Hitam dan Tercemar

  ' Like living in the dream.' Kabut menyelimuti langit pukul 05.30 pagi. Benda tak padat, yang tak bisa digenggam itu menelisik anggun di antara pepohonan, membuat beberapa dahan ketutupan. Seperti di dalam lukisan, kabut itu turun dari langit, ke sela sela pohon, hingga berbaur dengan orang-orang di atas tanah. Kabut datang bersama hawa dingin yang mengungkung sekujur tubuh. Seolah es yang membekukan kulit bagian luar, mendekap kuat tapi tak menghangatkan. Meski dingin menerjang, udara pagi di pegunungan tetap menawan paru paru yang penuh kepulan asap kendaraan dan tembakau bakar. Katlya duduk di pembatas jalan, merapatkan jaket yang dikenakan. Hidungnya memerah dan berlendir, pipinya dingin tapi kenyal seperti kue mochi di dalam freezer. Ia menggosokkan telapak tangannya mencari kehangatan. Seperti naga kehilangan daya, nafasnya menyemburkan asap tanpa api. "Kenapa mbak motornya? Mogok?," seorang pria paruh baya dengan celana pendek dan celurit menghampiri Katlya.

sekotak pahala yang tumpah



Sekotak pahala yang tumpah
            Pagi yang cerah mengawali hari yang indah. Seorang gadis cilik berkepang 2 berjalan Setengah melompat. Dengan riang menyusuri jalanan desa yang tampak sepi. Gadis kecil itu bernama mita. Umurnya baru 6 tahun. Tapi dia gadis yang sangat cerdas dan baik hatinya. Tiba-tiba saat mita melewati gank kecil, mita bertemu dengan nenek tua yang membawa sebuah keranjang berisi jajanan teradisional. Nenek itu terlihat sangat lelah dan kesusahan membawa keranjang yang masih penuh itu. Mita pun mendekati nenek itu.
            “nenek kenapa? Nenek capek ya?”
            “iya nak, nenek lelah. Suami nenek sedang sakit keras. Nenek harus mencari uang untuk biaya makan dan pengobatan kakek. Tapi sejak tadi pagi nenek berkeliling,belum ada yang membeli.”
            Nenek itu bercerita sambil terbatuk-batuk dan sesekali mengusap peluh yang terlihat membasahi kening nenek yang penuh dengan keriput. Mendengar cerita nenek, mita tergerak hatinya,berharap bisa membantu nenek itu.
            “kasihan nenek. Mita boleh bantuin gak nek? “
            “apa nak? Anak mau bantu nenek? Jangan anak masih kecil”
            “memang kalau mita masih kecil,mita gak boleh bantuin nenek?”
            Nenek itu tersenyum mendengar pertanyaan polos dari mita. Sejenak nenek itu mengusap peluhnya, lalu mengusap rambut mita sambil tersenyum dan berkata,
            “memang anak mau bantuin nenek apa?”
            “mama mita lagi arisan di rumah tante dita,kalo mita bawa jajanan nenek ke rumah tante dita pasti banyak yang beli. Nenek percaya deh sama mita”
            Mita menepuk dadanya bermaksud membanggakan diri untuk meyakinkan nenek. Nenek itu berfikir sejenak sambil memandang wajah imut mita. Gemas rasanya memandang anak se-imut mita berbicara seperti itu. Tapi entah angin apa yang membuat nenek itu akhirnya yakin dengan perkataan mita. Nenek itu pun memberikan keranjang jajanannya. Nenek itu kembali mengusap rambut mita dan berkata.
            “anak yang cantik, nenek titipkan keranjang ini padamu. Kalo kamu bisa menjualnya dengan jujur dan baik. Nenek akan memberikan sesuatu untukmu.”
            “nenek tenang aja. Mama mita bilang kalo kita menolong orang harus ikhlas, gak boleh minta imbalan jadi nenek gak perlu ngasih sesuatu ke mita. Cukup dengan ridho nenek atas apa yang mita lakukan.”
            “tentu nak.”
            Nenek itu mengecup kening mita sebelum akhirnya mita melambaikan tangan dan pergi dengan sekeranjang jajanan milik nenek. Mita melangkah setengah berlari. Bukan karena terlalu semangat tapi karena mita keberatan dengan keranjang yang besarnya lebih dari setengah tubuhnya. Sesekali mita berhenti untuk mengusap peluhnya,atau untuk mengambil nafas ,ataupun membenarkan posisi keranjangnya. Hingga akhirnya dia sampai di rumah tante dita. Tepat saat para ibu-ibu itu tengah bercakap-cakap sambil sesekali menggosip dan memakan cemilan yang di sediakan. Dengan terengah-engah mita menawarkan jajanan yang di bawanya pada ibu-ibu yang sedang bercakap ria.
            “tante-tante yang cantik, mita punya jajanan tradisional yang enak-enak lho. Harganya Cuma 1000 satunya. 500 buat jajanannya dan 500 lagi buat mbantuin kakek yang lagi sakit. Ayo tante-tante semuanya beli!!! Yang beli dapet pahala lho,,,,,ayo tante-tante semuanya beli.”
            Mita bersemangat menjual jajanan yang di bawanya. Menawarkan dari satu orang ke orang lainnya. Memasang wajah imutnya dan tersenyum riang setiap kali menawarkannya. Alhasil senyum riang nya mampu menggantikan sekeranjang jajanan itu dengan uang yang berlipat ganda dari hasil seharusnya. Mama mita tersenyum bangga dengan tingkah laku mita. Mama pun mendekati mita dan memeluknya.
            “anak mama pintar sekali berdagangnya?!”
            “iya ma, ini untuk biaya makan & obat kakek.”
            “kakek siapa sayang?”
            “kakeknya nenek yang jualan jajanan. Kasihan nenek gak ada yang bantuin.”
            “ subhanallah.........”
            “yaudah ya ma mita mau ke tempat nenek itu dulu. Biar uangnya bisa buat beli obat secepatnya.”
            Mama mengangguk sambil menyeka air mata harunya. Betapa bangga ibu yang melahirkan anak sebaik dan secantik mita. Mita demi teringat wajah lelah nenek yang menantinya. Bergegas membawa keranjang yang sudah kosong itu lalu berlari ke tempat nenek itu menunggu. Uang receh yang di kantongi mita berbunyi bersamaan yang dengan guncangan yang terjadi karena gerak kaki mita yang berlari. Sampai di tempat nenek menunggu. Mita mengeluarkan semua uang yang di perolehnya dan menaruhnya di pangkuan nenek itu. Mata nenek berbinar melihat uang yang walau lecek itu tapi ada banyak. Lebih dari yang nenek bayangkan.
            “terima kasih ya nak. Kamu memang anak yang di rahmati tuhan.”
            Mita tersenyum manis sekali mendengar pujian nenek. Nenek  mengambil sebuah kotak kardus seukuran kotak nasi. Dari keranjang yang tadi di gendongnya di punggung. Lalu menyerahkannya pada mita.
            “nak, ini ada sebuah kotak. Kotak ini sangat berharga. Hanya ini harta yang selalu nenek pertahankan sejak nenek seumur kamu.”
            Mita menerima kotak itu dan melihatnya secara detail. Kemudian mengocok kotak itu. Mencoba menebak isinya.
            “kotak apa ini nek? Apa isinya?”
            “ini sekotak pahala nak. Pahala yang nenek kumpulkan untuk membeli tiket ke surga”
            “sekotak pahala nek? Aku belum pernah mendengarnya.”
            “simpanlah dan terus menambah pahala di dalamnya.”
            “sampai kapan aku harus mengisinya dengan pahala?”
            “sampai kau menemukan jalan yang indah ke surga.”
            Nenek itu tersenyum dan beranjak pergi. Mengambil keranjang jajanan yang tadi di bawa mita.lalu membenarkan 1 lagi keranjang yang ada di punggungnya. Sementara mita masih berfikir di mana jalan terindah ke surga itu berada. ‘Apakah mama akan memberikannya untuk hadiah ulang tahunnya yang ke 7 tahun depan?’. Lama berfikir mita akhirnya sadar nenek penjaja makanan tadi sudah berjalan jauh hingga di pertengahan jalan raya. Mita akhirnya mengejar nenek itu sambil bertanya dengan berteriak.
            “nenek?? Apa nenek sudah dapat tiket ke surga?”
            “iya,,tentu!!segera nak.”
            Nenek itu tersenyum dan hendak membalik badan. Namun tiba-tiba sebuah truk berjalan tak terkendali. Dari kejauhan tampak supirnya seperti orang mabuk. Nenek itu mencoba menghindar dengan segera berlari ke setengah jalan yang telah di laluinya. Tepatnya tak jauh dari tempat berdiri mita. Tapi seakan surga mengejarnya, truk itu berjalan sesuai langkah kaki sang nenek.
            Takdir yang tak dapat di hindari. Sekotak pahala itu terjatuh dari genggaman mita. Matanya terbelalak tak percaya dengan apa yang di lihatnya. Mulutnya menganga menunjukkan keterkejutannya. Orang-orang berlarian. Ingin menolong atau sekedar menonton. Langkah kaki mereka secara tak sengaja menginjak sekotak pahala pemberian sang nenek. Hancur. Gepeng sudah sekotak pahala yang di berikan nenek sesaat sebelum langit berkehendak. Tangisan mita pecah. Nenek yang sepersekian detik lalu tersenyum padanya. Kini terbaring di tepi jalan, bersimbah darah yang terus mengucur entah dari mana. Mita menangis seperti anak kecil yang marah tidak di belikan boneka. Mita mengambil kotak pahala yang sudah gepeng itu dari tanah. Tertunduk dalam. Menangis. Tangis mita makin lama makin kencang. Mama yang baru pulang dari arisan. Setengah berlari menghampiri mita. Di dekapnya mita dengan segenap kasih. Mita menunjukkan kotak pahalanya dan dengan tersedu berkata pada mamanya,
            “mama tadi nenek itu ngasih mita sekotak pahala yang udah di kumpulin nenek dari kecil. Tapi sekarang kotak nya rusak. Pahalanya tumpah ma,, padahal nenek belum dapet tiket ke surga”
            Mita tersedu di pundak mamanya. Mama turut terharu dengan kisah putri kecilnya. Mama mengelus punggung mita. Menenangkan. Lalu berkata dengan halus pada mita,,
            “sayang,,nenek itu gak perlu tiket ke surga. Semua pintu surga sudah terbuka untuknya.”
            “tapi dari mana mama tau?”
            “karena nenek itu meninggal dengan tersenyum. Kamu tahu nggak kenapa nenek itu tersenyum?”
            Mama memegang kedua lengan mita dan menatap mata putrinya yang bundar kecil seperti buah kelengkeng. Mita menggeleng pelan. Mengusap ingus yang bergelantung di hidungnya.
            “kareeennnnaaaa sebelum nenek meninggal dia bertemu dengan malaikat secantik mita.”
            Mama lalu menggendong mita. Masih mengelus punggungnya. Berjalan pulang ke rumah.
            “mama.... mita boleh nyimpan kardus ini gak?”
            “iya sayang,, nanti kita taruh di lemari petualangan mita ya?”
            Mita tersenyum dan mendekap erat mamanya. Dalam hati mita bekata ”sekotak pahala yang tumpah”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGEN DISAYANG TAPI OGAH PACARAN

Corona dan Manusia

Sebuah Skenario Kematian