Hitam dan Tercemar

  ' Like living in the dream.' Kabut menyelimuti langit pukul 05.30 pagi. Benda tak padat, yang tak bisa digenggam itu menelisik anggun di antara pepohonan, membuat beberapa dahan ketutupan. Seperti di dalam lukisan, kabut itu turun dari langit, ke sela sela pohon, hingga berbaur dengan orang-orang di atas tanah. Kabut datang bersama hawa dingin yang mengungkung sekujur tubuh. Seolah es yang membekukan kulit bagian luar, mendekap kuat tapi tak menghangatkan. Meski dingin menerjang, udara pagi di pegunungan tetap menawan paru paru yang penuh kepulan asap kendaraan dan tembakau bakar. Katlya duduk di pembatas jalan, merapatkan jaket yang dikenakan. Hidungnya memerah dan berlendir, pipinya dingin tapi kenyal seperti kue mochi di dalam freezer. Ia menggosokkan telapak tangannya mencari kehangatan. Seperti naga kehilangan daya, nafasnya menyemburkan asap tanpa api. "Kenapa mbak motornya? Mogok?," seorang pria paruh baya dengan celana pendek dan celurit menghampiri Katlya.

Travelsize of my lyf

Hari ini, aku berkunjung ke sebuah pameran sketsa. Tangan ku melirik ke pergelangan tangan, tempat sebuah jam berwarna hitam, dengan motif galaxy bertelekkan. Pukul 20:00 WIB, bagi beberapa orang, malam sudah mulai merajai waktu. Namun, aku melihat beberapa anak-anak berlarian di sekitar panggung. Pameran ini baru akan dibuka, para seniman, kurator dan penikmat seni berkumpul disekitar panggung, mendengarkan sambutan yang sarat akan istilah seni. Aku bahkan tidak mengerti apa itu garis grafik, atau bagaimana sketsa teknologi digital dan imaginasi bisa bekerjasama dalam menghasilkan sebuah karya seni. Dua orang anak laki-laki tersebut saling mengejar satu sama lain. Masa bodoh dengan pria paruh baya, dengan rambut penuh uban, gigi ompong dan badan kurus yang tengah memberikan apresiasi pada para seniman di kursi penonton. 

Aku lupa bagaimana waktu berputar, hingga akhirnya ruang pameran itu terbuka. Tapi hidup memang selalu punya kejutan, jika kita mau menyadarinya. Bersama dengan para rombongan, aku mengikuti para senior seniman memasuki ruangan tersebut. Seremonial acara pembukaan masih dilanjutkan dengan penandatanganan gambar. Aku berdiri disana, melaksanakan tugas ku mengambil gambar. Lalu seperti biasa, menggerombol pada satu tokoh. Mengajukan daftar pertanyaan yang sudah disiapkan. Dua anak laki-laki itu muncul lagi, kini mereka bertiga berguling di atas meja. Menarik ujung mata ku untuk terus mengekor gerak-gerik mereka. Bahkan, telinga ku lebih mendengar lengking teriakan mereka. Daripada apa yang rektor salah satu institusi terbaik di kota ini bicarakan. 

"Sudah pak. Terimakasih banyak"

Laki-laki dengan rambut panjang yang diikat mengakhiri sesi tanya jawab kami. Aku sudah sering melihatnya, dalam berbagai acara pendidikan dan kebudayaan. Kurang lebih, kami memiliki genre kerja yang sama. Ia selalu mengenakan ransel lusuh, jaket parasit dan menggenggam kamera dengan lensa yang diganti-ganti. Gerombolan berpisah, aku memutuskan untuk mengelilingi ruangan pameran. Tidak efektif memang, mengunjungi pameran yang penuh dengan orang. Itu bisa mengecohmu dari menikmati dan mengamati benda yang dipamerkan. Percayalah, aku bisa berdiri di depan sebuah karya yang dipamerkan dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Mencoba memahami apa yang sang maestro coba katakan padaku. Kadang aku merasa memahaminya, kadang menemukan lebih dari satu jawaban, dan tidak jarang juga hingga pameran berakhir aku masih tidak mengerti apapun. 

Aku hanya berjalan mengelilingi ruangan, melihat setiap sketsa yang dibingkai. Pameran ini menceritakan salah satu sudut yang memiliki daya magnet tinggi di kota ini. Setiap harinya, ada ribuan orang disana, entah untuk menikmati hidup, menghabiskan liburan, bercengkrama dengan kekasih, atau justru memeras peluh dari kantong para pelancong. Ada wisatawan yang merasa beruntung mendapatkan seorang tukang becak yang mengayuh pedal dengan keras, menyeka peluhnya setiap dua menit untuk mengajaknya berkeliling kota sambil bercerita ini itu. Sementara si tukang becak mengalami dilema, dia harus membawa dua orang dengan berat badan yang tentu akan membuat kedua kakinya pegal mengayuh pedal keliling kota. Namun sebagain hatinya juga lega, karena akhirnya uangnya cukup untuk membeli lauk bagi seisi rumah. Jalan-jalan yang ia lewati, kisah yang ia ceritakan, seluruhnya adalah masa paling bahagia yang dialami dalam hidupnya. Tidak banyak, tapi ia mampu mengingatnya dengan baik. 

Kisah tukang becak itu tiba-tiba hadir, saat aku memandang sketsa tentang seorang lelaki yang bersandar pada plengkung gading. Disebelahnya tergelatak wadah kopi yang biasa dijajakan keliling. Guratan pensil pada wajah pria itu, menekankan pada kerutan di dahi, seolah ingin menyampaikan betapa lelahnya laki-laki itu, berkeliling jalanan, menjajakan kopinya yang hanya dihargai 2000 rupiah per gelasnya. Lamunan ku dibuyarkan oleh rengekan seorang anak laki-laki berambut panjang dengan wajah kotak. Berbeda dengan sebelumnya, anak ini tengah memegang kereta bayi, didalamnya seorang anak laki-laki yang lebih muda duduk dengan pandangan tak terarah. Si kakak merengek pada ibunya, entah meminta apa. Entah bagaimana juga pikiranku berlari dengan pertanyaan, 'akan tumbuh seperti apa anak ini'. Mata ku terus menelanjangi wajah anak tersebut, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan ku. Hingga akhirnya, hati ku yang bersuara 'Jadi apapun, semoga ia tabah dengan jalan hidupnya, bagaimanapun nanti jalannya.'.


Hanya sekilas saja aku melihat setiap sketsa hingga akhirnya memilih pulang. Bulan desember, seharusnya musim hujan sudah menjadi topik harian. Entah, antara semesta terlalu sakit dengn tingkah manusia hingga menangispun ia tak mampu, atau Tuhan ingin kita menyebut nama-Nya lebih keras lagi untuk meminta hujan turun. Tapi hujan hanya menyapa sesekali, seolah bumi bukan lagi tempat yang asyik untuk dikunjungi. Rintik-rintik kecil menemaniku selama perjalanan pulang. Pikiran ku tidak kosong, ia terisi oleh tingkah anak-anak di pameran tadi. Lalu terbang pada masa kecil ku, masa kecil orang di sekitar ku, dan anak kecil lainnya yang pernah ku temui. Betapa menakjubkannya bagaimana Tuhan membuat aku dan mereka semua tumbuh menjadi 'manusia'. Aku masih tidak paham konsep 'manusia' yang diciptakan Tuhan. Ada banyak sekali suku, ras, agama, jenis kelamin, negara, budaya, emosi yang untuk memahaminya adalah sebuah puzle rumit. Sudah ku mulai untuk menyusunnya, tapi beberapa bidik terkadang hilang, dan hingga sekarang aku belum mampu melengkapinya. 


Pagi hariku selalu diawali dengan dering alarm dari ponsel pintarku. Yah, ponsel ku cukup pintar, bahkan kadang melebihi pengetahuan dan kemampuan ku. Kemudian, aku menjalani aktivitas sebagai 'manusia', beribadah pada Tuhannya. Berdoa untuk segala janji manis kehidupan. Saat matahari dan kicau burung bertengger bersama di langit biru, sebuah pesan turut brtelekan di notifikasi bar. 

'Cap'

Begitu ibu ku selalu memanggil anaknya yang paling hitam ini dengan panggilan kecap. Salah satu bahan masakan yang... Yah kau tahu sendiri apa itu kecap. Atau setidaknya gunakan otak dari ponselmu untuk mencari tahu tentang kecap. Sedikit aku bocorkan, bahwa ibu ku adalah madrasah pertama tempat ku mempelajari satire. Dimana kepedihan bersembunyi dibalik kata-katanya yang menyakitkan. Butuh 17 tahun untukku mampu melihat setiap luka dibalik ucapannya. Mengejutkannya, aku mulai memahami dengan mengalami sendiri hal tersebut. Aku menyembunyikan kepedihan,luka dan kelemahan dalam hidupku dibalik ucapan ku yang seperti panah dari neraka, melukai oranglain tepat di jantung. Dan aku, selalu menyesali ucapan ku setiap malam, berharap bisa meminta maaf pada setiap orang yang aku sakiti. Namun tak pernah berani benar-benar melakukannya. Ini mengejutkan dan menyakitkan, saat aku menyadari aku tumbuh menjadi seperti orang yang aku benci dalam hidupku. Ya, aku pernah membenci ibu ku, dengan sangat. On travelsize of my lyf aku tidak akan menutupi atau menyangkalnya. Justru, aku perlu mengingat betapa mengerikannya momen itu, hingga aku tidak ingin mengulanginya lagi dimasa depan. Not for a second. Why? Karena kamu adalah satu-satunya yang akan sangat terluka saat kamu membenci sesuatu atau seseorang. Kamu fikir mereka akan peduli jika kamu benci? Tidak selalu. 


Aku tidak akan cerita bagaimana setelah lulus SMP, keluarga ku berubah menjadi tempat terakhir yang ingin aku singgahi. Tiga tahun masa pendidikan SMA, adalah masa terbaik dan terburuk dalam hidupku. Meskipun banyak memori yang terhapus, beserta lukanya yang belum kering sempurna. Tapi aku ingin berterimakasih kepada setiap orang yang menemaniku berjalan dimasa itu. Mendengar setiap kisah sedih yang terus berputar berulang-ulang. Air mata yang membanjiri kelas hingga akhirnya kalian lelah untuk menghibur. Orang-orang yang mencegah ku melakukan percobaan bunuh diri, terimakasih berkat mu aku masih bisa menuliskan kalimat ini. Mungkin aku tidak akan mengingat keseluruhan dari kalian, tapi kalianlah salah satu komposisi yang dipilih Tuhan untuk melengkapi hidupku. Terimakasih banyak, tulus dari dasar hatiku. Satu hal yang aku ingat, dan aku ingin membagikannya. Bahwa kita tidak akan mampu memahami rencana Tuhan yang luar biasa saat kita terpuruk. Yang kita ingat hanya, luka kesedihan pedih ketidakadilan dan semua kata kata buruk tentang hidup. And that is okay. Menurut mu, jika langit selalu menahan air matanya, bagaimana saat ini kita mampu melihat pohon dan tumbuhan hijau?. Jika saja gunung berapi selalu menahan amarahnya, kita tidak pernah tahu, bahwa jauh didalam sana ada sesuatu bernama lava dan sebagainya. Jangan lagi menahan amarah mu, sadari saja amarah mu sedih mu luka mu. Yang manusia butuhkan adalah orang yang tepat untuk meluapkan segala kekacauan tersebut. Untuk itu, sekali lagi aku ucapkan terimakasih, telah dengan tangan terbuka menampung hujan, gempa bumi, letusan berapi, dan badai angin diri ini. Kamu adalah salah satu alasan aku masih hidup saat ini. 


Jam makan siang, aku dan dua orang rekan ku memutuskan untuk makan steak di dekat tempat kami bekerja. Siang itu, ada banyak sekali pengunjung disana. Hingga pendingin ruangan tak mampu bekerja secara efektif. Kami duduk di dekat jendela, karena aku suka melihat lalu lalang. Di sebelah kiri ku ada keluarga yang terdiri dari ayah ibu dan dua anak laki-laki. Di sebelahnya ada segerombolan ibu-ibu dan anak-anaknya mengenakan seragam putih merah. Tak jauh dari mejaku dua orang anak laki-laki berhadapan, menunggu pesanan mereka datang. Sambil melihat meja-meja lain yang diisi rombongan keluarga. Aku ingat, terkahir kali aku berkunjung kesini, dua anak laki-laki ini juga mengisi meja di sudut ruangan. Rasa penasaran mendorong salah satu rekan ku untuk menghampiri mereka. 

"Koe ok mangan nang kene, ibu mu ra masak po?"
"Hoo ra masak"
"Lha omah mu nangndi?"
"Nang kono kae, cedak ok"

Kurang lebih begitu percakapan yang diceritakan rekan ku. Through the best time of my childhood and the hardtime when i grow up. Aku mengaminkan kalimat dalam sebuah artikel, 'jadilah orangtua yang kamu butuhkan ketika kamu kecil'. Bayangan wajah dari banyak anak kecil yang aku temui, muncul di ingatan. Little human. Jika seandainya Tuhan, memberikan tanggung jawab, seorang anak dalam dekapan. Apakah aku mampu membesarkannya sebagai manusia, yang kata Tuhan, mahluk ciptaan terbaik. 

Selesai makan siang bersama, kami berpisah untuk menyelesaikan tanggung jawab masing-masing. Ada beberapa acara yang harus didatangi untuk kemudian disiarkan ulang. Sehingga masyarakat di ujung dunia, dari balik selimutnya mengetahui. Bahwa saat ini sedang ada sekelompok orang, membicarakan tentang bagaimana memanen hujan dapat menyembuhkan berbagai penyakit, dan menghindari bencana alam. Aku membaca tanggal pada rilis yang dibagikan, pertengahan bulan Desember. Sebentar lagi kontrak kerja ku habis. Beberapa tawaran kerja ditempat lain sudah masuk di kotak pesan ku. Jujur, hatiku rasanya seolah bediri diatas titian bambu. Kehilangan arah kemana harus melangkah, apakah maju atau mundur sementara titian itu terasa semakin licin karena kaki ku terus berkeringat akibat gugup. Ironisnya, otak ku seolah baru saja membeli tiket pesawat menuju antartika, lalu kemudian mati beku sebelum sempat bertemu penguin. Ditengah kegusaran ku tersebut, aku memutuskan bertanya pada teman dunia nyata, melalui sebuah status di dunia maya. Teknologi belakangan ini membuat manusia lebih akrab di jagat maya, daripada saat berjumpa. Awalnya, aku menganggap itu sebagai hal tak berguna, yang tetap aku lakukan. Tapi akhirnya aku bersyukur melakukannya. Beberapa respon mengisi kotak pesan ku. Mulai dari jawaban singkat, candaan hingga obrolan yang berakhir dengan diskusi panjang. 

Salah satu respon itu, mengatakan aku membutuhkan Key Performance Indikator (KPI) sebagai tiang penyeimbang untukku melewati titian. Aku memikirkannya sambil lalu. Lalu lalu dan lalu aku terdampar di sebuah toko buku di depan rak yang jarang dikunjungi. Disana, sebuah buku dengan sampul biru, memuat jawaban Indikator² yang aku butuhkan, untuk mempertanyakan hidupku sendiri. Seandainya otakku bekerja 100% aku sanksi untuk bisa memahami bagaimana cara kerja Tuhan dalam hidup setiap orang. Lembar demi lembar ku baca, dan yang kudapatkan adalah tamparan. Aku fikir selama ini aku melarikan diri, tapi ternyata memang beberapa cobaan tidak bisa dipecahkan. Kamu hanya perlu menjalaninya. Amor fati. Kalimat yang akhirnya menjatuhkan dari titian adalah, 'Bahwa pekerjaan mu bukanlah tangga eskalator menuju tujuan akhir mu.' Bagaimana bisa aku menggantungkan impian besar ku, pada pekerjaan pertama yang kudapatkan sebelum lulus kuliah. Aku rasa, bekerja tidak sekonyol itu. Seolah bangun dari jatuh terduduk, langkahku menjadi lebih ringan menjalani pekerjaan ku. 

"jangan lupa bersyukur dan menabung."

Pesan elektronik dari bapak menutup kegundahan ku. Ada satu hari, ibu mempertanyakan masa depan ku. Dengan perlahan, dan hati yang gusar aku menjawab pertanyaan ibu. Bahwa gaji yang ku dapat belum mampu membelikannya barang-barang mahal. Tapi aku meminta ijin, untuk kembali belajar dalam pekerjaan pertamaku.

"Anak mu ini belum sejahtera bu. Tapi dari setiap hal baru yang aku pelajari, aku menemukan kebahagiaan."

Dari kalimat itu, ia memberikan senjata terhebat yang dimiliki anak. Ridho, restu dan doa orangtua. Ibu mungkin melepaskan ku dalam hal impian. 

Unggahan di media sosial kembali mengingatkan ku, bahwa ini adalah bulan terakhir di tahun 2019. Beberapa teman ku memamerkan cincin yang melingkar di jari manisnya. Mereka melepas masa lajang, membuat kepala ku berdenyut, apakah memang sudah saatnya memikirkan pernikahan. Tidak sedikit juga yang membagikan resolusi tahun 2020 yang penuh dengan ambisi. Hidupku, selalu berjalan begitu saja. Tidak ada resolusi diawal tahun. Hidupku berjalan setiap saat, resolusi dan tujuan dapat muncul begitu saja. Di sisi lain, aku juga harus selalu siap mereset hidupku. Saat keadaan seolah keluar dari jalur, melepas semua atribut, memulai dari fikiran aku siapa dan apa mauku. Seperti perahu diatas sungai, aku ingin membiarkan hidupku berjalan apa adanya. Namun tetap dalam kendali. Aku tidak ingin terlalu melepaskannya, kemudian membenci diriku sendiri karena merasa gagal, 'hidup sebagai manusia'. 

Jam digital di layar ponsel ku menunjukkan angka 21:00 saat sebuah pesan elektronik masuk di aplikasi percakapan online. 

'Nonton Kim Ji Young mau gak?'

Belakangan, film itu banyak dibicarakan orang-orang disekitarku. Setelah memastikan tempat dan jam, aku segera menyusul teman ku di kosnya. Kami berangkat berombongan, 6 orang gadis membelah jalanan kota pukul 21:30 menuju bioskop di dalam salah satu mall terbesar di kota. Angin malam mengiringi roda motor yang melaju dalam kekhawatiran. Terkadang dunia bisa begitu kejam pada mahluk bernama wanita, dan membawa malam sebagai kambing hitam. 

Bersama dengan lampu bisokop yang kembali terang. Beberapa penonton mengusap sudut matanya, serta ingus yang menggantung di ujung hidung. Bolam berfikir ku rasanya ikut menyala. Belum lama, aku membaca sebuah 'tweet' yang mengatakan, 'kadang kita harus bersiap kalau dapet pasangan yang bajingan'. Jika direnungkan, perkataan itu ada benarnya. Tuhan selalu menitipkan kasih sayangnya melalui cobaan. Bisa jadi, cobaan yang  dihadapi lahir dari pasangan yang tak sempurna, atau justru brengsek. Tapi ternyata, dari film itu, memiliki pasangan baikpun bukan jaminan kehidupan menikah yang baik setelahnya. Hanya mungkin, kita bisa melewati cobaan lebih tangguh, karena saling menguatkan dalam genggaman. 

Sekarang, aku adalah seorang gadis berusia 22 tahun. Sebelumnya, tentu aku punya gambaran pernikahan impian. Aku pernah jalin cinta dan merajur kisah asmara dengan harapan akan bersama di pelaminan. Ternyata semuanya kandas, dan berakhir membuat ku sanksi. Untuk apa ada laki-laki yang mau secara sadar menerima gadis seperti ku. Rasanya aku sendiripun mampu menjalani hidup ini. Saat aku, dengan sekuat tenaga menguatkan hatiku. Agar tidak jatuh cinta pada laki-laki manapun di muka bumi ini. Kamu tahu apa yang dilakukan Tuhan?. Dia membawa ku bertemu dengan seorang lelaki. Emm tidak, mungkin aku harus menyebutnya pria. Bukan karena usianya aku menyebut pria. Bagaimana ia berfikir, bagaimana ia bersikap, bagaimana ia bertanggungjawab atas hidupnya. Membuatku ingin menyebutnya pria. Priaku. Ahh tentu bukan. Aku hanya secara sukarela menyukainya. 

Tuhan tahu bahwa aku sedang mencoba mengeraskan hatiku dari perasaan cinta. Tapi nyatanya, sebulan yang lalu aku menyampaikan pada pria itu bahwa aku menyukainya. Hanya saja, kali ini berbeda. Sebab aku melanggar janjiku untuk tidak jatuh cinta pada laki-laki manapun. Maka aku akan menyukai laki-laki ini sebaik mungkin. Dengan segala yang terbaik yang ada pada tubuh kecil ini. Akhirnya, aku menyukainya secara egois. Sedari awal aku menyadari bahwa aku menyukai pria ini. Aku tekankan dengan tegas beserta garis bawah pada diriku sendiri.

'Aku suka dia, dan itu masalahku. Perihal dia menyukai ku kembali atau tidak itu urusan dia. Bahkan aku tidak ingin mempedulikan itu, aku hanya ingin menyukainya sebaik mungkin. Selama dia ada dihidupku dan baik-baik saja, aku hanya akan memeluk perasaan ku dalam diam.'


Cara dia tersenyum, cara dia berjalan, rambutnya yang bergelombang. Saat ia menuangkan isi kepalanya dengan kata yang tak beraturan. Di detik itu, aku berbisik ke langit.

'Tuhan, bagaimana bisa Kau ciptakan mahluk semenarik ini.'

Terkadang aku tidak mampu menjaga hatiku. Hingga seolah ingin berlari menghampiri pria itu. Kemudian mengungkapkan seberapa besar perasaan ini mencoba bersembunyi dibalik tubuh kecil dengan jiwa yang rapuh. Meski aku mampu, menyukainya dengan cara terbaik yang kubisa. Nyatanya, aku tetap manusia. Rasa cemburu dan lelah menahan perasaan ini sesekali datang. Dan yang bisa kulakukan hanya berlari pada Tuhan.

'Tuhan, sungguh pria ini begitu mempesona. Aku tidak sanggup menggambarkan bagaimana desir hatiku akannya. Tidak Tuhan, aku tidak berani meminta pria itu padamu. Jika boleh, aku hanya tidak ingin kehilangan perasaan ini. Selelah apapun aku menjaganya.'

Mungkin lebih mudah untuk menyerah lalu kemudian mencoba meninggalkan perasaan ini dipersimpangan jalan. Tapi, aku memilih mengingat kembali apa yang aku tekankan secara tegas dengan garis bawah, pada saat aku mulai menyukai pria ini. Ini adalah perasaan paling menakjubkan yang pernah aku miliki. Versi terbaik diriku dalam menyukai orang asing, selain keluargaku. Aku menyukai, bagimana perasaan ku padanya mengalir di pembuluh darah. Ikut terpompa dalam jantung. Tanpa pernah berkurang. 

'Aku sangat suka mahluk Mu ini Tuhan. Tolong jaga langkahnya selalu. Genggamlah impiannya, biar menggantung diantara bintang-bintang. Aku ingin melihatnya terbang, dan tersenyum. Ya, biarkan dia lebih banyak tersenyum Tuhan.'

Matahari sedang berada di posisi terbaiknya. Ia mengepakkan sinarnya, hingga terasa menusuk ke dalam kulit. Aku duduk diatas motor, dibelakang kendali. Menuju sebuah tempat pertemuan. Di usia 22 tahun 3 bulan 10 hari, aku memahami hidupku sebagai sebuah perjalanan panjang. Proses pembentukan diri yang tiada habisnya. Jadi apapun kelak aku di usia 50 tahun, bahkan jika aku telah menjadi bangkai. Aku ingin diriku berdamai dengan masa lalu, karena yang aku jalani adalah masa kini dan masa depan belum tentu ku miliki. 


Sampai disini, apakah kamu tahu apa pekerjaan ku? Aku bekerja sebagai manusia. Setiap hari aku mencoba menjalani hidupku, seperti manusia. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGEN DISAYANG TAPI OGAH PACARAN

Corona dan Manusia

Sebuah Skenario Kematian