaraan dan tembakau bakar. Katlya duduk di pembatas jalan, merapatkan jaket yang dikenakan. Hidungnya memerah dan berlendir, pipinya dingin tapi kenyal seperti kue mochi di dalam freezer. Ia menggosokkan telapak tangannya mencari kehangatan. Seperti naga kehilangan daya, nafasnya menyemburkan asap tanpa api. "Kenapa mbak motornya? Mogok?," seorang pria paruh baya dengan celana pendek dan celurit menghampiri Katlya.

Si Kopi Susu


Cecilia Pranotowati, gadis keturunan chines pecinta senja yang setiap sore duduk di beranda rumah menyecap matcha latte buatan sendiri. Pikirannya sering merantau ke dunia lain, menilik aneka ragam kehidupan yang tidak dia temui di dunia nyata. Terkadang lamunannya bubar ditengahi suara abang tukang ketoprak yang sibuk menjajakan kecambah dan kerupuk di dalam gerobak. Dilain hari lamunannya mengalir sampai tiba ayahnya kembali dari mencari nafkah. Lalu mereka masuk bersama ke dalam rumah, berbincang sedikit tentang pasar modal sebelum akhirnya lenyap menuju aktifitas bersih-bersih sore.
Cecilia hanyalah gadis sederhana, hidup dengan imajinasi di sela-sela kegiatannya sebagai penulis lepas di dunia maya. Setiap hari adalah hari libur dan hari bekerja untuknya, bisa saja dia bersantai di pagi hari lalu bekerja keras dari sore hingga malam. Hari ini Cecilia mengenakan kaos biru bergambar pipa rokok kesukaannya. Duduk menghadap ke jendela sebuah Cafe di salah satu pusat perbelanjaan. Matanya fokus menatap ke layar di meja, tangannya menari-nari di atas balok-balok huruf yang menyambung dengan layar di meja. Sementara pikirannya sibuk membolak balik aneka materi, teori, kenangan dan angan yang pernah singgah. Tidak terasa memang dia duduk disana dalam kurun waktu dua jam dan berhasil menghasilkan sebongkah ide yang tengah asyik di rakit menggunakan kata-kata.
“Permisi”
Kursi di seberang meja terdengar di tarik dan seseorang dengan sepatu boot dan jaket kulit duduk disana. Tangannya meletakkan secangkir Americano dengan aroma yang bergoyang di lubang hidung. Sejenak Cecilia menatap jari jemari yang memeluk cangkir Americano di hadapannya, sebelum kemudian menatap pemilik tangan sawo matang di depannya. Seorang laki-laki kira-kira seusia dengannya duduk bersilang kaki sambil sesekali membolak-balikkan halaman buku yang ia pegang. Cecilia hanya diam, otaknya berpikir tajam aneka asumsi di susun rapi dalam salah satu folder di kepalanya. Sementara matanya sibuk menelaah lelaki di depannya, dari ujung rambut hitamnya sampai ujung sepatu boot warna coklat yang sudah mulai kusam.

“Saya gak suka baca sendirian. Sepi.”
Tiba-tiba laki-laki berkulit sawo matang itu bicara, tepat sebelum Cecilia berhenti menelaah dan kembali pada layar berpendar di depannya. Mata Cecilia kembali menatap laki-laki yang masih sibuk membalik halaman buku di depannya.
“Tapi saya juga gak suka keramaian. Bising.”
Laki-laki itu melanjutkan perkataannya, sembari sesekali menyecap Americanonya yang mulai dingin. Cecilia enggan memberikan tanggapan, batinnya “Terserah dia ajalah”.
“Bara.”
Lengan sawo matang yang baru saja merengkuh cangkir Americano kini terulur ke hadapan Cecilia, mengganggu matanya dari menatap layar berpendar.
“Cecilia.”
Magic, Cecilia menyambut lengan itu lalu menggerakkannya naik dan turun. Mata mereka bertemu, terjadi saling tatap cukup lama. Seolah saling menyelam pada pribadi satu sama lain. Orang bilang mata adalah jendela hati, jika ingin tahu isi hati seseorang, tataplah matanya secara mendalam.
©
Tiba-tiba saja jumat pagi menjadi jadwal rutin bagi Bara dan Cecilia untuk duduk bersama dalam satu meja di tepi jendela tempat dimana mereka pertama bertemu. Terkadang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Cecilia dengan tugas menyalurkan ide-idenya dalam tulisan, dan Bara yang setia dengan satu buku dalam seminggu.  Cukup sering juga mereka bertukar fikiran bahkan bertukar cangkir, terutama jika Cecilia sudah merasa mentok memeras otaknya.
Hari ini adalah jumat ke 54 mereka duduk bersama di tepi jendela. Cecilia datang dengan dress warna kuning selutut berpadu dengan jaket softjeans warna terang. Lewat sepuluh menit dari waktu biasa mereka bertemu, Bara datang mengenakan celana jeans selutut dan kaos oblong berwarna kuning. Sekali lagi, mereka duduk di tepi jendela, Cecilia menggenggam Vanilla Latte dan Bara masih setia dengan Americano. Keduanya saling sapa sebentar bertanya tentang kemacetan yang mengular di depan Cafe lalu tenggelam pada masing-masing bacaan.
“Kenapa kamu selalu mengganti menu minuman?”
Cecilia menoleh ke arah Bara yang kini menatapnya dengan mata buah cerinya yang berbinar. Sejenak Cecilia berfikir alasan apa yang akan dia berikan.
“Hidup ku tidak pernah monoton, ada saatnya aku senang, ada saatnya aku susah. Jika senang minum pahit jika susah minum manis.”
“Kenapa jika senang minum manis dan jika susah minum pahit? Tidak terbalik?.”
“Biar seimbang, tidak mati rasa. Tetap manis saat susah, lalu pahit saat senang.”
Bara mengangguk, kembali kepada posisi duduknya menyerong ke arah jendela. Jemarinya sibuk mengurai halaman sementara kepalanya mengangguk-angguk seolah baru saja mengerti arti ‘kenapa’.
©
Seketika ini sudah jumat ke 100 mereka duduk di pinggir jendela, menatap keramaian dibalik kaca sambil berimajinasi pada masing-masing jalan pikiran. Hari ini Bara datang lebih awal, dia bahkan sudah memesankan Mocachino untuk Cecilia. Jika saja telinga para pengunjung peka, mereka akan mendengar ada debar yang tak kunjung reda semenjak seorang gadis dengan kemeja merah muda membunyikan lonceng tanda pengunjung datang.
“Kamu datang awal kali ini.”
Cecilia menyapa Bara dengan pertanyaan basa-basi, perlahan ia duduk di kursi sambil memperhatikan mimik gugup di wajah Bara.
“Ada apa?.”
Bara nampak gelisah dengan terus menggosok telapak tangannya. Jika bisa disentuh mungkin tangannya lembab dan jantungnya berdebar semakin kencang.
“Aku...”
Ada nada menggantung di ujung kalimat Bara, menandakan sang komunikator ragu dengan pesan yang akan ia sampaikan. Mungkin saja otak Bara tengah berpikir keras menseleksi apa apa saja kata yang akan ia ucapkan. Lalu dalam hati sibuk berdoa, menenangkan diri, mempersiapkan mental jika jika saja terjadi penolakan.
“Aku ingin mengajakmu melalui perjalanan panjang.”
Akhirnya kalimat itu berhasil diungkapkan dalam sekali helaan nafas. Debar jantung  Bara mengalami peningkatan, lalu menurun perlahan. Beberapa kali ia menggigit bibir, sembari menantikan Cecilia yang masih terdiam.
Diam saja, tapi sebenarnya kini jantung Cecilia yang terlonjak dari tempatnya. Kepalanya seolah berputar, berulang kali ia mengingat apa apa yang sudah di katakan oleh Bara. Mencernanya lagi dan lagi, menyusun aneka ragam alasan dan alternatif jawaban. Di sisi lain Cecilia memikirkan apa arti dari setiap kata yang telah dimuntahkan oleh Bara. Perjalanan panjang? Apakah ini perjalanan hati atau ragawi?.
“Kamu mampu membuat ramai di hati ku, meski sekelilingku sepi meski jiwa ku sendiri.”
Bara mulai bisa mengatur debar jantungnya, kini ia mulai mengatakan apa apa yang hatinya rasakan. Giliran Cecilia yang jantungnya tunggang langgang, hatinya berdenyut dan matanya berkedut. Harus apa? Jawab apa?.
“Aku tidak suka diam saja, tapi bersama mu diam pun menyenangkan.”
Satu lagi kalimat dari Bara yang meluncur bagai anak panah tepat mengenai hati Cecilia. Badannya terasa gerah, tubuhnya mulai gatal, ingin rasanya ia segera melompat ke dalam kolam. Sambil menata hati, Cecilia mencoba meraih kewarasannya, sekali lagi mencoba mencerna setiap kata yang dilontarkan Bara. Harus menjawab, Cecilia harus segera menjawab sebelum Bara melontarkan apa apa kalimat yang membuat tulangnya serasa meleleh.
“Iya.”
“Ha?.”
“Iya.”
Nyatanya Cecilia hanya mampu membalas dengan satu kata, tapi satu katanya merontokkan apa apa yang ada di batin Bara. Degup jantung mereka perlahan mereda, keringat dingin mulai menghilang. Terakhir, terbitlah senyum di bibir mereka berdua. Manis, semoga perjalanan panjang mereka juga akan berjalan manis. Meski nampak sepi, walau tak terdengar, tapi membuat riuh di hati.
©

Komentar

Postingan populer dari blog ini

jauh

KKN (Kisah Kasih Nyata), Mitos atau Fakta ?

Dari UMKM Untuk Milenial