Zainuddin
Langit
masih setia dengan warna biru cerah dan gumpalan awan putih tak bernoda siang
ini. Aku pun menerawang ke atas sana, menilik ada rahasia tuhan apa yang
ditulis di balik kepolosan warna biru siang ini. Namun, itu hanya kesibukan
yang aku buat. Demi menentramkan hati yang terus menerus bergejolak. Mataku
terpejam hikmah mencoba bercakap dengan Tuhan. Aku bertanya padanya,
“
Tuhan alasan apa kau pertemukan aku dengan dia? Kebetulankah atau?”
Mataku
terbuka tak sanggup melanjutkan kalimat yang aku rangkai sendiri. Aku meraba
kenangan ku dengannya. Hari pertama aku bertemu dengannya. Semua itu berawal
biasa saja. Tidak ada tabrakan saat aku membawa buku. Atau aku terjatuh dan
ditangkap olehnya. Atau aku dan dia yang saling menatap untuk sepersekian
detik. Apalagi tangan kami yang bersentuhan saat dia membantuku memungut buku
ku yang terjatuh.
Pagi
itu dia hanya berdiri di atas mimbar. Berteriak dengan suara lantang
meneriakkan segala argumen yang ia campur dengan emosinya. Nafas nasionalisme
begitu kental namun sayang telah ternodai dengan organisasi bodoh yang ia
ikuti. Hingga ia terlihat begitu kolot dengan semua sumpah serapahnya. Ditambah
dengan pakaian lusuh kebanggannya. Dari ujung rambut hingga ujung kaki semua
berwarna hitam seolah menyiratkan keprihatinannya akan bangsa ini. Akan semakin
memprihatinkan jika melihat bibirnya yang menghitam teracuni nikotin yang tak
pernah lelah ia hisap di sela nafasnya.
Dan
aku, aku hanya memandangnya dari bawah memperhatikan segala bagian tubuhnya.
Merasa bodo amat dengan apa yang ia katakan. Aku sibuk mengeja tubuhnya inci
demi inci aku perhatikan. Aku merasa sangat polos memandang dengan mulut
melongo. Ya aku hanya terpaku diam menatapnya. Aku tidak tahu ada apa yang
pasti otak ku terkontaminasi dengan sosoknya.
Hari
demi hari ku lalui dengan menatap bengong dirinya di atas mimbar. Mendengar
lalu semua ucapannya. Selalu risih dengan pakaian lusuhnya tapi aku suka.
Selalu kecewa melihatnya merokok tapi tak bisa berbuat apa-apa. Hingga hari itu
tiba, teman wanitanya yang menangkap basah aku duduk terbengong. Memberikan aku
mikrofon yang dipakai olehnya. Dengan membentak-bentak
dia meminta aku memimpin massa yang jumlahnya macam karyawan pabrik itu. Aku
gemetar, menatap penuh iba padanya yang acuh akan aku. Gemetar aku memegang
mikrofon, hanya bisa menatap nya yang lalu begitu saja. Terluka? Ahh untuk
patah hati pun aku tak berhak. Mulutku berkoar berteriak tak tentu apa yang
diucap. Tapi mataku tak lepas dari bayangnya terus mengawasinya. Dialah sumber
semua ucapan ku.
“kau
jahat sekali membiarkan ku tenggelam dalam rasa seorang diri”
Ingin
rasanya ku teriakan kalimat itu melalui mikrofon yang ada di tangan ku. Setelah
segala kegugupan dan kebloonan ku. Ia menghampiri ku. Berkata dengan lemah tanpa
mampu mentap mataku. “ sini micc nya”. Sementara aku sibuk mengamati wajah
lusuh yang tak pernah ku lihat sedekat ini. Tapi itu tidak membuatku kehilangan
kesadaran aku segera kembali ke barisan.
Sejak
saat itu otak ku kembali di penuhi tanda tanya besar. Kenapa ia tak menatap
mataku seperti saat ia berbiara dengan yang lain. Tidak mungkin kan ia juga
suka padaku. Berbeda dengan aku yang bisa mendapatkan informasi tentang dia.
Dia takkan bisa tahu apa-apa tentang ku tanpa bertanya padaku. Dan sejak saat
itu pun aku semakin masa bodo dengan kata-katanya. Semakin acuh dengan pakaian
lusuhnya. Atau wajah gembelnya. Bahkan terserah mau berapa batang rokok yang ia
sumpalkan di mulut hitamnya itu. Aku hanya terfokus pada dua bola bertitik
hitam di wajahnya itu. Sepanjang hari selama pertemuan kita aku hanya melihat
matanya.
“apa
yang kau sembunyikan di balik sana??”
Hingga
berakhir masa pertemuan kita, hari-hari berikutnya lengang tanpa mu. Mataku
mencari mata mu. Hatiku merindu sosok mu. Hingga hanya sepersekian detik kau
melintas. Mata itu, rambut itu, bibir itu, sosok itu hadir sekejap dan hilang
untuk waktu yang tak jelas. Pakaiannya tak lagi lusuh ia naik kasta sekarang.
Gurat lelahpun berkurang dari wajahnya. Nampaknya ia tertidur pulas malam-malam
belakangan.
Kenapa
ia bisa tertidur pulas setelah berpisah dengan ku?. Kenapa ia begitu segar
setelah kita tak lagi bertemu. Ingin aku berlari menerkamnya. Bertanya kenpa ia
begitu tega dengan ‘kita’. Tidak berartikah kata itu untuknya. Namun aku tahu
takkan ada jawaban untuk pertanyaan itu. Hanya matanya yang selalu sendu ketika
menatapku. Hanya matanya yang tak berani menatap langsung dua bola mataku.
Hanya mata tajamnya yang nampak polos itu. Entah hingga kapan tapi kurasa
memang hanya matanya yang berpihak padaku. Tak ada sejengkal tubuh lainya yang
mendukung rasaku.
Tapi
aku bisa apa selain merenungkan semua pertemuan ku. Mengartikan dengan segala
susah payah makna tatapan sendu itu. Aku tidak mengerti dan takkan pernah
mengerti tentang semua itu. Kini aku tidak akan menerkam mu lagi. Tidak aku
tidak menyerah. Aku hanya sadar, dan akupun mulai mengerti mungkin kau tak
inginkan hadir ku disini. Untuk satu malam saja, temui aku dibawah
bintang-bintang. Genggam tanganku dan tatp mataku. Katakan aku harus apa?.
Ceritakan tentang dua bola matamu itu. Jika memang aku harus pergi, maka
ijinkan untuk semalam saja aku menggenngam tangan mu itu. Mengusap luka
perjuangan yang tak pernah engkau keluhkan.
Pahamilah
aku tiak ingin apa-apa. Aku hanya senang bisa ada di sekitar mu. Sekedar
mendengar tutur kata mu. Atau bahkan hanya saling tatap dengan mu. Aku tidak
keberatan jika memang aku harus pergi. Aku hanya ingin kau mengerti. Bahwa aku
tidak akan pernah tahu apa yang jadi ingin mu jika kau hanya diam. Tatap aku dan
katakan padaku, aku ini siapa untuk mu. Untuk 5 detik saja tatap aku. Agar aku
setidaknya tahu apa yang hatimu tahu tentang aku. Meski kau hanya diam sejuta
bahasa pun aku tak masalah. Aku takkan mati bosan sekedar menati mu merangkai
kata untuk ku. Aku tahu itu berat untuk mu. Tapi kau juga harus tahu bukan hal
mudah untukku pergi begitu saja dari tatap sendu mu.
Aku
tidak menuntut mu untuk menerimaku hanya jika bisa berilah aku sedikit trempat
dui hari-hari mu. Untuk kau terbiasa menatapku dengan gagah. Sekdara berkata
sepatah kata. Tak perlu yang punya ribuan makan. Cukup yang bisa menjelaskan
aku harus apa. Tapi yasudahlah jika memang harus begini adanya aku takkan
memaksa. Mungmin memang ada yng lain dimatamu. Yang mengganjal pandanganmu
padaku. Tapi aku harap itu bukan orang lain. Aku harap itu hanya ketidak
berdayaan mu yang mengungkung sebait kata untuk ku.
Sudah,,,
aku takkan mengganggu mu. Aku akan pergi, bukan untuk menyerah dengan mu. Aku
hanya akan melihat mata sendu mu itu dari tempat yang berbeda. Dan ingatlah
suatu detik nanti aku akan hadir lagi menatap mata sendu dan wajah kuyu mu.
Sekedar menanya kabar. Terlebih lagi, untuk menagih sepatah kata yang selalu
kau tutupi dengan mata sendu itu. Ingatlah dan tunggulah aku akan pergi melihat
mu dari tempat lain. Dan kembali lagi meski kutahu kau tak sendiri lagi. Jangan
perah kau lupa tentang sepatah kata yang akan aku ambil suatu hari nanti. Tahukah kau? aku mengalah sebodoh ini hanya
demi sepatah kata darimu, dan tak perlu ku jelaskan kau tahu makna semua itu.
Komentar
Posting Komentar