“Ustadz...
dimana surga ku berada?”
Suasana ruang kelas TPA Al-Muttaqin
mendadak lengang. Pertanyaan itu meluncur di tengah penjelasan Ustadz Amin
tentang ‘betapa pentingnya menghormati Ibu’. Ustadz berfikir sejenak sambil
mengernyitkan dahinya.
“Tentu saja
di telapak kaki ibu mu.”
“Ibu yang
mana? Yang melahirkan ku atau yang merawat dan membesarkan ku?.”
“Ibu yang
berjuang untuk melahirkan mu lalu dengan penuh kasih sayang merawat dan
membesarkan mu Amir...”
“Ibu tidak
pernah menginginkan kelahiran ku, tapi Umi selalu merawat ku dengan penuh kasih
sayang.”
Amir mengungkapkan isi hatinya
dengan berlinang air mata. Sesekali ia mengusap air matanya dengan lengan baju
muslimnya.
“Amir....
kenapa kamu menangis? “
Ustadz membelai kepala Amir, mencoba
menenangkan anak lelaki terpintar dikelasnya. Amir yang biasanya nampak gagah
dan ceria kini menangis sesenggukan di hadapannya. Tangis Amir yang memilukan
membuat Ustadz Amin membubarkan kelas TPA-nya. Dengan penuh tanya dihati Ustadz
membawa Amir ke kantor masjid. Ia mendudukan Amir di sofa panjang berwarna
hijau, meski sudah tua tapi sofa itu masih nyaman diduduki. Ustadz memberikan
kotak tisue dan segelas air putih untuk Amir.
Lima menit menunggu, Amir mulai mengusap air matanya dengan tisue.
“Amir sudah
merasa lebih baik?”
Tanya Ustadz dengan nada penuh
perhatian.
“Sudah
Ustadz...”
Ustadz mengelus kepala Amir sambil
tersenyum.
“Boleh
Ustadz bertanya siapa itu Umi dan Ibu Amir?”
Lengan Ustadz memeluk pundak Amir
menyiratkan kekuatan yang coba Ustadz berikan kepada Amir. Mereka tampak
seperti Ayah dan Anak yang saling mengasihi dan saling menguatkan. Air mata
kembali membasahi pipi Amir saat Ia mencoba bercerita.
“Umi ku
bernama Putri, Abi ku bernama Fatah. Mereka sudah menikah selama 2 tahun tapi
belum dikaruniai putra. Suatu hari, Ibu ku yang bernama Via datang ke rumah Umi
dan Abi. Dia meminta Abi bertanggung jawab atas bayi yang ada dikandungannya,
yaitu Amir. Ibu ku mengaku frustasi mendengar Abi sudah menikah dengan Umi. Ibu
tidak suka dan lalu melakukan pergaulan bebas hingga bisa hamil diluar nikah,
pacarnya kabur dan tidak mau bertangungjawab. Jadi ibu mendatangi Abi dan
mengemis minta dinikahi. Awalnya Abi tidak mau karena Abi sangat menyayangi
Umi. Tapi keluarga Ibu terus memaksa Abi, bahkan mereka menyebarkan fitnah
kalau itu adalah bayi Abi. Umi tidak setuju jika mereka menikah saat Ibu masih
mengandung karena itu melanggar aturan Islam. Tapi Ibu malah akan mengancam
menggugurkan bayi itu dan bunuh diri. Akhirnya pernikahanpun dilangsungkan saat
usia kehamilan menginjak lima bulan. Umi sangat terluka dan pamit kepada Abi
untuk menenangkan diri di pesantren. Setelah aku lahir, Ibu tidak menyayangiku
sama sekali dia tidak mau menyusuiku atau menggendong ku. Akhirnya setelah akad
nikah diulang agar sah sesuai aturan agama Abi menjemput Umi ke pesantren. Umi
membesarkan ku dengan penuh kasih sayang, seolah aku adalah anak kandungnya.”
Air mata Amir tak sedetikpun
berhenti membasahi pipi Amir. Ustadz pun sedikit mengusap air dipelupuk
matanya. Ustadz memeluk Amir, seolah memberikan dukungan agar Amir kuat
menghadapi kisah hidupnya.
“Amir
sayang sama Umi?”
“Amir
sangat sayang sama Umi, Ustadz”
“Amir
sayang sama Ibu?”
Amir diam saja tak menjawab. Matanya
lurus memandang ke lantai kantor Ustadz.
“Dengarkan
Ustadz ya nak, Allah itu Maha Mengetahui. Dia mengetahui semua yang terbaik
untuk kita. Jadi, seperti apapun orangtua yang Amir miliki saat ini, adalah
orangtua terbaik yang diberikan Allah untuk Amir. Amir harus menyayangi,
menjaga dan menghormati Ibu Amir sebagaimana yang diperintahkan Allah. Mungkin,
Ibu Amir hanya malu untuk menyampaikan rasa sayangnya ke Amir.”
“Aku ini
anak haram yang dibesarkan oleh seorang bidadari Ustadz.”
Ucapan Amir sangat mengejutkan
Ustadz, hingga Ia bingung harus berkata apa?.
“Siapa yang
bilang Amir itu anak haram? Amir itu anak Umi sama Ibu,anak Abi juga.”
Seorang wanita dengan gamis anggun
berwarna hijau tosca berdiri di pintu kantor. Matanya sembab oleh air mata,
tapi ia tetap tersenyum ke arah Amir.
“Umi...”
Amir berlari dan memeluk wanita
cantik yang Ia panggil Umi.
“Amir gak
boleh ngomong seperti itu ya. Amir itu anak Umi,Abi dan Ibu.”
“Maafin
Amir Umi. Ustadz kenalin, ini Umi Amir, namanya Umi Putri. Cantikkan seperti
bidadari.”
Wajah muram dan sedih Amir hilang
seketika saat Umi datang kepadanya. Kini ia malah sangat bersemangat
mengenalkan Umi nya kepada Ustadz Amin.
“Assalamualaikum....
saya Amin, guru mengaji Amir.”
“Waalaikumussalam
Ustadz, saya Putri Uminya Amir. Tadi saya berniat jemput Amir pulang mengaji.
Kata teman-temannya Amir menangis dan dibawa ke kantor Masjid. Saya takut Amir
kenapa-napa jadi saya langsung kesini dan tidak sengaja mendengar percakapan
Ustadz dan Amir, maaf kalau saya lancang.”
“Ohh tidak
apa-apa bu. Selama lima bulan Amir belajar disini baru sekarang saya bertemu
Uminya.”
“Ahh iya,
saya tinggal di bekas Rumahnya keluarga bu Sukma. Kalau Abi sama Ibunya Amir
tinggalnya di Magelang, jadi memang jarang bergaul dengan warga sekitar.”
“Ustadz
kapan-kapan main ke Rumah Amir ya, kalau Umi sedang ke Toko Amir suka
kesepian.”
“In Shaa
Allah ya Amir.”
“Amir sudah
selesai kan? Kita pulang yuk.”
Amir mengangguk lalu memcium tangan
Ustadz dan mengucap salam. Selesai berpamitan, Umi dan Amir berjalan menyusuri
jalanan desa menuju rumah mereka. Amir sangat bahagia dijemput Uminya di TPA,
sampai-sampai Ia terus menggenggam tangan Uminya di sepanjang jalan. Suara
nyanyian Amir tak habis-habis terdengar hingga ke gerbang rumah.
Di halaman rumah tampak sebuah mobil
warna coklat terpakir. ‘Mungkin ada tamu
untuk Umi’, pikir Amir dalam hati. Sementara Umi pun bertanya-tanya pula
dalam hatinya. ‘siapakah gerangan pemilik
mobil mewah ini’.
“Assalamualaikum....”
Salam Umi dan Amir berbarengan
dengan langkah mereka memasuki pintu gerbang. Seorang lelaki memakai baju koko
dan kopiah hitam, duduk di teras rumah. Mak Yus yang biasa membantu pekerjaan
rumah terlihat menyuguhkan secangkir minuman untuk tamu tak dikenal tadi.
Melihat Umi yang baru datang, Mak Yus berlari kecil menghampiri Umi.
“Ibu itu ada
tamu, katanya Ayahnya den Amir.”
“Ayahnya
den Amir?”
Mendengar ucapan Mak Yus, tangan
Amir kuat menggenggam jemari Uminya. Ia takut pria itu adalah Ayahnya yang dulu
tak mengakuinya. Ayah yang meninggalkan Ibunya dalam keadaan hamil. Amir takut
pria itu akan mengusik kebahagiaan Amir dan Umi.
Umi tersenyum menyapa ke tamu pria
yang berwajah cukup tampan. Ketika berdiri menyambut Umi, postur tubuhnya
tampak proporsional. Dadanya memang tidak berotot tapi terlihat gagah dengan
baju koko putih berdesain simple yang melekat di tubuhnya.
“Assalamualaikum...”
“Waalaikumussalam...
ada yang bisa dibantu mas?”
“Ah iya,
perkenalkan nama saya Riyadi Wicaksana. Biasa dpanggil Adi.”
“Ooo mas
Adi, silahkan duduk mas.”
“Iya
terimakasih. Maaf apa anda yang bernama Putri?”
“Iya betul
nama saya Putri. Ada keperluan apa ya mas?”
“Berarti,
ini Amir?”
“Iya ini
Amir. Salim nak sama om Adi.”
Amir berdiri dari sisi Uminya,
tangannya terjulur hendak mengecup punggung tangan pria bernama Adi yang duduk
tidak jauh darinya. Tapi pria bernama Adi tadi langsung saja memeluk Amir. Air
mata membelah wajah Adi, hingga membasahi pundak Amir.
“Ini Ayah
nak... ini Ayah.... Maafkan Ayah ya nak.”
Amir yang terkejut lantas berontak
dan bersembunyi di balik kursi Umi.
“Amir gak
punya Ayah. Amir punyanya Abi. Iyakan Umi?”
Umi menarik Amir dari balik kursi,
mendudukkannya di pangkuan dan memeluknya erat. Meski Umi tidak kalah terkejut
mendengar perkataan Adi, Umi mencoba untuk tetap bersikap tenang.
“Maaf ya
mas Adi, maksud anda berkata pada Amir bahwa anda adalah Ayahnya itu apa?”
“Saya ini
mantan pacarnya Via. Saya yang menghamili dan meninggalkan Via.”
Spontan Umi menutup kedua telinga
Amir. Tidak seharusnya bocah seusia Amir mendengar ucapan Adi barusan.
“Amir mau
nurut sama Umi kan??”
“Iya
Umi...”
“Amir
sekarang masuk ya... ambil wudhu terus ngaji... tadi ngajinya liburkan?”
“Tapi Amir
dengerin om Adi.”
“Amir gak
mau nurut kata Umi?”
“Yaudah
Amir ngaji di kamar...”
Dengan muka yang ditekuk dan rasa
kecewa yang tergambar jelas dimatanya, Amir berjalan gontai menuju kamarnya.
Umi memperbaiki posisi duduknya, mempersiapkan diri atas segala kondisi yang
mungkin terjadi. Mata Umi tajam mentap mata Adi, berharap mendapatkan kebenaran
yang sejujurnya.
“Maaf saya
tidak bermaksud...”
“Tidak
masalah. Lanjutkan saja penjelasan anda.”
“Ya dulu
saya bukan anak baik-bak. Maksiat dan perzinahan jadi teman sehar-hari. Pertama
kali saya kenal Via, dia sedang sangat
frustasi ditinggal nikah mantannya. Wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang
indah sangat menggoda saya. Satu bulan saya mendekati Via sampai akhirnya dia
mau menjadi pacar saya. Dari situ kami mulai pegangan tangan, pelukan, cium
sana, cium sini, lama-lama ya hubungan badan wajar saja. Lia bulan berjalan,
Via bilang kalau dia hamil. Merasa belum siap menjadi seorang Ayah, saya
memaksa Via menggugurkan kandungannya. Tapi sebelum Via berhasil melakukannya
dia buru ketahuan Ibunya. Keluarganya minta saya bertanggung jawab. Saya sangat
frustasi dan memilih kabur ke luar negeri. Selama hampir 8 tahun ini saya
tinggal di Canada bersama Ayah saya yang memang warga negara Canada.”
Jujur saja, dalam hati Umi terasa
sakit mendengar pernyataan Adi. Luka lama tentang kehadiran Via dalam rumah
tangga ia dan suaminya terkuak lagi. Kenangan akan Via yang datang dengan perut
buncit ke rumahnya. Mengemis pada suaminya untuk dinikahi. Bersama mengalirnya
kenangan itu, air mata Umi singgah di pelupuk mata.
“Lalu untuk
apa anda ada disini sekarang? Mau mengambil Amir dari saya?.”
“Selama dua
tahun terakhir, saya mendalami agama Islam dengan teman-teman dari Indonesia di
Canada. Setelah mendengarkan ceramah Ustadz dan nasehat dari beberapa teman.
Saya memang memberanikan diri datang kemari untuk menjemput Amir tinggal di
Canada bersama saya.”
Air mata Umi pecah begitu saja,
pipinya basah akan kesedihan. Amir adalah semangat hidupnya selama delapan
tahun terakhir. Kehadiran Via dalam rumah tangganya sungguh meninggalkan bekas
luka yang tak pernah padam. Tapi hadirna Amir yang ia rawat dan ia besarkan
sejak bayi, menjadi salah satu alasan kuat kenapa ia tetap bertahan dengan
suaminya. Senyum dan tawa Amirlah yang menutupi semua duka dalam dirinya. Kini
tiba-tiba ada seorang pria yang dengan begitu saja mencoba mengambil Amir dari
sisinya.
“Katakan
pada saya... bagaimana saya akan tetap hidup jika Amir anda ambil?.”
Mata Umi yang sayu akibat airmata,
tajam mengusik hati Adi. Betapa kesulitan yang selama delapan tahun ini
dipendam oleh Umi tersampaikan begitu saja lewat tatapan matanya. Entah hal apa
yang menjadikan Adi seolah bisa merasakan luka dalam yang disembunyikan Umi.
“Saya
mengerti, tapi saya juga butuh Amir.”
“Tolong
anda pergi dari rumah saya sekarang. Maaf saya tidak bisa menemui anda saat
ini.”
Memotong pembicaraan Adi, Umi
berdiri dan mengarahkan tangannya ke pintu gerbang. Tangan kirinya mengusap
bulir air yang mengalir di pipi kirinya.
“Baiklah,
saya akan memberi waktu untuk anda berpikir dan berdiskusi dengan suami anda
jika memang itu dibutuhkan. Saya akan datang lagi minggu depan,
Assalamualaikum.”
Adi berdiri dari kursi kayu tempat
ia duduk. Selesai mengucap salam langkahnya mulai bergerak meninggalkan teras
rumah Umi. Meski sebenarnya hatinya sangat ingin bersama dengan anak kandung
yang ia telantarkan selama delapan tahun. Tapi hatinya lebih mengerti perasaan
duka dan kecewa yang disampaikan oleh mata Umi.
Sosok Adi menghilang di balik pintu
mobl mewah berwarna coklatnya. Lima menit berselang, mobil mewah itu
meninggalkan halaman rumah Umi. Mak Yus datang dari arah dapur, membawa egelas
air putih dingin untuk Umi. Tangan tuanya yang halus memijat pundak Umi.
Mencoba menghilangkan beban hidup Umi yang terasa kian berat. Mak Yus sudah
bekerja selama lima tahun dengan Umi. Semenjak Umi memutuskan untuk tinggal di
Jogja sementara Abi dan Via di magelang.
Selama lima tahun Mak Yus selalu
merawat dan menguatkan Umi layaknya Ibu kepada anaknya. Bahkan tak sepenggal
katapun yang tidak diketahui Mak Yus tentang nasib rumah tangga Umi. Mak Yus
yang hidup sebatang kara sepeninggal suami dan anak-anaknya, turut berbagi
pundak dan dukungan dengan Umi yang hidup tanpa ada Orang tua semenjak usia 20
tahun.
“Yang sabar
ya Ngger.... Urip pancen akeh cobaan e.”
“Nggeh
Mak... matursuwun.”
Umi menegak habis air putih dalam
gelas. Berdiri dari kursi dan beranjak menuju kamar. Tubuh Umi terasa lemas
seolah tak bertulang. Melihat Hpnya tergeletak begitu saja di meja rias, Umi
mengambilnya, memencet beberapa nomor, mencoba menelpon Abi. Selama beberapa
saat, hanya nada sambung yang terdengar dari Hp Umi.
“Assalamualaikum
Abi.....”
“Waalaikumussalam
mbak.... ada apa sih kok telfon-telfon mas Fatah.”
“Ohh Via,
mas Fatah ada? Mbak mau bicara sebentar.”
“Mau bicara
apa? mas Fatahnya lagi mandi.”
“Kalau gitu
bilangin sama mas Fatah tolong nanti telfon mbak ya Vi...”
“Ngomong
aja kali sama Via nggak usah suruh-suruh mas Fatah telfon mbak.”
“Assalamualaikum.”
Umi menutup telfon secara sepihak.
Rasanya, sudah hafal betul Umi dengan sikap posesiv dan cemburuan Via. Air mata
kembali menetes kala sekali lagi luka hatinya terbuka. Umi takut kalau-kalau
Abi tak lagi mencintainya seperti dulu. Dalam sepuluh tahun pernikahan mereka
pun belum kunjung dikaruniai anak. Sejujurnya Umi sangat pasrah dan ikhlas
dengan keadaan itu, tapi Umi selalu saja takut ditinggalkan Abi.
Adzan magrib terdengar menyapa
telinga umat muslim. Amir menutup buku ngajinya dan bergegas ke kamar Umi.
Tangan kecilnya mengetuk halus daun pintu kamar Umi. Dalam sepersekian menit,
pintu berwarna biru itu terbuka. Umi tampak baru selesai mandi. Gamis warna
peach dengan hiasan sederhana di sekitar dada berpadu anggun dengan pashmina
warna pastel yang menyempurnakan penutup aurat Umi.
“Umi kita
sholat berjamaah yuk...”
“Iya
sayang, ajak Mak Yus juga ya...”
Amir mengangguk dan lalu berlari
menuruni tangga menuju ke dapur. Mak Yus tampak tengah sibuk menyiapkan makan
malam. Aroma kentang goreng dan sup jagung menggelitik perut Amir yang langsung
keroncongan.
“Wah
baunya...”
Wajah Amir sudah mendekat ke meja
makan, matanya mendikte satu persatu hidangan diatas meja. Tidak terlalu banyak
dan tidak terlalu mewah. Yang penting cukup untuk dimakan bertiga, Umi, Amir,
dan Mak Yus.
Di lantai dua, terdengar Hp Umi
berunyi tanda telepon. Umi membenahi mukena yang sedang digunakan, lalu meraih
Hp di meja rias. Nama ‘kekasih halalku’ tertera di layar Hp. Sedikit ragu,
apakah Via atau Abi yang menelfonnya.
“Assalamualaikum
Abi...”
“Waalaikumussalam
Umi... tadi telfon Abi?”
“Iya bi,
ada yang perlu Umi diskusikan soal Amir.”
“Amir
sakit?”
“Bukan ini
hal yang penting bi.”
“Yaudah
habis isya Abi kesitu ya. Assalamualaikum.”
Belum sampai Umi menjawab telfon,
Abi sudah memutus telfon. Saat yang bersamaan, Mak Yus dan Amir masuk ke kamar.
Mereka sholat Isya berjamaah di Imami Amir. Di ulang tahun ke tujuhnya, Amir
minta dikhitankan, katanya ‘biar Amir
bisa megimami Umi sholat’. Sampai saat ini, Amir selalu dengan bangga
meminta Umi menjadi makmumnya. Usai sholat mereka mengaji bersama, melantunkan
ayat suci al-qur’an di dinding dan langit-langit rumah hingga menjelang Isya.
Mendengar adzan Isya dari masjid kampung, Umi, Amir, dan Mak Yus kembali
melaksanakan sholat berjamaah. Memanjatkan pundi-pundi doa bersama, membisikkan
harapan mereka pada bumi agar langit mendengar.
“Umi...
makan yuk, Amir sudah laper.”
“Iya.. Amir
duluan aja ke ruang makannya ya.”
“Siap
komandan....”
Selesai melipat sajadah, Amir dan
Mak Yus setengah berlari menuju ruang makan. Satu per satu lauk ditata di atas
meja, juga nasi yang dipindahkan dari Magic Com ke wadah kaca. Persis saat Umi
menuruni tangga pintu depan terdengar diketuk beberapa kali. Umi membelokkan
langkahnya menuju pintu depan.
“Assalamualaikum
Umi....”
Suara Abi menyapa dari balik daun
pintu yang baru terbuka setengah. Hati Umi seolah ingin meloncat dari dalam
dada. Sudah hampir satu bulan Abi tak mampir ke rumah Umi. Rasa rindu yang coba
Umi sembunyikan di balik senyum setiap harinya kini keluar tak tertahankan.
Sontak saja Umi meraih kedua tanga Abi, mengecupnya dengan takzim. Abi pun tak
kalah mesranya, Abi mengelus kepala Umi penuh kasih sayang. Bibir Abi mengecup
mesra kening Umi, seolah membalas rindu yang Umi luapkan.
“Abi sudah
makan malam?”
“Belum
tadikan habis solat langsung kesini.”
“Kok cepet
banget?”
Abi hanya tersenyum menjawab
pertanyaan Umi. Amir menyambut dengan gembira kedatangan Abi. Dengan cepat Amir
mengecup punggung tangan Abi, lalu meloncat dalam pelukan Abi.
“Abi kok
baru sekarang kesini?”
“Amir
kangen ya?”
“Iya....
masa tadi siang ada om om yang kesini ngaku-ngaku jadi Ayah Amir bi.”
Merespon celoteh Amir, Abi melirik
pada Umi yang berdiri disebelahnya. Umi tidak bisa menjelaskan seketika tentang
apa yang dikatakan Amir. Hanya kedipan mata Umi yang memberikan kode sebagai
jawaban tatapan Abi.
“Ahh Umi
laper nih... makan yuk... Mak Yus makan yuk.”
Umi berjalan ke arah dapur mengajak
Mak Yus untuk makan bersama. Berinisiatif mengalihkan perhatian Amir dari
ingatannya tentang Adi yang datang tadi siang. Benar saja, Amir langsug beralih ke meja
makan.
“Abi makan
juga kan?”
“Iyaaa.”
Makan malam berjalan dengan hangat,
penuh dengan candaan antara Amir dan Abi, Umi lebih banyak menahan tangis haru
melihat Abi dan Amir. Mak Yus terkadang ikut terkikik, juga turut merasa haru
meihat hangatnya kekeluargaan yang tersaji di meja makan malam ini.
“Abi tidur
disini kan? Nemenin Umi?.”
Amir bertanya penuh semangat, mataya
berbinar penuh harapan. Abi mengangguk menjawab harapan yang dikatakan mata
Amir pada hati Abi.
“Amir ada
pr nggak?”
“Ada Umi
tapi sudah selesai.”
“Yasudah, Amir
sekarang ke kamar mandi...”
“Sikat
gigi, ambil air wudhu terus tidur jangan lupa baca doa.”
Amir hafal benar dengan apa yang
akan diucapkan Uminya. Hampir setiap malam Umi mengatakan pesan yang
berulang-ulang pada Amir.
“Anak
sholeh.”
Abi mengacak-acak rambut Amir,
mencoba menyalurkan rasa bangganya akan anak sholeh yang meski bukan murni
darah dagingnya. Amir segera beranjak dari kursinya dan setengah berlari ke
arah kamarnya. Dalam hati Amir lebih dari mengerti ada hal penting yang ingin
orangtuanya bicarakan. Mak Yus juga segera berdalih membersihkan meja makan dan
membawa piring kotor ke dapur. Suara air yang mengucur dari keran, denting
pinring dan spon cuci yang membawa serta sabun cuci bersama irama cuci piring
yang berdentang di ruang dapur.
Umi dan Abi pergi ke selasar di
samping rumah, membawa dua cangkir teh hangat dan sekotak biskuit ditengah
meja. Suasana malam yang dingin berpadu dengan gemericik air dari kolam ikan
buatan dan aroma rumput hijau yang menghiasi pelataran selasar. Entah kenapaUmi
merasa gugup untuk membahas topik malam ini.
“Jadi...
ada apa?”
Abi bertanya sesaat sebelum meneguk
teh hangat dari ujung cangkirnya. Umi mengambil nafas sejenak, turut mengecap
teh hangat di cangkir. Kembali mengatur nafas menata detak jantungnya lalu
mulai menjelaskan. Secarik kartu nama menjadi awal percakapan mereka. Mulai
dari kedatangan Adi hingga semua yang Adi ceritakan pada Umi dan bahkan
bagaimana Adi meninggalkan teras rumah Umi, tak ada yang luput satupun dari
bibir Umi, semua tersampaikan secara sempurna.
“Baiklah...
Abi akan menghubungi Adi sekarang, membuat janji untuk bertemu besok.”
Abi meneguk tetes terakhir teh di
cangkirnya, juga potongan biskuit yang ia ambil dari dalam kotak.
“Tidur
yuk.”
Abi berdiri dari kursi dan menawarkan
tangannya pada Umi. Disambut dengan senyum hangat, tangan Umi memeluk lengan
Abi. Kepala Umi bersandar manja dipundak Abi. Rasa rindu kembali menguasai
emosi Umi, rasanya tak ingin lagi terpisah dari belahan jiwanya.
Pertemuan Abi dengan Adi berjalan dengan
baik, dengan kesungguhan dan tetesan air mata, Adi berhasil meyakinkan Abi.
Hari-hari berikutnya, Adi sering main ke rumah untuk bermain dengan Amir.
Terkadang Adi menjemput Amir di sekolah, mengajaknya makan siang bersama,
mengantar Amir les dan mengaji. Di akhir pekan, Adi mengambil Amir dari Umi,
mengajaknya bermain footsal atau berkunjung ke meseum dan taman bermain. Mereka
memiliki waktu yang indah bersama. Amir
mendapatkan kasih sayang yang ia rindukan dalam waktu yang lama. Setiap kali
bertemu mereka semakin kompak, Adi bahkan membeli beberapa potong pakaian yang
membuat mereka terlihat kompak sebagai Ayah dan Anak.
“Amir....
Ayah ingin bicara sesuatu yang penting.”
“Ada apa
Ayah?”
“Bulan
depan Ayah harus kembali ke Canada. Kakek sedang sakit, Ayah harus merawat
kakek dan bisnisnya. Dokter bilang penyakit kakek cukup parah. Jadi Kakek minta
pada Ayah untuk bertemu dengan Amir sebelum Kakek pulang ke Rahmatullah. Amir
mau kan nemenin Ayah ke Canada?”
“Berapa
lama kita di Canada Ayah?”
“Ayah tidak
tahu kita akan disana berapa lama. Banyak yang harus Ayah urus disana. Tapi
kalau boleh jujur, Ayah akan sangat senang jika Amir bisa datang menemani
Ayah.”
Kepala Amir tertunduk memikirkan apa
yang ditawarkan Ayahnya. Jelas Amir sangat bahagia bertemu dengan orangtua
kandungnya, tapi di sisi lain, Amir sangat sayang pada Umi.
“Kalau Amir
pergi, Umi bagaimana? Siapa yang nemenin Umi dirumah?”
Amir berkata tanpa mampu menahan air
mata membasahi wajahnya. Hati Amir dan Umi seolah telah bersatu, mereka bersam-sama
menggambar pelangi ketika badai tengah menyapa hidup mereka. Bahkan dalam titik
terlemah di hidup mereka, Umi dan Amir saling berbagi pundak dan berpegangan
tangan, menguatkan satu sama lain. Adi memeluk pundak Amir, seolah ia mengerti
perasaan yang bergelayut di hati Amir saat ini.
“Bagaimana
kalau kita juga mengajak Umi?”
“Bisakah?”
Mata Amir berbinar mendengar ide
gila Adi. Ini tentu akan sangat menyenangkan membayangkan Umi dan Ayahnya
bersama. Sebuah kebahagiaan yang tak kan bisa terlukiskan oleh kata-kata. Amir
pulang dari lapangan footsal denga wajah sumringah. Begitu turun dari mobil
Amir langsung berlari masuk ke rumah.
“Mak Yus,
Umi dimana?”
Amir bahkan menabrak Mak Yus yang
membukakan pintu untuknya. Seolah ada roket yang menggerakkan badannya.
“Ada di
ruang tengah sama Abi.”
Roket dalam tubuh Amir kembali
membawanya berlari ke ruang tengah. Umi dan Abi tengah bergurau sambil
mengomentari acara di Tv. Kedatangan Amir yang tiba-tiba memeluk Umi dari
belakang membuat jantung Umi seolah terlonjak dari tempatnya.
“Amir...
ngagetin Umi aja sih.”
Amir memeluk leher Umi sangat erat,
melepas pelukannya, Amir berkata dengan meluap-luap tentang rencana Adi
membawanya ke Canada.
“Umi...
tadi Ayah bilang mau ke Canada. Terus Ayah ngajak aku sama Umi buat ikut dan
tinggal disana. Umi mau kan?”
Perkataan Amir sangat mengejutkan
Umi, dan malah membuat Abi naik pitam. Tangan Abi sudah terkepal di samping
tubuhnya.
“Dimana Ayah
mu?”
Amarah Abi tergambar jelas di wajah
merah dan nafas memburunya. Belum sempat Amir menjawab, suara Adi mengucap
salam di pintu depan terdengar oleh Abi. Sontak Abi berdiri dari duduknya dan
menuju ke pintu depan.
Ada suara seperti sesuatu yang besar
jatuh dari ruang tamu. Amir dan Mak Yus masih menera-nerka apa yang kiranya
terjadi. Tapi lain dengan Umi yang paham betul apa yang tengah terjadi. Tak
lama dari suara debuman itu, suara Abi menggelegar bersama amarahnya hingga ke
ruang tengah.
“Mau kamu
apa di? Mau ambil anak dan istri saya begitu saja? Kamu lupa? Kamu
menelantarkan Via yang tengah hamil. Membuatnya mendesakku untuk menikahinya.
Kamu tahu? Semenjak kamu menghancurkan masa depan Via, kamu juga menghancurkan
masa depan rumah tangga aku. Kamu pikir kamu siapa? Ninggalin Via gitu aja...
bikin dia hamil, bikin di ngehancurin rumah tangga aku terus sekarang kamu
dateng tiba-tiba mau ngambil anak dan istri ku?? Sampai mana lagi kamu mau
ngehancuri hidup aku??”
Umi menutup telinga Amir yang
terpaku disampingnya. Keduanya mengeluarkan air mata dari pelupuk mata
masing-masing. Bahkan Mak Yus yang berdiri di dapur pun bergetar mendengar
amarah Abi.
“Mak Yus...
tolong bawa Amir ke kamar.”
Teriakan Umi tercekat di
tenggorokan, tapi Mak Yus cukup dekat hingga mampu mendengar suara Umi yang
parau akan air mata. Sedikit tergopoh, Mak Yus sedikit menyeret Amir ke
kamarnya. Letak kamar Mak Yus yang berada di belakang rumah akan memastikan
Amir tak mendengar pertengkaran kedua orangtuanya.
Kondisi ruang tamu benar-benar
berantakan, kursi dan meja sudah berserakan tak berada ditempatnya. Beberapa
pajangan dan vas bunga pecah meninggalkan serpihan kaca dan keramik di lantai.
Umi tak lagi mampu menahan sedu sedan tangisnya melihat suaminya tengah adu
tonjok dengan Adi.
“Aku Cuma
bernat baik. Aku mau membahagiakan anak ku, menebus kesalahan ku. Aku juga mau
membahagiakan istri yang selama ini kau sia-siakan. Kau biarkan hidup seorang
diri sementara kau bermesraan dengan istri baru yang kau bilang kau nikahi
karena terpaksa?”
Emosi Adi yang mencapai puncak
keluar melalui kata-katanya yang menggebu-gebu. Mereka kembali mempertontonkan
perkelahian mereka di depan Umi yang terduduk di ujung ruang tamu, tangisnya
menjadi menyadari ia tak memiliki daya apapun untuk menghentikan dua orang
lelaki yang tengah terbakar api emosi di depannya. Menit berikutnya, sosok
wanita cantik bertubuh langsing beridiri di ambang pintu. Sosok Via yang datang
dengan pakaian modis bak model Hijabers masa kini turut terpaku melihat apa
yang terjadi.
“Mas
Fatah!!!! Adi??? Apa yang kalian lakukan??”
Via mendekati dua lelaki yang masih
mencoba saling menjatuhkan. Dengan sekuat tenaga Via mencoba melerai dua lelaki
yang terasuki nafsu angkaranya masing-masing. Terbukti usahanya tak sia-sia,
beberapa saat kemudian dua lelaki itu saling melepaskan cengkraman.
“Kamu
ngapain disini di??”
Via mendorong tubuh Adi menjauh dari
suaminya. Matanya tajam mengusik rahasia di balik mata Adi. Tentu saja Via
bingung dengan apa yang terjadi. Karena baik Abi maupun Umi tak ada yang
menceritakan perihal kehadiran Adi belakangan ini. Tak mendapat respon apapun
dari Adi, Via balik memandang suaminya. Tatapan masih tajam mencoba mencari
tahu apa yang terjadi.
“Mas,
tolong jelasin sama aku apa yang terjadi?”
Abi malah hanya menjawab dengan
tatapan yang tak kalah pedasnya. Matanya lalu menembus tubuh Via menatap ke
arah Adi yang kini duduk di salah satu kursi. Suara tangisan Umi memancing Via
untuk lanjut menginterogasi Umi. Tangannya mendorong kasar Umi yang tak lagi
punya daya. Dengan mudah Umi terjatuh begitu saja. Air mata Umi masih mengalir
deras bersama Via yang mulai bertindak kasar kepadanya.
“Mbak ini
gimana sih?? Lihat tuh suami mbak babak belur di gebugin bajingan Ado itu! dan
mbak malah apa?? mbak Cuma bisa nangis ngelihat mereka berantem kaya gitu??
Mbak punya otak nggak sih?? Punya hati nggak sih?? Kalau mas Fatah kenapa-napa
mbak mau tanggung jawab?? Udah siap jadi janda??”
Tangan Via mulai menunjuk-nunjuk
kepala Umi. Bahkan mendorong-dorong kepala Umi. Umi tak memberikan reaksi
apapun atas tindakan Via. Malah justru Adi dan Abi yang bergerak berbarengan
menghentikan tangan Via.
“Cukup
Via.. jangan sekali-kali kamu sentuh calon Istri ku.”
“Apa??
calon istri??”
“Heh mulut
kamu itu punya sopan santun nggak?”
Abi hampir terbakar emosi sekali
lagi, tubuhnya sudah merangsek maju. Seketika tangan Umi memegangi kaki Abi.
“Cukup
Abi.... Cukup.”
Mak Yus datang dari belakang,
merengkuh bahu Umi yang masih tergncang oleh tangisannya. Tubuh Umi lemas
terkuras oleh air mata, perlahan Mak Yus membawanya ke ruang tengah. Dengan
penuh kasih sayang, dibelainya kepala Umi, disandarkan dipundaknya, dengan
sebuah pelukan hangat Mak Yus mencoba menyalurkan semangat dan kekuatan ke
tubuh Umi. Amir datang kehadapan Umi membawakan segelas air putih hangat.
Tangan Umi di belai Amir, dikecup dan dibenamkan wajah Amir ke tangan
bidadarinya.
“Maafkan
Amir membuat Umi menangis.”
Kepala Amir terangkat lalu beranjak
mengecup kaki Umi. Semua beban yang seolah bergelantungan di pundak Umi sirna
seketika. Hatinya tenteram melihat wajah malaikat kecilnya. Diangkatnya wajah
Amir dari punggung kakinya, tangannya menangkupkan wajah Amir lalu dikecupnya
kening Amir.
Abi,Via dan Adi masih mematung di
ruang tamu, mereka larut dalam pemikiran masing-masing. Amir datang bersama Umi
dan Mak Yus mereka membalas tatapan tiga orang tadi dengan senyuman.
“Abi sama
Ayah jangan berantem ya... masa gak malu sama Amir.”
Amir mengecup punggung tangan kedua
Bapaknya dengan takzim. Lalu mengajak mereka ke selasar rumah.
“Amir ingin
sekali pergi ke Canada dengan Ayah dan Umi. Tapi Amir akan lebih bahagia kalau
bisa hidup dengan orangtua kandung Amir. Betapa menyenangkannya bisa berpamitan
dengan Ayah dan Ibu saat akan ke sekolah. Amir bahkan tak bisa membayangkan suasan
makan malam bersama Ayah dan Ibu.”
Sesekali tangan Amir coba mengusap
air mata yang menetes ke pipinya. Dengan segenap kekuatan ia ingin menyampaikan
harapan dari hati kecilnya. Adi tidak menjawb apapun kecuali lantas memeluk
Amir dengan penuh kasih sayang. Emosi yang menguasai Adi dan Abi perlahan
luntur menjadi rasa haru akan kepolosan Amir.
Di ruang tamu, Umi juga coba
mendamaikan amarah Via yang meledak secara tiba-tiba. Butuh waktu yang tak
sebentar membujuk Via untuk ikut menyiapkan minum dan cemilan untuk Adi dan
Abi. Bersama-sama mereka membawa dua nampan ke selasar rumah. Tidak ada
percakapan yang terjadi, hanya senyum kelegaan dan tatapan haru.
Makan malam berlangsung setelah
kerja bakti membereskan ruang tamu terselesaikan. Menu sederhana tak
menghalangi nuansa kekeluargaan yang tampak di ruang makan malam itu. Suara
sendok dengan piring berpadu dengan percakpan hangat seputar kehadiran Adi dan
rencana Adi kembali ke Canada. Pukul sembilan malam semua orang telah masuk ke
kamarnya masing-masing. Adi memutuskan untuk menginap, karena ada hal yang
harus ia bicarakan serius dengan Via.
“Maafkan
aku Via, aku memang lelaki bodoh. Seharusnya aku melindungi mu bukan malah
mengahancurkan mu.”
“ Cukup
di,, aku sudah mulai melupakan kejadian itu, jangan kamu ungkit lagi pasal
itu.”
“Maaf Vi
aku harus mengungkit lagi hubungan kita. Amir butuh kita Vi.”
“Lantas mau
kamu apa di?”
“Aku tidak
tahu pasal cinta Vi. Tapi aku punya itikad baik untuk mengajak mu mendirikan
istana kita sendiri. menjadi raja dan ratu, bersama-sama membesarkan pangeran
Amir kita.”
“Jangan
bicara omong kosong di... aku udah capek kalau nanti harus kamu campakan lagi.”
“In Shaa
Allah Vi... aku akan jadi imam yang baik untuk kamu dan Amir.”
Sebuah keputusan yang besar telah
diambil di selasar rumah Umi, disaksikan oleh langit malam yang seolah
menyetujui keputusan Via dan Adi. Di kamarnya, Umi tengah mengompres luka Abi,
memberikan salep untuk meredakan sakit dan memar yang ditimbulkan.
“Sementara
ini dulu ya bi, besok kalau belum baikan periksa aja ke dokter.”
Umi meniup kening luka di wajah Abi,
seolah ingin mengusir rasa sakitnya dangan rasa sayang yang Umi miliki.
“Nah udah.
Umi tidur di kamar Amir ya.”
Umi sudah akan beranjak, namu tangan
Abi tak meleaskan genggamannya di lengan Umi. Matanya seolah berkata tak ingin
Umi pergi.
“Via kan
disini, biasanya kalau ada Via kan Umi tidur dikamar Amir.”
Abi menarik lengan Umi,
mendudukkannya berhadapan dengan Abi. Kepala Abi bersandar dipundak Umi,
menyerahkan beban pikiran yang membuatnya gampang tersulut emosi beberapa waktu
tadi.
“Tolong Umi
jawab jujur. Apakah Umi mau diajak ke Canada sama Adi?”
Umi tersenyum dan mengelus kepala
Abi.
“Jika Umi
memang berniat meninggalkan Abi, sudah sejak lama Umi pergi dan Kawin lagi.
Untuk apa Umi bertahan selama delapan tahun ini. Bahkan meski Abi akan
memberikan Umi kepada Adi. Umi akan menjadikan bayi ini sebagai alasan untuk
tetap berada disisi Abi.”
Tangan Umi meraih tangan Abi dan
meletakkannya di perut Umi yang terasa sedikit membesar. Abi mengangkat
kepalanya dari pundak Umi dan tersenyum lebar. Matanya yang berbinar seolah
ingin keluar dari lubangnya.
Tamat
Komentar
Posting Komentar