Hitam dan Tercemar

  ' Like living in the dream.' Kabut menyelimuti langit pukul 05.30 pagi. Benda tak padat, yang tak bisa digenggam itu menelisik anggun di antara pepohonan, membuat beberapa dahan ketutupan. Seperti di dalam lukisan, kabut itu turun dari langit, ke sela sela pohon, hingga berbaur dengan orang-orang di atas tanah. Kabut datang bersama hawa dingin yang mengungkung sekujur tubuh. Seolah es yang membekukan kulit bagian luar, mendekap kuat tapi tak menghangatkan. Meski dingin menerjang, udara pagi di pegunungan tetap menawan paru paru yang penuh kepulan asap kendaraan dan tembakau bakar. Katlya duduk di pembatas jalan, merapatkan jaket yang dikenakan. Hidungnya memerah dan berlendir, pipinya dingin tapi kenyal seperti kue mochi di dalam freezer. Ia menggosokkan telapak tangannya mencari kehangatan. Seperti naga kehilangan daya, nafasnya menyemburkan asap tanpa api. "Kenapa mbak motornya? Mogok?," seorang pria paruh baya dengan celana pendek dan celurit menghampiri Katlya.

Dimana Surga ku Berada???



“Ustadz... dimana surga ku berada?”
            Suasana ruang kelas TPA Al-Muttaqin mendadak lengang. Pertanyaan itu meluncur di tengah penjelasan Ustadz Amin tentang ‘betapa pentingnya menghormati Ibu’. Ustadz berfikir sejenak sambil mengernyitkan dahinya.
“Tentu saja di telapak kaki ibu mu.”
“Ibu yang mana? Yang melahirkan ku atau yang merawat dan membesarkan ku?.”
“Ibu yang berjuang untuk melahirkan mu lalu dengan penuh kasih sayang merawat dan membesarkan mu Amir...”
“Ibu tidak pernah menginginkan kelahiran ku, tapi Umi selalu merawat ku dengan penuh kasih sayang.”
            Amir mengungkapkan isi hatinya dengan berlinang air mata. Sesekali ia mengusap air matanya dengan lengan baju muslimnya.
“Amir.... kenapa kamu menangis? “
            Ustadz membelai kepala Amir, mencoba menenangkan anak lelaki terpintar dikelasnya. Amir yang biasanya nampak gagah dan ceria kini menangis sesenggukan di hadapannya. Tangis Amir yang memilukan membuat Ustadz Amin membubarkan kelas TPA-nya. Dengan penuh tanya dihati Ustadz membawa Amir ke kantor masjid. Ia mendudukan Amir di sofa panjang berwarna hijau, meski sudah tua tapi sofa itu masih nyaman diduduki. Ustadz memberikan kotak tisue dan segelas air putih untuk Amir.  Lima menit menunggu, Amir mulai mengusap air matanya dengan tisue.
“Amir sudah merasa lebih baik?”
            Tanya Ustadz dengan nada penuh perhatian.
“Sudah Ustadz...”
            Ustadz mengelus kepala Amir sambil tersenyum.
“Boleh Ustadz bertanya siapa itu Umi dan Ibu Amir?”
            Lengan Ustadz memeluk pundak Amir menyiratkan kekuatan yang coba Ustadz berikan kepada Amir. Mereka tampak seperti Ayah dan Anak yang saling mengasihi dan saling menguatkan. Air mata kembali membasahi pipi Amir saat Ia mencoba bercerita.
“Umi ku bernama Putri, Abi ku bernama Fatah. Mereka sudah menikah selama 2 tahun tapi belum dikaruniai putra. Suatu hari, Ibu ku yang bernama Via datang ke rumah Umi dan Abi. Dia meminta Abi bertanggung jawab atas bayi yang ada dikandungannya, yaitu Amir. Ibu ku mengaku frustasi mendengar Abi sudah menikah dengan Umi. Ibu tidak suka dan lalu melakukan pergaulan bebas hingga bisa hamil diluar nikah, pacarnya kabur dan tidak mau bertangungjawab. Jadi ibu mendatangi Abi dan mengemis minta dinikahi. Awalnya Abi tidak mau karena Abi sangat menyayangi Umi. Tapi keluarga Ibu terus memaksa Abi, bahkan mereka menyebarkan fitnah kalau itu adalah bayi Abi. Umi tidak setuju jika mereka menikah saat Ibu masih mengandung karena itu melanggar aturan Islam. Tapi Ibu malah akan mengancam menggugurkan bayi itu dan bunuh diri. Akhirnya pernikahanpun dilangsungkan saat usia kehamilan menginjak lima bulan. Umi sangat terluka dan pamit kepada Abi untuk menenangkan diri di pesantren. Setelah aku lahir, Ibu tidak menyayangiku sama sekali dia tidak mau menyusuiku atau menggendong ku. Akhirnya setelah akad nikah diulang agar sah sesuai aturan agama Abi menjemput Umi ke pesantren. Umi membesarkan ku dengan penuh kasih sayang, seolah aku adalah anak kandungnya.”
            Air mata Amir tak sedetikpun berhenti membasahi pipi Amir. Ustadz pun sedikit mengusap air dipelupuk matanya. Ustadz memeluk Amir, seolah memberikan dukungan agar Amir kuat menghadapi kisah hidupnya.
“Amir sayang sama Umi?”
“Amir sangat sayang sama Umi, Ustadz”
“Amir sayang sama Ibu?”
            Amir diam saja tak menjawab. Matanya lurus memandang ke lantai kantor Ustadz.
“Dengarkan Ustadz ya nak, Allah itu Maha Mengetahui. Dia mengetahui semua yang terbaik untuk kita. Jadi, seperti apapun orangtua yang Amir miliki saat ini, adalah orangtua terbaik yang diberikan Allah untuk Amir. Amir harus menyayangi, menjaga dan menghormati Ibu Amir sebagaimana yang diperintahkan Allah. Mungkin, Ibu Amir hanya malu untuk menyampaikan rasa sayangnya ke Amir.”
“Aku ini anak haram yang dibesarkan oleh seorang bidadari Ustadz.”
            Ucapan Amir sangat mengejutkan Ustadz, hingga Ia bingung harus berkata apa?.
“Siapa yang bilang Amir itu anak haram? Amir itu anak Umi sama Ibu,anak Abi juga.”
            Seorang wanita dengan gamis anggun berwarna hijau tosca berdiri di pintu kantor. Matanya sembab oleh air mata, tapi ia tetap tersenyum ke arah Amir.
“Umi...”
            Amir berlari dan memeluk wanita cantik yang Ia panggil Umi.
“Amir gak boleh ngomong seperti itu ya. Amir itu anak Umi,Abi dan Ibu.”
“Maafin Amir Umi. Ustadz kenalin, ini Umi Amir, namanya Umi Putri. Cantikkan seperti bidadari.”
            Wajah muram dan sedih Amir hilang seketika saat Umi datang kepadanya. Kini ia malah sangat bersemangat mengenalkan Umi nya kepada Ustadz Amin.
“Assalamualaikum.... saya Amin, guru mengaji Amir.”
“Waalaikumussalam Ustadz, saya Putri Uminya Amir. Tadi saya berniat jemput Amir pulang mengaji. Kata teman-temannya Amir menangis dan dibawa ke kantor Masjid. Saya takut Amir kenapa-napa jadi saya langsung kesini dan tidak sengaja mendengar percakapan Ustadz dan Amir, maaf kalau saya lancang.”
“Ohh tidak apa-apa bu. Selama lima bulan Amir belajar disini baru sekarang saya bertemu Uminya.”
“Ahh iya, saya tinggal di bekas Rumahnya keluarga bu Sukma. Kalau Abi sama Ibunya Amir tinggalnya di Magelang, jadi memang jarang bergaul dengan warga sekitar.”
“Ustadz kapan-kapan main ke Rumah Amir ya, kalau Umi sedang ke Toko Amir suka kesepian.”
“In Shaa Allah ya Amir.”
“Amir sudah selesai kan? Kita pulang yuk.”
            Amir mengangguk lalu memcium tangan Ustadz dan mengucap salam. Selesai berpamitan, Umi dan Amir berjalan menyusuri jalanan desa menuju rumah mereka. Amir sangat bahagia dijemput Uminya di TPA, sampai-sampai Ia terus menggenggam tangan Uminya di sepanjang jalan. Suara nyanyian Amir tak habis-habis terdengar hingga ke gerbang rumah.
            Di halaman rumah tampak sebuah mobil warna coklat terpakir. ‘Mungkin ada tamu untuk Umi’, pikir Amir dalam hati. Sementara Umi pun bertanya-tanya pula dalam hatinya. ‘siapakah gerangan pemilik mobil mewah ini’.
“Assalamualaikum....”
            Salam Umi dan Amir berbarengan dengan langkah mereka memasuki pintu gerbang. Seorang lelaki memakai baju koko dan kopiah hitam, duduk di teras rumah. Mak Yus yang biasa membantu pekerjaan rumah terlihat menyuguhkan secangkir minuman untuk tamu tak dikenal tadi. Melihat Umi yang baru datang, Mak Yus berlari kecil menghampiri Umi.
“Ibu itu ada tamu, katanya Ayahnya den Amir.”
“Ayahnya den Amir?”
            Mendengar ucapan Mak Yus, tangan Amir kuat menggenggam jemari Uminya. Ia takut pria itu adalah Ayahnya yang dulu tak mengakuinya. Ayah yang meninggalkan Ibunya dalam keadaan hamil. Amir takut pria itu akan mengusik kebahagiaan Amir dan Umi.
            Umi tersenyum menyapa ke tamu pria yang berwajah cukup tampan. Ketika berdiri menyambut Umi, postur tubuhnya tampak proporsional. Dadanya memang tidak berotot tapi terlihat gagah dengan baju koko putih berdesain simple yang melekat di tubuhnya.
“Assalamualaikum...”
“Waalaikumussalam... ada yang bisa dibantu mas?”
“Ah iya, perkenalkan nama saya Riyadi Wicaksana. Biasa dpanggil Adi.”
“Ooo mas Adi, silahkan duduk mas.”
“Iya terimakasih. Maaf apa anda yang bernama Putri?”
“Iya betul nama saya Putri. Ada keperluan apa ya mas?”
“Berarti, ini Amir?”
“Iya ini Amir. Salim nak sama om Adi.”
            Amir berdiri dari sisi Uminya, tangannya terjulur hendak mengecup punggung tangan pria bernama Adi yang duduk tidak jauh darinya. Tapi pria bernama Adi tadi langsung saja memeluk Amir. Air mata membelah wajah Adi, hingga membasahi pundak Amir.
“Ini Ayah nak... ini Ayah.... Maafkan Ayah ya nak.”
            Amir yang terkejut lantas berontak dan bersembunyi di balik kursi Umi.
“Amir gak punya Ayah. Amir punyanya Abi. Iyakan Umi?”
            Umi menarik Amir dari balik kursi, mendudukkannya di pangkuan dan memeluknya erat. Meski Umi tidak kalah terkejut mendengar perkataan Adi, Umi mencoba untuk tetap bersikap tenang.
“Maaf ya mas Adi, maksud anda berkata pada Amir bahwa anda adalah Ayahnya itu apa?”
“Saya ini mantan pacarnya Via. Saya yang menghamili dan meninggalkan Via.”
            Spontan Umi menutup kedua telinga Amir. Tidak seharusnya bocah seusia Amir mendengar ucapan Adi barusan.
“Amir mau nurut sama Umi kan??”
“Iya Umi...”
“Amir sekarang masuk ya... ambil wudhu terus ngaji... tadi ngajinya liburkan?”
“Tapi Amir dengerin om Adi.”
“Amir gak mau nurut kata Umi?”
“Yaudah Amir ngaji di kamar...”
            Dengan muka yang ditekuk dan rasa kecewa yang tergambar jelas dimatanya, Amir berjalan gontai menuju kamarnya. Umi memperbaiki posisi duduknya, mempersiapkan diri atas segala kondisi yang mungkin terjadi. Mata Umi tajam mentap mata Adi, berharap mendapatkan kebenaran yang sejujurnya.
“Maaf saya tidak bermaksud...”
“Tidak masalah. Lanjutkan saja penjelasan anda.”
“Ya dulu saya bukan anak baik-bak. Maksiat dan perzinahan jadi teman sehar-hari. Pertama kali saya kenal Via, dia sedang  sangat frustasi ditinggal nikah mantannya. Wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang indah sangat menggoda saya. Satu bulan saya mendekati Via sampai akhirnya dia mau menjadi pacar saya. Dari situ kami mulai pegangan tangan, pelukan, cium sana, cium sini, lama-lama ya hubungan badan wajar saja. Lia bulan berjalan, Via bilang kalau dia hamil. Merasa belum siap menjadi seorang Ayah, saya memaksa Via menggugurkan kandungannya. Tapi sebelum Via berhasil melakukannya dia buru ketahuan Ibunya. Keluarganya minta saya bertanggung jawab. Saya sangat frustasi dan memilih kabur ke luar negeri. Selama hampir 8 tahun ini saya tinggal di Canada bersama Ayah saya yang memang warga negara Canada.”
            Jujur saja, dalam hati Umi terasa sakit mendengar pernyataan Adi. Luka lama tentang kehadiran Via dalam rumah tangga ia dan suaminya terkuak lagi. Kenangan akan Via yang datang dengan perut buncit ke rumahnya. Mengemis pada suaminya untuk dinikahi. Bersama mengalirnya kenangan itu, air mata Umi singgah di pelupuk mata.
“Lalu untuk apa anda ada disini sekarang? Mau mengambil Amir dari saya?.”
“Selama dua tahun terakhir, saya mendalami agama Islam dengan teman-teman dari Indonesia di Canada. Setelah mendengarkan ceramah Ustadz dan nasehat dari beberapa teman. Saya memang memberanikan diri datang kemari untuk menjemput Amir tinggal di Canada bersama saya.”
            Air mata Umi pecah begitu saja, pipinya basah akan kesedihan. Amir adalah semangat hidupnya selama delapan tahun terakhir. Kehadiran Via dalam rumah tangganya sungguh meninggalkan bekas luka yang tak pernah padam. Tapi hadirna Amir yang ia rawat dan ia besarkan sejak bayi, menjadi salah satu alasan kuat kenapa ia tetap bertahan dengan suaminya. Senyum dan tawa Amirlah yang menutupi semua duka dalam dirinya. Kini tiba-tiba ada seorang pria yang dengan begitu saja mencoba mengambil Amir dari sisinya.
“Katakan pada saya... bagaimana saya akan tetap hidup jika Amir anda ambil?.”
            Mata Umi yang sayu akibat airmata, tajam mengusik hati Adi. Betapa kesulitan yang selama delapan tahun ini dipendam oleh Umi tersampaikan begitu saja lewat tatapan matanya. Entah hal apa yang menjadikan Adi seolah bisa merasakan luka dalam yang disembunyikan Umi.
“Saya mengerti, tapi saya juga butuh Amir.”
“Tolong anda pergi dari rumah saya sekarang. Maaf saya tidak bisa menemui anda saat ini.”
            Memotong pembicaraan Adi, Umi berdiri dan mengarahkan tangannya ke pintu gerbang. Tangan kirinya mengusap bulir air yang mengalir di pipi kirinya.
“Baiklah, saya akan memberi waktu untuk anda berpikir dan berdiskusi dengan suami anda jika memang itu dibutuhkan. Saya akan datang lagi minggu depan, Assalamualaikum.”
            Adi berdiri dari kursi kayu tempat ia duduk. Selesai mengucap salam langkahnya mulai bergerak meninggalkan teras rumah Umi. Meski sebenarnya hatinya sangat ingin bersama dengan anak kandung yang ia telantarkan selama delapan tahun. Tapi hatinya lebih mengerti perasaan duka dan kecewa yang disampaikan oleh mata Umi.
            Sosok Adi menghilang di balik pintu mobl mewah berwarna coklatnya. Lima menit berselang, mobil mewah itu meninggalkan halaman rumah Umi. Mak Yus datang dari arah dapur, membawa egelas air putih dingin untuk Umi. Tangan tuanya yang halus memijat pundak Umi. Mencoba menghilangkan beban hidup Umi yang terasa kian berat. Mak Yus sudah bekerja selama lima tahun dengan Umi. Semenjak Umi memutuskan untuk tinggal di Jogja sementara Abi dan Via di magelang.
            Selama lima tahun Mak Yus selalu merawat dan menguatkan Umi layaknya Ibu kepada anaknya. Bahkan tak sepenggal katapun yang tidak diketahui Mak Yus tentang nasib rumah tangga Umi. Mak Yus yang hidup sebatang kara sepeninggal suami dan anak-anaknya, turut berbagi pundak dan dukungan dengan Umi yang hidup tanpa ada Orang tua semenjak usia 20 tahun.
“Yang sabar ya Ngger.... Urip pancen akeh cobaan e.”
“Nggeh Mak... matursuwun.”
            Umi menegak habis air putih dalam gelas. Berdiri dari kursi dan beranjak menuju kamar. Tubuh Umi terasa lemas seolah tak bertulang. Melihat Hpnya tergeletak begitu saja di meja rias, Umi mengambilnya, memencet beberapa nomor, mencoba menelpon Abi. Selama beberapa saat, hanya nada sambung yang terdengar dari Hp Umi.
“Assalamualaikum Abi.....”
“Waalaikumussalam mbak.... ada apa sih kok telfon-telfon mas Fatah.”
“Ohh Via, mas Fatah ada? Mbak mau bicara sebentar.”
“Mau bicara apa? mas Fatahnya lagi mandi.”
“Kalau gitu bilangin sama mas Fatah tolong nanti telfon mbak ya Vi...”
“Ngomong aja kali sama Via nggak usah suruh-suruh mas Fatah telfon mbak.”
“Assalamualaikum.”
            Umi menutup telfon secara sepihak. Rasanya, sudah hafal betul Umi dengan sikap posesiv dan cemburuan Via. Air mata kembali menetes kala sekali lagi luka hatinya terbuka. Umi takut kalau-kalau Abi tak lagi mencintainya seperti dulu. Dalam sepuluh tahun pernikahan mereka pun belum kunjung dikaruniai anak. Sejujurnya Umi sangat pasrah dan ikhlas dengan keadaan itu, tapi Umi selalu saja takut ditinggalkan Abi.
            Adzan magrib terdengar menyapa telinga umat muslim. Amir menutup buku ngajinya dan bergegas ke kamar Umi. Tangan kecilnya mengetuk halus daun pintu kamar Umi. Dalam sepersekian menit, pintu berwarna biru itu terbuka. Umi tampak baru selesai mandi. Gamis warna peach dengan hiasan sederhana di sekitar dada berpadu anggun dengan pashmina warna pastel yang menyempurnakan penutup aurat Umi.
“Umi kita sholat berjamaah yuk...”
“Iya sayang, ajak Mak Yus juga ya...”
            Amir mengangguk dan lalu berlari menuruni tangga menuju ke dapur. Mak Yus tampak tengah sibuk menyiapkan makan malam. Aroma kentang goreng dan sup jagung menggelitik perut Amir yang langsung keroncongan.
“Wah baunya...”
            Wajah Amir sudah mendekat ke meja makan, matanya mendikte satu persatu hidangan diatas meja. Tidak terlalu banyak dan tidak terlalu mewah. Yang penting cukup untuk dimakan bertiga, Umi, Amir, dan Mak Yus.
            Di lantai dua, terdengar Hp Umi berunyi tanda telepon. Umi membenahi mukena yang sedang digunakan, lalu meraih Hp di meja rias. Nama ‘kekasih halalku’ tertera di layar Hp. Sedikit ragu, apakah Via atau Abi yang menelfonnya.
“Assalamualaikum Abi...”
“Waalaikumussalam Umi... tadi telfon Abi?”
“Iya bi, ada yang perlu Umi diskusikan soal Amir.”
“Amir sakit?”
“Bukan ini hal yang penting bi.”
“Yaudah habis isya Abi kesitu ya. Assalamualaikum.”
            Belum sampai Umi menjawab telfon, Abi sudah memutus telfon. Saat yang bersamaan, Mak Yus dan Amir masuk ke kamar. Mereka sholat Isya berjamaah di Imami Amir. Di ulang tahun ke tujuhnya, Amir minta dikhitankan, katanya ‘biar Amir bisa megimami Umi sholat’. Sampai saat ini, Amir selalu dengan bangga meminta Umi menjadi makmumnya. Usai sholat mereka mengaji bersama, melantunkan ayat suci al-qur’an di dinding dan langit-langit rumah hingga menjelang Isya. Mendengar adzan Isya dari masjid kampung, Umi, Amir, dan Mak Yus kembali melaksanakan sholat berjamaah. Memanjatkan pundi-pundi doa bersama, membisikkan harapan mereka pada bumi agar langit mendengar.
“Umi... makan yuk, Amir sudah laper.”
“Iya.. Amir duluan aja ke ruang makannya ya.”
“Siap komandan....”
            Selesai melipat sajadah, Amir dan Mak Yus setengah berlari menuju ruang makan. Satu per satu lauk ditata di atas meja, juga nasi yang dipindahkan dari Magic Com ke wadah kaca. Persis saat Umi menuruni tangga pintu depan terdengar diketuk beberapa kali. Umi membelokkan langkahnya menuju pintu depan.
“Assalamualaikum Umi....”
            Suara Abi menyapa dari balik daun pintu yang baru terbuka setengah. Hati Umi seolah ingin meloncat dari dalam dada. Sudah hampir satu bulan Abi tak mampir ke rumah Umi. Rasa rindu yang coba Umi sembunyikan di balik senyum setiap harinya kini keluar tak tertahankan. Sontak saja Umi meraih kedua tanga Abi, mengecupnya dengan takzim. Abi pun tak kalah mesranya, Abi mengelus kepala Umi penuh kasih sayang. Bibir Abi mengecup mesra kening Umi, seolah membalas rindu yang Umi luapkan.
“Abi sudah makan malam?”
“Belum tadikan habis solat langsung kesini.”
“Kok cepet banget?”
            Abi hanya tersenyum menjawab pertanyaan Umi. Amir menyambut dengan gembira kedatangan Abi. Dengan cepat Amir mengecup punggung tangan Abi, lalu meloncat dalam pelukan Abi.
“Abi kok baru sekarang kesini?”
“Amir kangen ya?”
“Iya.... masa tadi siang ada om om yang kesini ngaku-ngaku jadi Ayah Amir bi.”
            Merespon celoteh Amir, Abi melirik pada Umi yang berdiri disebelahnya. Umi tidak bisa menjelaskan seketika tentang apa yang dikatakan Amir. Hanya kedipan mata Umi yang memberikan kode sebagai jawaban tatapan Abi.
“Ahh Umi laper nih... makan yuk... Mak Yus makan yuk.”
            Umi berjalan ke arah dapur mengajak Mak Yus untuk makan bersama. Berinisiatif mengalihkan perhatian Amir dari ingatannya tentang Adi yang datang tadi siang.  Benar saja, Amir langsug beralih ke meja makan.
“Abi makan juga kan?”
“Iyaaa.”
            Makan malam berjalan dengan hangat, penuh dengan candaan antara Amir dan Abi, Umi lebih banyak menahan tangis haru melihat Abi dan Amir. Mak Yus terkadang ikut terkikik, juga turut merasa haru meihat hangatnya kekeluargaan yang tersaji di meja makan malam ini.
“Abi tidur disini kan? Nemenin Umi?.”
            Amir bertanya penuh semangat, mataya berbinar penuh harapan. Abi mengangguk menjawab harapan yang dikatakan mata Amir pada hati Abi.
“Amir ada pr nggak?”
“Ada Umi tapi sudah selesai.”
“Yasudah, Amir sekarang ke kamar mandi...”
“Sikat gigi, ambil air wudhu terus tidur jangan lupa baca doa.”
            Amir hafal benar dengan apa yang akan diucapkan Uminya. Hampir setiap malam Umi mengatakan pesan yang berulang-ulang pada Amir.
“Anak sholeh.”
            Abi mengacak-acak rambut Amir, mencoba menyalurkan rasa bangganya akan anak sholeh yang meski bukan murni darah dagingnya. Amir segera beranjak dari kursinya dan setengah berlari ke arah kamarnya. Dalam hati Amir lebih dari mengerti ada hal penting yang ingin orangtuanya bicarakan. Mak Yus juga segera berdalih membersihkan meja makan dan membawa piring kotor ke dapur. Suara air yang mengucur dari keran, denting pinring dan spon cuci yang membawa serta sabun cuci bersama irama cuci piring yang berdentang di ruang dapur.
            Umi dan Abi pergi ke selasar di samping rumah, membawa dua cangkir teh hangat dan sekotak biskuit ditengah meja. Suasana malam yang dingin berpadu dengan gemericik air dari kolam ikan buatan dan aroma rumput hijau yang menghiasi pelataran selasar. Entah kenapaUmi merasa gugup untuk membahas topik malam ini.
“Jadi... ada apa?”
            Abi bertanya sesaat sebelum meneguk teh hangat dari ujung cangkirnya. Umi mengambil nafas sejenak, turut mengecap teh hangat di cangkir. Kembali mengatur nafas menata detak jantungnya lalu mulai menjelaskan. Secarik kartu nama menjadi awal percakapan mereka. Mulai dari kedatangan Adi hingga semua yang Adi ceritakan pada Umi dan bahkan bagaimana Adi meninggalkan teras rumah Umi, tak ada yang luput satupun dari bibir Umi, semua tersampaikan secara sempurna.
“Baiklah... Abi akan menghubungi Adi sekarang, membuat janji untuk bertemu besok.”
            Abi meneguk tetes terakhir teh di cangkirnya, juga potongan biskuit yang ia ambil dari dalam kotak.
“Tidur yuk.”
            Abi berdiri dari kursi dan menawarkan tangannya pada Umi. Disambut dengan senyum hangat, tangan Umi memeluk lengan Abi. Kepala Umi bersandar manja dipundak Abi. Rasa rindu kembali menguasai emosi Umi, rasanya tak ingin lagi terpisah dari belahan jiwanya.
            Pertemuan Abi dengan Adi berjalan dengan baik, dengan kesungguhan dan tetesan air mata, Adi berhasil meyakinkan Abi. Hari-hari berikutnya, Adi sering main ke rumah untuk bermain dengan Amir. Terkadang Adi menjemput Amir di sekolah, mengajaknya makan siang bersama, mengantar Amir les dan mengaji. Di akhir pekan, Adi mengambil Amir dari Umi, mengajaknya bermain footsal atau berkunjung ke meseum dan taman bermain. Mereka memiliki waktu  yang indah bersama. Amir mendapatkan kasih sayang yang ia rindukan dalam waktu yang lama. Setiap kali bertemu mereka semakin kompak, Adi bahkan membeli beberapa potong pakaian yang membuat mereka terlihat kompak sebagai Ayah dan Anak.
“Amir.... Ayah ingin bicara sesuatu yang penting.”
“Ada apa Ayah?”
“Bulan depan Ayah harus kembali ke Canada. Kakek sedang sakit, Ayah harus merawat kakek dan bisnisnya. Dokter bilang penyakit kakek cukup parah. Jadi Kakek minta pada Ayah untuk bertemu dengan Amir sebelum Kakek pulang ke Rahmatullah. Amir mau kan nemenin Ayah ke Canada?”
“Berapa lama kita di Canada Ayah?”
“Ayah tidak tahu kita akan disana berapa lama. Banyak yang harus Ayah urus disana. Tapi kalau boleh jujur, Ayah akan sangat senang jika Amir bisa datang menemani Ayah.”
            Kepala Amir tertunduk memikirkan apa yang ditawarkan Ayahnya. Jelas Amir sangat bahagia bertemu dengan orangtua kandungnya, tapi di sisi lain, Amir sangat sayang pada Umi.
“Kalau Amir pergi, Umi bagaimana? Siapa yang nemenin Umi dirumah?”
            Amir berkata tanpa mampu menahan air mata membasahi wajahnya. Hati Amir dan Umi seolah telah bersatu, mereka bersam-sama menggambar pelangi ketika badai tengah menyapa hidup mereka. Bahkan dalam titik terlemah di hidup mereka, Umi dan Amir saling berbagi pundak dan berpegangan tangan, menguatkan satu sama lain. Adi memeluk pundak Amir, seolah ia mengerti perasaan yang bergelayut di hati Amir saat ini.
“Bagaimana kalau kita juga mengajak Umi?”
“Bisakah?”
            Mata Amir berbinar mendengar ide gila Adi. Ini tentu akan sangat menyenangkan membayangkan Umi dan Ayahnya bersama. Sebuah kebahagiaan yang tak kan bisa terlukiskan oleh kata-kata. Amir pulang dari lapangan footsal denga wajah sumringah. Begitu turun dari mobil Amir langsung berlari masuk ke rumah.
“Mak Yus, Umi dimana?”
            Amir bahkan menabrak Mak Yus yang membukakan pintu untuknya. Seolah ada roket yang menggerakkan badannya.
“Ada di ruang tengah sama Abi.”
            Roket dalam tubuh Amir kembali membawanya berlari ke ruang tengah. Umi dan Abi tengah bergurau sambil mengomentari acara di Tv. Kedatangan Amir yang tiba-tiba memeluk Umi dari belakang membuat jantung Umi seolah terlonjak dari tempatnya.
“Amir... ngagetin Umi aja sih.”
            Amir memeluk leher Umi sangat erat, melepas pelukannya, Amir berkata dengan meluap-luap tentang rencana Adi membawanya ke Canada.
“Umi... tadi Ayah bilang mau ke Canada. Terus Ayah ngajak aku sama Umi buat ikut dan tinggal disana. Umi mau kan?”
            Perkataan Amir sangat mengejutkan Umi, dan malah membuat Abi naik pitam. Tangan Abi sudah terkepal di samping tubuhnya.
“Dimana Ayah mu?”
            Amarah Abi tergambar jelas di wajah merah dan nafas memburunya. Belum sempat Amir menjawab, suara Adi mengucap salam di pintu depan terdengar oleh Abi. Sontak Abi berdiri dari duduknya dan menuju ke pintu depan.
            Ada suara seperti sesuatu yang besar jatuh dari ruang tamu. Amir dan Mak Yus masih menera-nerka apa yang kiranya terjadi. Tapi lain dengan Umi yang paham betul apa yang tengah terjadi. Tak lama dari suara debuman itu, suara Abi menggelegar bersama amarahnya hingga ke ruang tengah.
“Mau kamu apa di? Mau ambil anak dan istri saya begitu saja? Kamu lupa? Kamu menelantarkan Via yang tengah hamil. Membuatnya mendesakku untuk menikahinya. Kamu tahu? Semenjak kamu menghancurkan masa depan Via, kamu juga menghancurkan masa depan rumah tangga aku. Kamu pikir kamu siapa? Ninggalin Via gitu aja... bikin dia hamil, bikin di ngehancurin rumah tangga aku terus sekarang kamu dateng tiba-tiba mau ngambil anak dan istri ku?? Sampai mana lagi kamu mau ngehancuri hidup aku??”
            Umi menutup telinga Amir yang terpaku disampingnya. Keduanya mengeluarkan air mata dari pelupuk mata masing-masing. Bahkan Mak Yus yang berdiri di dapur pun bergetar mendengar amarah Abi.
“Mak Yus... tolong bawa Amir ke kamar.”
            Teriakan Umi tercekat di tenggorokan, tapi Mak Yus cukup dekat hingga mampu mendengar suara Umi yang parau akan air mata. Sedikit tergopoh, Mak Yus sedikit menyeret Amir ke kamarnya. Letak kamar Mak Yus yang berada di belakang rumah akan memastikan Amir tak mendengar pertengkaran kedua orangtuanya.
            Kondisi ruang tamu benar-benar berantakan, kursi dan meja sudah berserakan tak berada ditempatnya. Beberapa pajangan dan vas bunga pecah meninggalkan serpihan kaca dan keramik di lantai. Umi tak lagi mampu menahan sedu sedan tangisnya melihat suaminya tengah adu tonjok dengan Adi.
“Aku Cuma bernat baik. Aku mau membahagiakan anak ku, menebus kesalahan ku. Aku juga mau membahagiakan istri yang selama ini kau sia-siakan. Kau biarkan hidup seorang diri sementara kau bermesraan dengan istri baru yang kau bilang kau nikahi karena terpaksa?”
            Emosi Adi yang mencapai puncak keluar melalui kata-katanya yang menggebu-gebu. Mereka kembali mempertontonkan perkelahian mereka di depan Umi yang terduduk di ujung ruang tamu, tangisnya menjadi menyadari ia tak memiliki daya apapun untuk menghentikan dua orang lelaki yang tengah terbakar api emosi di depannya. Menit berikutnya, sosok wanita cantik bertubuh langsing beridiri di ambang pintu. Sosok Via yang datang dengan pakaian modis bak model Hijabers masa kini turut terpaku melihat apa yang terjadi.
“Mas Fatah!!!! Adi??? Apa yang kalian lakukan??”
            Via mendekati dua lelaki yang masih mencoba saling menjatuhkan. Dengan sekuat tenaga Via mencoba melerai dua lelaki yang terasuki nafsu angkaranya masing-masing. Terbukti usahanya tak sia-sia, beberapa saat kemudian dua lelaki itu saling melepaskan cengkraman.
“Kamu ngapain disini di??”
            Via mendorong tubuh Adi menjauh dari suaminya. Matanya tajam mengusik rahasia di balik mata Adi. Tentu saja Via bingung dengan apa yang terjadi. Karena baik Abi maupun Umi tak ada yang menceritakan perihal kehadiran Adi belakangan ini. Tak mendapat respon apapun dari Adi, Via balik memandang suaminya. Tatapan masih tajam mencoba mencari tahu apa yang terjadi.
“Mas, tolong jelasin sama aku apa yang terjadi?”
            Abi malah hanya menjawab dengan tatapan yang tak kalah pedasnya. Matanya lalu menembus tubuh Via menatap ke arah Adi yang kini duduk di salah satu kursi. Suara tangisan Umi memancing Via untuk lanjut menginterogasi Umi. Tangannya mendorong kasar Umi yang tak lagi punya daya. Dengan mudah Umi terjatuh begitu saja. Air mata Umi masih mengalir deras bersama Via yang mulai bertindak kasar kepadanya.
“Mbak ini gimana sih?? Lihat tuh suami mbak babak belur di gebugin bajingan Ado itu! dan mbak malah apa?? mbak Cuma bisa nangis ngelihat mereka berantem kaya gitu?? Mbak punya otak nggak sih?? Punya hati nggak sih?? Kalau mas Fatah kenapa-napa mbak mau tanggung jawab?? Udah siap jadi janda??”
            Tangan Via mulai menunjuk-nunjuk kepala Umi. Bahkan mendorong-dorong kepala Umi. Umi tak memberikan reaksi apapun atas tindakan Via. Malah justru Adi dan Abi yang bergerak berbarengan menghentikan tangan Via.
“Cukup Via.. jangan sekali-kali kamu sentuh calon Istri ku.”
“Apa?? calon istri??”
“Heh mulut kamu itu punya sopan santun nggak?”
            Abi hampir terbakar emosi sekali lagi, tubuhnya sudah merangsek maju. Seketika tangan Umi memegangi kaki Abi.
“Cukup Abi.... Cukup.”
            Mak Yus datang dari belakang, merengkuh bahu Umi yang masih tergncang oleh tangisannya. Tubuh Umi lemas terkuras oleh air mata, perlahan Mak Yus membawanya ke ruang tengah. Dengan penuh kasih sayang, dibelainya kepala Umi, disandarkan dipundaknya, dengan sebuah pelukan hangat Mak Yus mencoba menyalurkan semangat dan kekuatan ke tubuh Umi. Amir datang kehadapan Umi membawakan segelas air putih hangat. Tangan Umi di belai Amir, dikecup dan dibenamkan wajah Amir ke tangan bidadarinya.
“Maafkan Amir membuat Umi menangis.”
            Kepala Amir terangkat lalu beranjak mengecup kaki Umi. Semua beban yang seolah bergelantungan di pundak Umi sirna seketika. Hatinya tenteram melihat wajah malaikat kecilnya. Diangkatnya wajah Amir dari punggung kakinya, tangannya menangkupkan wajah Amir lalu dikecupnya kening Amir.
            Abi,Via dan Adi masih mematung di ruang tamu, mereka larut dalam pemikiran masing-masing. Amir datang bersama Umi dan Mak Yus mereka membalas tatapan tiga orang tadi dengan senyuman.
“Abi sama Ayah jangan berantem ya... masa gak malu sama Amir.”
            Amir mengecup punggung tangan kedua Bapaknya dengan takzim. Lalu mengajak mereka ke selasar rumah.
“Amir ingin sekali pergi ke Canada dengan Ayah dan Umi. Tapi Amir akan lebih bahagia kalau bisa hidup dengan orangtua kandung Amir. Betapa menyenangkannya bisa berpamitan dengan Ayah dan Ibu saat akan ke sekolah. Amir bahkan tak bisa membayangkan suasan makan malam bersama Ayah dan Ibu.”
            Sesekali tangan Amir coba mengusap air mata yang menetes ke pipinya. Dengan segenap kekuatan ia ingin menyampaikan harapan dari hati kecilnya. Adi tidak menjawb apapun kecuali lantas memeluk Amir dengan penuh kasih sayang. Emosi yang menguasai Adi dan Abi perlahan luntur menjadi rasa haru akan kepolosan Amir.
            Di ruang tamu, Umi juga coba mendamaikan amarah Via yang meledak secara tiba-tiba. Butuh waktu yang tak sebentar membujuk Via untuk ikut menyiapkan minum dan cemilan untuk Adi dan Abi. Bersama-sama mereka membawa dua nampan ke selasar rumah. Tidak ada percakapan yang terjadi, hanya senyum kelegaan dan tatapan haru.
            Makan malam berlangsung setelah kerja bakti membereskan ruang tamu terselesaikan. Menu sederhana tak menghalangi nuansa kekeluargaan yang tampak di ruang makan malam itu. Suara sendok dengan piring berpadu dengan percakpan hangat seputar kehadiran Adi dan rencana Adi kembali ke Canada. Pukul sembilan malam semua orang telah masuk ke kamarnya masing-masing. Adi memutuskan untuk menginap, karena ada hal yang harus ia bicarakan serius dengan Via.
“Maafkan aku Via, aku memang lelaki bodoh. Seharusnya aku melindungi mu bukan malah mengahancurkan mu.”
“ Cukup di,, aku sudah mulai melupakan kejadian itu, jangan kamu ungkit lagi pasal itu.”
“Maaf Vi aku harus mengungkit lagi hubungan kita. Amir butuh kita Vi.”
“Lantas mau kamu apa di?”
“Aku tidak tahu pasal cinta Vi. Tapi aku punya itikad baik untuk mengajak mu mendirikan istana kita sendiri. menjadi raja dan ratu, bersama-sama membesarkan pangeran Amir kita.”
“Jangan bicara omong kosong di... aku udah capek kalau nanti harus kamu campakan lagi.”
“In Shaa Allah Vi... aku akan jadi imam yang baik untuk kamu dan Amir.”
            Sebuah keputusan yang besar telah diambil di selasar rumah Umi, disaksikan oleh langit malam yang seolah menyetujui keputusan Via dan Adi. Di kamarnya, Umi tengah mengompres luka Abi, memberikan salep untuk meredakan sakit dan memar yang ditimbulkan.
“Sementara ini dulu ya bi, besok kalau belum baikan periksa aja ke dokter.”
            Umi meniup kening luka di wajah Abi, seolah ingin mengusir rasa sakitnya dangan rasa sayang yang Umi miliki.
“Nah udah. Umi tidur di kamar Amir ya.”
            Umi sudah akan beranjak, namu tangan Abi tak meleaskan genggamannya di lengan Umi. Matanya seolah berkata tak ingin Umi pergi.
“Via kan disini, biasanya kalau ada Via kan Umi tidur dikamar Amir.”
            Abi menarik lengan Umi, mendudukkannya berhadapan dengan Abi. Kepala Abi bersandar dipundak Umi, menyerahkan beban pikiran yang membuatnya gampang tersulut emosi beberapa waktu tadi.
“Tolong Umi jawab jujur. Apakah Umi mau diajak ke Canada sama Adi?”
            Umi tersenyum dan mengelus kepala Abi.
“Jika Umi memang berniat meninggalkan Abi, sudah sejak lama Umi pergi dan Kawin lagi. Untuk apa Umi bertahan selama delapan tahun ini. Bahkan meski Abi akan memberikan Umi kepada Adi. Umi akan menjadikan bayi ini sebagai alasan untuk tetap berada disisi Abi.”
            Tangan Umi meraih tangan Abi dan meletakkannya di perut Umi yang terasa sedikit membesar. Abi mengangkat kepalanya dari pundak Umi dan tersenyum lebar. Matanya yang berbinar seolah ingin keluar dari lubangnya.
Tamat

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGEN DISAYANG TAPI OGAH PACARAN

Corona dan Manusia

Sebuah Skenario Kematian