Hitam dan Tercemar

  ' Like living in the dream.' Kabut menyelimuti langit pukul 05.30 pagi. Benda tak padat, yang tak bisa digenggam itu menelisik anggun di antara pepohonan, membuat beberapa dahan ketutupan. Seperti di dalam lukisan, kabut itu turun dari langit, ke sela sela pohon, hingga berbaur dengan orang-orang di atas tanah. Kabut datang bersama hawa dingin yang mengungkung sekujur tubuh. Seolah es yang membekukan kulit bagian luar, mendekap kuat tapi tak menghangatkan. Meski dingin menerjang, udara pagi di pegunungan tetap menawan paru paru yang penuh kepulan asap kendaraan dan tembakau bakar. Katlya duduk di pembatas jalan, merapatkan jaket yang dikenakan. Hidungnya memerah dan berlendir, pipinya dingin tapi kenyal seperti kue mochi di dalam freezer. Ia menggosokkan telapak tangannya mencari kehangatan. Seperti naga kehilangan daya, nafasnya menyemburkan asap tanpa api. "Kenapa mbak motornya? Mogok?," seorang pria paruh baya dengan celana pendek dan celurit menghampiri Katlya.

zainuddin



 Zainuddin
          Langit masih setia dengan warna biru cerah dan gumpalan awan putih tak bernoda siang ini. Aku pun menerawang ke atas sana, menilik ada rahasia tuhan apa yang ditulis di balik kepolosan warna biru siang ini. Namun, itu hanya kesibukan yang aku buat. Demi menentramkan hati yang terus menerus bergejolak. Mataku terpejam hikmah mencoba bercakap dengan Tuhan. Aku bertanya padanya,
          “ Tuhan alasan apa kau pertemukan aku dengan dia? Kebetulankah atau?”
          Mataku terbuka tak sanggup melanjutkan kalimat yang aku rangkai sendiri. Aku meraba kenangan ku dengannya. Hari pertama aku bertemu dengannya. Semua itu berawal biasa saja. Tidak ada tabrakan saat aku membawa buku. Atau aku terjatuh dan ditangkap olehnya. Atau aku dan dia yang saling menatap untuk sepersekian detik. Apalagi tangan kami yang bersentuhan saat dia membantuku memungut buku ku yang terjatuh.
          Pagi itu dia hanya berdiri di atas mimbar. Berteriak dengan suara lantang meneriakkan segala argumen yang ia campur dengan emosinya. Nafas nasionalisme begitu kental namun sayang telah ternodai dengan organisasi bodoh yang ia ikuti. Hingga ia terlihat begitu kolot dengan semua sumpah serapahnya. Ditambah dengan pakaian lusuh kebanggannya. Dari ujung rambut hingga ujung kaki semua berwarna hitam seolah menyiratkan keprihatinannya akan bangsa ini. Akan semakin memprihatinkan jika melihat bibirnya yang menghitam teracuni nikotin yang tak pernah lelah ia hisap di sela nafasnya.
          Dan aku, aku hanya memandangnya dari bawah memperhatikan segala bagian tubuhnya. Merasa bodo amat dengan apa yang ia katakan. Aku sibuk mengeja tubuhnya inci demi inci aku perhatikan. Aku merasa sangat polos memandang dengan mulut melongo. Ya aku hanya terpaku diam menatapnya. Aku tidak tahu ada apa yang pasti otak ku terkontaminasi dengan sosoknya.
          Hari demi hari ku lalui dengan menatap bengong dirinya di atas mimbar. Mendengar lalu semua ucapannya. Selalu risih dengan pakaian lusuhnya tapi aku suka. Selalu kecewa melihatnya merokok tapi tak bisa berbuat apa-apa. Hingga hari itu tiba, teman wanitanya yang menangkap basah aku duduk terbengong. Memberikan aku mikrofon yang dipakai olehnya. Dengan  membentak-bentak dia meminta aku memimpin massa yang jumlahnya macam karyawan pabrik itu. Aku gemetar, menatap penuh iba padanya yang acuh akan aku. Gemetar aku memegang mikrofon, hanya bisa menatap nya yang lalu begitu saja. Terluka? Ahh untuk patah hati pun aku tak berhak. Mulutku berkoar berteriak tak tentu apa yang diucap. Tapi mataku tak lepas dari bayangnya terus mengawasinya. Dialah sumber semua ucapan ku.
          “kau jahat sekali membiarkan ku tenggelam dalam rasa seorang diri”
          Ingin rasanya ku teriakan kalimat itu melalui mikrofon yang ada di tangan ku. Setelah segala kegugupan dan kebloonan ku. Ia menghampiri ku. Berkata dengan lemah tanpa mampu mentap mataku. “ sini micc nya”. Sementara aku sibuk mengamati wajah lusuh yang tak pernah ku lihat sedekat ini. Tapi itu tidak membuatku kehilangan kesadaran aku segera kembali ke barisan.
          Sejak saat itu otak ku kembali di penuhi tanda tanya besar. Kenapa ia tak menatap mataku seperti saat ia berbiara dengan yang lain. Tidak mungkin kan ia juga suka padaku. Berbeda dengan aku yang bisa mendapatkan informasi tentang dia. Dia takkan bisa tahu apa-apa tentang ku tanpa bertanya padaku. Dan sejak saat itu pun aku semakin masa bodo dengan kata-katanya. Semakin acuh dengan pakaian lusuhnya. Atau wajah gembelnya. Bahkan terserah mau berapa batang rokok yang ia sumpalkan di mulut hitamnya itu. Aku hanya terfokus pada dua bola bertitik hitam di wajahnya itu. Sepanjang hari selama pertemuan kita aku hanya melihat matanya.
          “apa yang kau sembunyikan di balik sana??”
          Hingga berakhir masa pertemuan kita, hari-hari berikutnya lengang tanpa mu. Mataku mencari mata mu. Hatiku merindu sosok mu. Hingga hanya sepersekian detik kau melintas. Mata itu, rambut itu, bibir itu, sosok itu hadir sekejap dan hilang untuk waktu yang tak jelas. Pakaiannya tak lagi lusuh ia naik kasta sekarang. Gurat lelahpun berkurang dari wajahnya. Nampaknya ia tertidur pulas malam-malam belakangan.
          Kenapa ia bisa tertidur pulas setelah berpisah dengan ku?. Kenapa ia begitu segar setelah kita tak lagi bertemu. Ingin aku berlari menerkamnya. Bertanya kenpa ia begitu tega dengan ‘kita’. Tidak berartikah kata itu untuknya. Namun aku tahu takkan ada jawaban untuk pertanyaan itu. Hanya matanya yang selalu sendu ketika menatapku. Hanya matanya yang tak berani menatap langsung dua bola mataku. Hanya mata tajamnya yang nampak polos itu. Entah hingga kapan tapi kurasa memang hanya matanya yang berpihak padaku. Tak ada sejengkal tubuh lainya yang mendukung rasaku.
          Tapi aku bisa apa selain merenungkan semua pertemuan ku. Mengartikan dengan segala susah payah makna tatapan sendu itu. Aku tidak mengerti dan takkan pernah mengerti tentang semua itu. Kini aku tidak akan menerkam mu lagi. Tidak aku tidak menyerah. Aku hanya sadar, dan akupun mulai mengerti mungkin kau tak inginkan hadir ku disini. Untuk satu malam saja, temui aku dibawah bintang-bintang. Genggam tanganku dan tatp mataku. Katakan aku harus apa?. Ceritakan tentang dua bola matamu itu. Jika memang aku harus pergi, maka ijinkan untuk semalam saja aku menggenngam tangan mu itu. Mengusap luka perjuangan yang tak pernah engkau keluhkan.
          Pahamilah aku tiak ingin apa-apa. Aku hanya senang bisa ada di sekitar mu. Sekedar mendengar tutur kata mu. Atau bahkan hanya saling tatap dengan mu. Aku tidak keberatan jika memang aku harus pergi. Aku hanya ingin kau mengerti. Bahwa aku tidak akan pernah tahu apa yang jadi ingin mu jika kau hanya diam. Tatap aku dan katakan padaku, aku ini siapa untuk mu. Untuk 5 detik saja tatap aku. Agar aku setidaknya tahu apa yang hatimu tahu tentang aku. Meski kau hanya diam sejuta bahasa pun aku tak masalah. Aku takkan mati bosan sekedar menati mu merangkai kata untuk ku. Aku tahu itu berat untuk mu. Tapi kau juga harus tahu bukan hal mudah untukku pergi begitu saja dari tatap sendu mu.
          Aku tidak menuntut mu untuk menerimaku hanya jika bisa berilah aku sedikit trempat dui hari-hari mu. Untuk kau terbiasa menatapku dengan gagah. Sekdara berkata sepatah kata. Tak perlu yang punya ribuan makan. Cukup yang bisa menjelaskan aku harus apa. Tapi yasudahlah jika memang harus begini adanya aku takkan memaksa. Mungmin memang ada yng lain dimatamu. Yang mengganjal pandanganmu padaku. Tapi aku harap itu bukan orang lain. Aku harap itu hanya ketidak berdayaan mu yang mengungkung sebait kata untuk ku.
          Sudah,,, aku takkan mengganggu mu. Aku akan pergi, bukan untuk menyerah dengan mu. Aku hanya akan melihat mata sendu mu itu dari tempat yang berbeda. Dan ingatlah suatu detik nanti aku akan hadir lagi menatap mata sendu dan wajah kuyu mu. Sekedar menanya kabar. Terlebih lagi, untuk menagih sepatah kata yang selalu kau tutupi dengan mata sendu itu. Ingatlah dan tunggulah aku akan pergi melihat mu dari tempat lain. Dan kembali lagi meski kutahu kau tak sendiri lagi. Jangan perah kau lupa tentang sepatah kata yang akan aku ambil suatu hari nanti. Tahukah kau? aku mengalah sebodoh ini hanya demi sepatah kata darimu, dan tak perlu ku jelaskan kau tahu makna semua itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGEN DISAYANG TAPI OGAH PACARAN

Corona dan Manusia

Sebuah Skenario Kematian