Hitam dan Tercemar

  ' Like living in the dream.' Kabut menyelimuti langit pukul 05.30 pagi. Benda tak padat, yang tak bisa digenggam itu menelisik anggun di antara pepohonan, membuat beberapa dahan ketutupan. Seperti di dalam lukisan, kabut itu turun dari langit, ke sela sela pohon, hingga berbaur dengan orang-orang di atas tanah. Kabut datang bersama hawa dingin yang mengungkung sekujur tubuh. Seolah es yang membekukan kulit bagian luar, mendekap kuat tapi tak menghangatkan. Meski dingin menerjang, udara pagi di pegunungan tetap menawan paru paru yang penuh kepulan asap kendaraan dan tembakau bakar. Katlya duduk di pembatas jalan, merapatkan jaket yang dikenakan. Hidungnya memerah dan berlendir, pipinya dingin tapi kenyal seperti kue mochi di dalam freezer. Ia menggosokkan telapak tangannya mencari kehangatan. Seperti naga kehilangan daya, nafasnya menyemburkan asap tanpa api. "Kenapa mbak motornya? Mogok?," seorang pria paruh baya dengan celana pendek dan celurit menghampiri Katlya.

Insomnia

Malam semakin larut oh bukan, pagi sebentar lagi datang. Ku dengar matahari mulai berjalan menuju langit kota kita. Sementara aku disini, secara sepihak merindukan mu. Menghabiskan malam dengan menatapi potret mu di langit langit kamar. Menyumpal kenangan akan suara hangat mu dengan sebuah lagu berjudul Rumah. Lagu itu mengatakan bahwa kau akan pulang. Jarimu akan mengisi sela jari ku yang hampa. Bibir mu  akan mengisi kening ku yang kering. Aroma tubuh mu akan mendekap ku. Membebat hidungku dengan aroma kerinduan yang lama aku dambakan.


Sayangnya, aku tahu betul, bagaimana lagu itu membohongi ku. Bertahun-tahun, ribuan kali aku dengarkan, jutaan kali aku senandungkan. Tidak sesentipun bagian tubuh mu muncul di hadapan ku. Mataku menatap potret wajah mu yang memakai topi berbentuk kepala anjing. Kau tersenyum lebar, mata mu berbinar. Aku duduk disebelahmu, mengenakan topi berbentuk kepala panda, mengabadikan momen kita.

Tiba-tiba muncul hujan deras dihatiku beserta badai besar yang mengamuk minta ditenangkan. Alih-alih berlindung, badai itu tiba di hulu mata ku, mengalir deras bermuara di ujung dagu. Pelan tapi pasti aku terisak. Memeluk selimut bergambar bendera Amerika. Menahan sakitnya kerinduan.

Andai bisa aku ingin berlari ke rumah sakit sekarang. Meminta dokter untuk meredakan nyeri rinduku. Sayangnya, semakin ku tahan, semakin rindu ini menghujam. Sesaat kemudian dada ku terasa panas, kerongkongan ku tercekat. Sial, rindu ini mematikan tapi tak pernah benar-benar bisa membunuhku.

Setiap pagi aku harus bangun dengan tangan yang meraba bayangmu. Menjalani kehidupan yang membosankan tanpa sapaan dari mu. Kemudian menghabiskan malam dengan tangisan.

Pukul 02:00 dinihari, aku masih terjaga. Hatiku berbisik pada langit malam. "Kapanpun kau akan pulang. Hati ku siap menjadi rumah mu."

Setelahnya kau bisa menebak apa yang terjadi.

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. nyeri karena rindu tak bisa diobati, hanya bisa diredakan dengan pertemuan, tapi berapa banyak pun pertemuan, tidak menjamin kedepannya nyeri itu akan memudar atau justru membuncah.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGEN DISAYANG TAPI OGAH PACARAN

Corona dan Manusia

Sebuah Skenario Kematian