Sekotak
pahala yang tumpah
Pagi
yang cerah mengawali hari yang indah. Seorang gadis cilik berkepang 2 berjalan
Setengah melompat. Dengan riang menyusuri jalanan desa yang tampak sepi. Gadis
kecil itu bernama mita. Umurnya baru 6 tahun. Tapi dia gadis yang sangat cerdas
dan baik hatinya. Tiba-tiba saat mita melewati gank kecil, mita bertemu dengan
nenek tua yang membawa sebuah keranjang berisi jajanan teradisional. Nenek itu
terlihat sangat lelah dan kesusahan membawa keranjang yang masih penuh itu.
Mita pun mendekati nenek itu.
“nenek
kenapa? Nenek capek ya?”
“iya
nak, nenek lelah. Suami nenek sedang sakit keras. Nenek harus mencari uang untuk
biaya makan dan pengobatan kakek. Tapi sejak tadi pagi nenek berkeliling,belum
ada yang membeli.”
Nenek
itu bercerita sambil terbatuk-batuk dan sesekali mengusap peluh yang terlihat
membasahi kening nenek yang penuh dengan keriput. Mendengar cerita nenek, mita tergerak
hatinya,berharap bisa membantu nenek itu.
“kasihan
nenek. Mita boleh bantuin gak nek? “
“apa
nak? Anak mau bantu nenek? Jangan anak masih kecil”
“memang
kalau mita masih kecil,mita gak boleh bantuin nenek?”
Nenek itu
tersenyum mendengar pertanyaan polos dari mita. Sejenak nenek itu mengusap
peluhnya, lalu mengusap rambut mita sambil tersenyum dan berkata,
“memang anak mau
bantuin nenek apa?”
“mama mita lagi
arisan di rumah tante dita,kalo mita bawa jajanan nenek ke rumah tante dita
pasti banyak yang beli. Nenek percaya deh sama mita”
Mita menepuk
dadanya bermaksud membanggakan diri untuk meyakinkan nenek. Nenek itu berfikir
sejenak sambil memandang wajah imut mita. Gemas rasanya memandang anak se-imut
mita berbicara seperti itu. Tapi entah angin apa yang membuat nenek itu
akhirnya yakin dengan perkataan mita. Nenek itu pun memberikan keranjang
jajanannya. Nenek itu kembali mengusap rambut mita dan berkata.
“anak yang cantik,
nenek titipkan keranjang ini padamu. Kalo kamu bisa menjualnya dengan jujur dan
baik. Nenek akan memberikan sesuatu untukmu.”
“nenek tenang aja.
Mama mita bilang kalo kita menolong orang harus ikhlas, gak boleh minta imbalan
jadi nenek gak perlu ngasih sesuatu ke mita. Cukup dengan ridho nenek atas apa
yang mita lakukan.”
“tentu nak.”
Nenek itu mengecup kening mita sebelum akhirnya mita
melambaikan tangan dan pergi dengan sekeranjang jajanan milik nenek. Mita
melangkah setengah berlari. Bukan karena terlalu semangat tapi karena mita
keberatan dengan keranjang yang besarnya lebih dari setengah tubuhnya. Sesekali
mita berhenti untuk mengusap peluhnya,atau untuk mengambil nafas ,ataupun
membenarkan posisi keranjangnya. Hingga akhirnya dia sampai di rumah tante
dita. Tepat saat para ibu-ibu itu tengah bercakap-cakap sambil sesekali
menggosip dan memakan cemilan yang di sediakan. Dengan terengah-engah mita
menawarkan jajanan yang di bawanya pada ibu-ibu yang sedang bercakap ria.
“tante-tante yang
cantik, mita punya jajanan tradisional yang enak-enak lho. Harganya Cuma 1000
satunya. 500 buat jajanannya dan 500 lagi buat mbantuin kakek yang lagi sakit.
Ayo tante-tante semuanya beli!!! Yang beli dapet pahala lho,,,,,ayo tante-tante
semuanya beli.”
Mita bersemangat
menjual jajanan yang di bawanya. Menawarkan dari satu orang ke orang lainnya.
Memasang wajah imutnya dan tersenyum riang setiap kali menawarkannya. Alhasil
senyum riang nya mampu menggantikan sekeranjang jajanan itu dengan uang yang
berlipat ganda dari hasil seharusnya. Mama mita tersenyum bangga dengan tingkah
laku mita. Mama pun mendekati mita dan memeluknya.
“anak mama pintar
sekali berdagangnya?!”
“iya ma, ini untuk
biaya makan & obat kakek.”
“kakek siapa
sayang?”
“kakeknya nenek
yang jualan jajanan. Kasihan nenek gak ada yang bantuin.”
“ subhanallah.........”
“yaudah ya ma mita
mau ke tempat nenek itu dulu. Biar uangnya bisa buat beli obat secepatnya.”
Mama mengangguk
sambil menyeka air mata harunya. Betapa bangga ibu yang melahirkan anak sebaik
dan secantik mita. Mita demi teringat wajah lelah nenek yang menantinya.
Bergegas membawa keranjang yang sudah kosong itu lalu berlari ke tempat nenek
itu menunggu. Uang receh yang di kantongi mita berbunyi bersamaan yang dengan
guncangan yang terjadi karena gerak kaki mita yang berlari. Sampai di tempat nenek
menunggu. Mita mengeluarkan semua uang yang di perolehnya dan menaruhnya di
pangkuan nenek itu. Mata nenek berbinar melihat uang yang walau lecek itu tapi
ada banyak. Lebih dari yang nenek bayangkan.
“terima kasih ya
nak. Kamu memang anak yang di rahmati tuhan.”
Mita tersenyum
manis sekali mendengar pujian nenek. Nenek
mengambil sebuah kotak kardus seukuran kotak nasi. Dari keranjang yang
tadi di gendongnya di punggung. Lalu menyerahkannya pada mita.
“nak, ini ada
sebuah kotak. Kotak ini sangat berharga. Hanya ini harta yang selalu nenek
pertahankan sejak nenek seumur kamu.”
Mita menerima
kotak itu dan melihatnya secara detail. Kemudian mengocok kotak itu. Mencoba
menebak isinya.
“kotak apa ini
nek? Apa isinya?”
“ini sekotak
pahala nak. Pahala yang nenek kumpulkan untuk membeli tiket ke surga”
“sekotak pahala
nek? Aku belum pernah mendengarnya.”
“simpanlah dan
terus menambah pahala di dalamnya.”
“sampai kapan aku
harus mengisinya dengan pahala?”
“sampai kau
menemukan jalan yang indah ke surga.”
Nenek itu
tersenyum dan beranjak pergi. Mengambil keranjang jajanan yang tadi di bawa mita.lalu
membenarkan 1 lagi keranjang yang ada di punggungnya. Sementara mita masih
berfikir di mana jalan terindah ke surga itu berada. ‘Apakah mama akan
memberikannya untuk hadiah ulang tahunnya yang ke 7 tahun depan?’. Lama
berfikir mita akhirnya sadar nenek penjaja makanan tadi sudah berjalan jauh
hingga di pertengahan jalan raya. Mita akhirnya mengejar nenek itu sambil
bertanya dengan berteriak.
“nenek?? Apa nenek
sudah dapat tiket ke surga?”
“iya,,tentu!!segera
nak.”
Nenek itu
tersenyum dan hendak membalik badan. Namun tiba-tiba sebuah truk berjalan tak
terkendali. Dari kejauhan tampak supirnya seperti orang mabuk. Nenek itu
mencoba menghindar dengan segera berlari ke setengah jalan yang telah di
laluinya. Tepatnya tak jauh dari tempat berdiri mita. Tapi seakan surga
mengejarnya, truk itu berjalan sesuai langkah kaki sang nenek.
Takdir yang tak
dapat di hindari. Sekotak pahala itu terjatuh dari genggaman mita. Matanya
terbelalak tak percaya dengan apa yang di lihatnya. Mulutnya menganga
menunjukkan keterkejutannya. Orang-orang berlarian. Ingin menolong atau sekedar
menonton. Langkah kaki mereka secara tak sengaja menginjak sekotak pahala
pemberian sang nenek. Hancur. Gepeng sudah sekotak pahala yang di berikan nenek
sesaat sebelum langit berkehendak. Tangisan mita pecah. Nenek yang sepersekian
detik lalu tersenyum padanya. Kini terbaring di tepi jalan, bersimbah darah
yang terus mengucur entah dari mana. Mita menangis seperti anak kecil yang
marah tidak di belikan boneka. Mita mengambil kotak pahala yang sudah gepeng
itu dari tanah. Tertunduk dalam. Menangis. Tangis mita makin lama makin
kencang. Mama yang baru pulang dari arisan. Setengah berlari menghampiri mita.
Di dekapnya mita dengan segenap kasih. Mita menunjukkan kotak pahalanya dan
dengan tersedu berkata pada mamanya,
“mama tadi nenek
itu ngasih mita sekotak pahala yang udah di kumpulin nenek dari kecil. Tapi
sekarang kotak nya rusak. Pahalanya tumpah ma,, padahal nenek belum dapet tiket
ke surga”
Mita tersedu di
pundak mamanya. Mama turut terharu dengan kisah putri kecilnya. Mama mengelus
punggung mita. Menenangkan. Lalu berkata dengan halus pada mita,,
“sayang,,nenek itu
gak perlu tiket ke surga. Semua pintu surga sudah terbuka untuknya.”
“tapi dari mana
mama tau?”
“karena nenek itu
meninggal dengan tersenyum. Kamu tahu nggak kenapa nenek itu tersenyum?”
Mama memegang
kedua lengan mita dan menatap mata putrinya yang bundar kecil seperti buah
kelengkeng. Mita menggeleng pelan. Mengusap ingus yang bergelantung di
hidungnya.
“kareeennnnaaaa
sebelum nenek meninggal dia bertemu dengan malaikat secantik mita.”
Mama lalu
menggendong mita. Masih mengelus punggungnya. Berjalan pulang ke rumah.
“mama.... mita
boleh nyimpan kardus ini gak?”
“iya sayang,,
nanti kita taruh di lemari petualangan mita ya?”
Mita tersenyum dan
mendekap erat mamanya. Dalam hati mita bekata ”sekotak pahala yang tumpah”
Komentar
Posting Komentar