Hitam dan Tercemar

  ' Like living in the dream.' Kabut menyelimuti langit pukul 05.30 pagi. Benda tak padat, yang tak bisa digenggam itu menelisik anggun di antara pepohonan, membuat beberapa dahan ketutupan. Seperti di dalam lukisan, kabut itu turun dari langit, ke sela sela pohon, hingga berbaur dengan orang-orang di atas tanah. Kabut datang bersama hawa dingin yang mengungkung sekujur tubuh. Seolah es yang membekukan kulit bagian luar, mendekap kuat tapi tak menghangatkan. Meski dingin menerjang, udara pagi di pegunungan tetap menawan paru paru yang penuh kepulan asap kendaraan dan tembakau bakar. Katlya duduk di pembatas jalan, merapatkan jaket yang dikenakan. Hidungnya memerah dan berlendir, pipinya dingin tapi kenyal seperti kue mochi di dalam freezer. Ia menggosokkan telapak tangannya mencari kehangatan. Seperti naga kehilangan daya, nafasnya menyemburkan asap tanpa api. "Kenapa mbak motornya? Mogok?," seorang pria paruh baya dengan celana pendek dan celurit menghampiri Katlya.

bintang di kolong lorong



       Cuaca hari ini sangat panas, matahari seolah mencoba menelanjangi setiap tubuh, membuatnya basah akan keringat. Semua orang tampak mempercepat langkahnya. Termasuk seorang pemuda yang mengenkan celana jean’s panjang berpada kaos berkerah warna biru yang menyembul dari jaket putihnya. Dia berjalan cepat menuju sebuah lorong bawah tanah disamping toko kue bernuansa tempoe doeloe. Wajahnya tampak santai,ia sibuk dengan langkah panjangnya, atau musik yang berdengung lewat Headphone di kepalanya.
          Entah kenapa, langkahnya melambat setiap kali melewati lorong. Tangannya meraba dinding lorong sambil memejamkan mata. Jiwanya larut dalam khidmat kedamaian setiap kali kepalanya memutar kembali kenangan akan lorong itu dan dia.
“Apa kabar kamu? Aku rindu...”
          Pemuda itu lantas duduk bersandar ke dinding putih yang telah kusam. Sudah hampir satu tahun, sejak ia selalu berjalan di lorong ini, mengais-ngais kenangan yang sedikitpun tak pernah ia miliki. Sesekali matanya sembab dan pipinya basah. Tapi ujung-ujung sepatu olahraganya selalu tertawa setiap kali melihatnya menangis. Jadi ia ikut tersenyum bersama sepatunya. Sepatu yang dia berikan sebagai alasan perpisahan.
©
Satu tahun yang lalu... di taman kota,
          Ini pertama kalinya mereka pergi bersama. Alvaro sangat senang saat Lita mengangguk menerima ajakannya. Lita tampak manis dengan Minidress putih yang bergantung di pundak. Jepit rambut model bintang itu sangat manis menyelip di rambut Lita. Membantu ku Alvaro melihat mata bulat Lita.
“Apa kau benar-benar mendengar semua musik yang ku dentingkan untuk mu?”
          Lita berhenti di dekat air mancur di tengah taman. Alvaro bahkan sangat bahagia mendengar satu kalimat utuh dari Lita. Mereka lantas duduk di tepi air mancur.
“Aku tidak benar-benar mendengarnya. Musik yang kamu mainkan sangat indah, jadi Instruktur kelas Musik menyambungkannya ke seluruh sekolah. Bahkan hingga ke ruang ganti di pinggir lapangan. Pertama kali aku mendengarnya saat aku menang, dan aku merasa musik itu bermain untuk ku.”
          Alvaro berhenti sejenak, menghirup bulir kenangan tentang bagaiman dia akhirnya selalu berlari ke ruang musik setiap kali selesai pertandingan. Mengamati Lita yang sudah larut dalam denting pianonya. Dan hatinya bahkan turut terjatuh pada sosok Lita yang sama sekali tak dikenalnya.
“Pertandingan kemarin, aku sangat bersemangat karena melihat mu di bangku penonton. Membayangkan kamu akan bermain musik untukku dihadapan semua orang. Tapi ternyata kamu pergi begitu saja saat pertandingan berakhir. Aku buru-buru mandi dan meninggalkan tim. Tak kusangka kau bermain harmonika di Lorong.”
          Alvaro tersenyum mengingat kenangan hari itu, Lita yang duduk di badan Lorong. Matanya terpejam dan tubuhnya menari bersama nada dari hembusan Harmonika. Perasaan Alvaro menjadi semakin membumbung tinggi dan memberanikan diri menyapa Lita.
“Terimakasih untuk lagumu.....”
          Lita meraih lenga Alvaro, menariknya keluar dari taman kota. Mereka berjalan sampai pada toko sepatu, dua ratus meter dari taman kota. Mata Lita mengamati sejenak suasana toko, lalu membawa Alvaro masuk ke dalam.
“Selamat datang... Ada yang bisa dibantu?”
          Seorang wanita berusia sekitar 30-an menyapa kedatangan mereka. Senyumnya ramah khas penjaga toko pada umumnya. Tapi aura ke ibu-an sangat kuat dari sorot mata ibu ini.
“Apa kalian mencari sepatu untuk pasangan?”
          Mata Alvaro hampir saja keluar dari lubangnya karena ia melotot terlalu lebar. Ia bahkan sedikit terbatuk merespon pertanyaan ibu penjaga toko.
“Tidak, aku tidak suka sepatu olahraga. Aku ingin membeli sepatu untuknya.”
          Telunjuk Lita mengarah ke arah Alvaro yang mencoba menghentikan batuknya. Ibu penjaga toko itu tersenyum dan mengantar mereka ke salah satu sudut toko. Disana terpajang beberapa model dan warna sepatu untuk anak laki-laki.
“Aku mau yang itu, tolong ambilkan ukuran 42.”
          Tanpa mengambil waktu lama Lita memilih sebuah sepatu dengan mosel hiasan spiral. Warna ungu, abu-abu, dan putih berpadu padan menghiasi sepatu. Ibu penjaga toko dengan segera mengambilkan pesanan Lita. Tanpa membuatku mencoba atau bertanya pendapatku tentang sepatu itu, Lita sudah membayarnya dan meminta ibu penjaga toko membungkusnya seperti kado.
          Mereka keluar dari toko dengan sebingkai kado yang sedikitpun Alvaro tak pahami. Mungkin kado itu bukan untuknya, Lita hanya membawanya sebagai model. Tak ada satu katapun yang terlontar hingga mereka sampai ke lorong di dekat gedung perkantoran. Mereka masih membisu hingga seketika Lita berhenti di tengah Lorong. Dia memberikan bingkisan kado kepada Alvaro yang menerimanya dengan canggung.
“Alasan kenapa aku memberikan mu kado sama dengan alasan ku menerima ajakan mu pergi ke taman kota.”
“....”
“Aku akan bermain musik di Budhapest. Sebuah Universitas telah mengundangku kesana.”
“Tapi kau baru kelas dua SMA.”
“....”
          Tidak ada jawaban dari Lita, hanya tangannya yang bergerak menyapu sudut matanya. Tanpa sepatah katapun Lita pergi berlari membawa tanda tanya dari dasar Lorong. Alvaro diam terpaku, menatap dinginnya lantai Lorong,berpangku tangan bertanya-tanya.
©
          Hari ini Alvaro bertanding sepak bola. Sejak tadi matanya mencari-cari sosok Lita di bangku penonton. Tidak ada hasil. Empat puluh lima menit pertama, Alvaro bermain prima tapi tak mampu mencetak gol. Sesekali matanya melayang ke jendela ruang musik. Tidak ada bayangan seorang gadis duduk ditepi jendela, tak ada bayangan siapapun malah. Peluit panjang tanda istirahat melengking, Alvaro berlari keluar lapangan, mengabaikan teriakan pelatih, kawan, dan penggemarnya. Langkahnya laju menuju ruang musik di lantai tiga.
Srek....
          Pintu ruangan dibukanya dengan kasar. Hampa, kosong, ruang ini tak bernyawa. Bahkan debu pun enggan singgah. Tuts-tuts piano itu begitu dingin, kehilangan sentuhan pemiliknya. Hati Alvaro berontak tak ingin menyerah, matanya terus menelanjangi setiap sisi ruangan, berharap menangkap sosok gadis kecil berwajah muram yang sudah lama menetap di hatinya. Sayang, matanya hanya bersua dengan kotak kado berwarna merah di kursi piano.
          Ujung jemarinya mulai membuka tutup kotak kado, sebuah syal berwarna putih dan sepucuk kertas menyelip di sela-selanya.
jaket mu berwarna putih
jadi syal ini juga berwarna putih
ibu ku terbatuk saat aku akan pergi sekolah
dan dia sudah meninggal saat aku pulang
jadi jangan sampai kau terbatuk
karena aku akan pulang
                             -Lita
            Hanya sebait kata itu yang ia tinggalkan untuk Alvaro. Meski entah karena apa tapi terhitung dari detik itu, Alvaro kehilangan jiwanya. Dia tidak lagi bermani bola. Waktunya habis untuk mendengarkan denting piano dari Headphone. Bersembunyi di balik jaket putihnya yang semakin kumal. Berlari menjauh dari orang-orang bersama sepatu olahraga berwarna ungu,abu-abu, dan putih.  Tapi Alvaro tidak pernah mengenakan syal putih. Berharap jika ia terbatuk, Lita akan berlari ke arahnya.
©
          Pemuda itu bangkit dari duduknya, sekali lagi meraba dinding Lorong yang kusam. Sesosok bayangan tampak mendekat dari arah Lorong di dekat gedung perkantoran. Alvaro tidak peduli, tak menggubris sedikitpun, meski bayangan itu kini berdiri di dekatnya.
“Terimakasih untuk tidak terbatuk selama aku pergi.”
          Kini bayangan itu tertangkap sebagai gadis kecil berkulit putih berambut hitam panjang. Senyumnya menawan sepasang mata Alvaro. Dan sekali lagi hati Alvaro terjatuh.
“Aku merindukan mu.”
          Gadis kecil itu kini menjelma menjadi seorang gadis. Wajahnya tak lagi murung, kulitnya tak lagi pucat, badannya tak lagi kurus. Kini ia lebih banyak tersenyum dan berbicara. Ia bahkan memiliki nada yang berbeda untuk setiap kata yang ia lontarkan. Gadis kecil itu berubah.
“Sangat merindukan mu.”
          Tubuh pemuda itu merasakan kehangatan dari dekapan sang gadis. Jantungnya melonjak ke angkasa. Suka cita gegap gempita memenuhi rongga dadanya. Dia tak mengerti, listrik apa yang sedang menyengat tubuhnya. Sesaat gadis itu terus mendekapnya. Pemuda itu seolah menemukan lagi jiwa yang menghilang dari tubuhnya.
“Lita”
          Gadis itu melepas dekapannya dan mentap ke dalam mata si pemuda.
“Ah... aku lega kau masih mengingat nama ku.”
Sekian

Komentar

  1. nice story, love it so much
    tapi ada beberapa paragraf yang penggunaan kata ganti yang rancu antara 'aku' dan 'Alvaro' .
    still good and make a beautiful words

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGEN DISAYANG TAPI OGAH PACARAN

Corona dan Manusia

Sebuah Skenario Kematian