Cuaca
hari ini sangat panas, matahari seolah mencoba menelanjangi setiap tubuh,
membuatnya basah akan keringat. Semua orang tampak mempercepat langkahnya.
Termasuk seorang pemuda yang mengenkan celana jean’s panjang berpada kaos berkerah
warna biru yang menyembul dari jaket putihnya. Dia berjalan cepat menuju sebuah
lorong bawah tanah disamping toko kue bernuansa tempoe doeloe. Wajahnya tampak
santai,ia sibuk dengan langkah panjangnya, atau musik yang berdengung lewat
Headphone di kepalanya.
Entah kenapa, langkahnya melambat
setiap kali melewati lorong. Tangannya meraba dinding lorong sambil memejamkan
mata. Jiwanya larut dalam khidmat kedamaian setiap kali kepalanya memutar
kembali kenangan akan lorong itu dan dia.
“Apa
kabar kamu? Aku rindu...”
Pemuda itu lantas duduk bersandar ke
dinding putih yang telah kusam. Sudah hampir satu tahun, sejak ia selalu
berjalan di lorong ini, mengais-ngais kenangan yang sedikitpun tak pernah ia
miliki. Sesekali matanya sembab dan pipinya basah. Tapi ujung-ujung sepatu
olahraganya selalu tertawa setiap kali melihatnya menangis. Jadi ia ikut
tersenyum bersama sepatunya. Sepatu yang dia
berikan sebagai alasan perpisahan.
©
Satu tahun yang lalu... di taman kota,
Ini pertama kalinya mereka pergi bersama.
Alvaro sangat senang saat Lita mengangguk menerima ajakannya. Lita tampak manis
dengan Minidress putih yang bergantung di pundak. Jepit rambut model bintang
itu sangat manis menyelip di rambut Lita. Membantu ku Alvaro melihat mata bulat
Lita.
“Apa kau
benar-benar mendengar semua musik yang ku dentingkan untuk mu?”
Lita berhenti di dekat air mancur di
tengah taman. Alvaro bahkan sangat bahagia mendengar satu kalimat utuh dari
Lita. Mereka lantas duduk di tepi air mancur.
“Aku
tidak benar-benar mendengarnya. Musik yang kamu mainkan sangat indah, jadi
Instruktur kelas Musik menyambungkannya ke seluruh sekolah. Bahkan hingga ke
ruang ganti di pinggir lapangan. Pertama kali aku mendengarnya saat aku menang,
dan aku merasa musik itu bermain untuk ku.”
Alvaro berhenti sejenak, menghirup
bulir kenangan tentang bagaiman dia akhirnya selalu berlari ke ruang musik
setiap kali selesai pertandingan. Mengamati Lita yang sudah larut dalam denting
pianonya. Dan hatinya bahkan turut terjatuh pada sosok Lita yang sama sekali
tak dikenalnya.
“Pertandingan
kemarin, aku sangat bersemangat karena melihat mu di bangku penonton.
Membayangkan kamu akan bermain musik untukku dihadapan semua orang. Tapi
ternyata kamu pergi begitu saja saat pertandingan berakhir. Aku buru-buru mandi
dan meninggalkan tim. Tak kusangka kau bermain harmonika di Lorong.”
Alvaro tersenyum mengingat kenangan
hari itu, Lita yang duduk di badan Lorong. Matanya terpejam dan tubuhnya menari
bersama nada dari hembusan Harmonika. Perasaan Alvaro menjadi semakin
membumbung tinggi dan memberanikan diri menyapa Lita.
“Terimakasih
untuk lagumu.....”
Lita meraih lenga Alvaro, menariknya
keluar dari taman kota. Mereka berjalan sampai pada toko sepatu, dua ratus
meter dari taman kota. Mata Lita mengamati sejenak suasana toko, lalu membawa
Alvaro masuk ke dalam.
“Selamat
datang... Ada yang bisa dibantu?”
Seorang wanita berusia sekitar 30-an
menyapa kedatangan mereka. Senyumnya ramah khas penjaga toko pada umumnya. Tapi
aura ke ibu-an sangat kuat dari sorot mata ibu ini.
“Apa
kalian mencari sepatu untuk pasangan?”
Mata Alvaro hampir saja keluar dari
lubangnya karena ia melotot terlalu lebar. Ia bahkan sedikit terbatuk merespon
pertanyaan ibu penjaga toko.
“Tidak,
aku tidak suka sepatu olahraga. Aku ingin membeli sepatu untuknya.”
Telunjuk Lita mengarah ke arah Alvaro
yang mencoba menghentikan batuknya. Ibu penjaga toko itu tersenyum dan
mengantar mereka ke salah satu sudut toko. Disana terpajang beberapa model dan
warna sepatu untuk anak laki-laki.
“Aku
mau yang itu, tolong ambilkan ukuran 42.”
Tanpa mengambil waktu lama Lita
memilih sebuah sepatu dengan mosel hiasan spiral. Warna ungu, abu-abu, dan
putih berpadu padan menghiasi sepatu. Ibu penjaga toko dengan segera
mengambilkan pesanan Lita. Tanpa membuatku mencoba atau bertanya pendapatku
tentang sepatu itu, Lita sudah membayarnya dan meminta ibu penjaga toko
membungkusnya seperti kado.
Mereka keluar dari toko dengan
sebingkai kado yang sedikitpun Alvaro tak pahami. Mungkin kado itu bukan
untuknya, Lita hanya membawanya sebagai model. Tak ada satu katapun yang
terlontar hingga mereka sampai ke lorong di dekat gedung perkantoran. Mereka
masih membisu hingga seketika Lita berhenti di tengah Lorong. Dia memberikan
bingkisan kado kepada Alvaro yang menerimanya dengan canggung.
“Alasan
kenapa aku memberikan mu kado sama dengan alasan ku menerima ajakan mu pergi ke
taman kota.”
“....”
“Aku
akan bermain musik di Budhapest. Sebuah Universitas telah mengundangku kesana.”
“Tapi
kau baru kelas dua SMA.”
“....”
Tidak ada jawaban dari Lita, hanya
tangannya yang bergerak menyapu sudut matanya. Tanpa sepatah katapun Lita pergi
berlari membawa tanda tanya dari dasar Lorong. Alvaro diam terpaku, menatap
dinginnya lantai Lorong,berpangku tangan bertanya-tanya.
©
Hari ini Alvaro bertanding sepak bola.
Sejak tadi matanya mencari-cari sosok Lita di bangku penonton. Tidak ada hasil.
Empat puluh lima menit pertama, Alvaro bermain prima tapi tak mampu mencetak
gol. Sesekali matanya melayang ke jendela ruang musik. Tidak ada bayangan
seorang gadis duduk ditepi jendela, tak ada bayangan siapapun malah. Peluit
panjang tanda istirahat melengking, Alvaro berlari keluar lapangan, mengabaikan
teriakan pelatih, kawan, dan penggemarnya. Langkahnya laju menuju ruang musik
di lantai tiga.
Srek....
Pintu ruangan dibukanya dengan kasar.
Hampa, kosong, ruang ini tak bernyawa. Bahkan debu pun enggan singgah.
Tuts-tuts piano itu begitu dingin, kehilangan sentuhan pemiliknya. Hati Alvaro
berontak tak ingin menyerah, matanya terus menelanjangi setiap sisi ruangan,
berharap menangkap sosok gadis kecil berwajah muram yang sudah lama menetap di
hatinya. Sayang, matanya hanya bersua dengan kotak kado berwarna merah di kursi
piano.
Ujung jemarinya mulai membuka tutup
kotak kado, sebuah syal berwarna putih dan sepucuk kertas menyelip di
sela-selanya.
jaket
mu berwarna putih
jadi
syal ini juga berwarna putih
ibu
ku terbatuk saat aku akan pergi sekolah
dan
dia sudah meninggal saat aku pulang
jadi
jangan sampai kau terbatuk
karena
aku akan pulang
-Lita
Hanya
sebait kata itu yang ia tinggalkan untuk Alvaro. Meski entah karena apa tapi
terhitung dari detik itu, Alvaro kehilangan jiwanya. Dia tidak lagi bermani
bola. Waktunya habis untuk mendengarkan denting piano dari Headphone.
Bersembunyi di balik jaket putihnya yang semakin kumal. Berlari menjauh dari
orang-orang bersama sepatu olahraga berwarna ungu,abu-abu, dan putih. Tapi Alvaro tidak pernah mengenakan syal
putih. Berharap jika ia terbatuk, Lita akan berlari ke arahnya.
©
Pemuda itu bangkit dari duduknya,
sekali lagi meraba dinding Lorong yang kusam. Sesosok bayangan tampak mendekat
dari arah Lorong di dekat gedung perkantoran. Alvaro tidak peduli, tak
menggubris sedikitpun, meski bayangan itu kini berdiri di dekatnya.
“Terimakasih
untuk tidak terbatuk selama aku pergi.”
Kini bayangan itu tertangkap sebagai
gadis kecil berkulit putih berambut hitam panjang. Senyumnya menawan sepasang
mata Alvaro. Dan sekali lagi hati Alvaro terjatuh.
“Aku
merindukan mu.”
Gadis kecil itu kini menjelma menjadi
seorang gadis. Wajahnya tak lagi murung, kulitnya tak lagi pucat, badannya tak
lagi kurus. Kini ia lebih banyak tersenyum dan berbicara. Ia bahkan memiliki
nada yang berbeda untuk setiap kata yang ia lontarkan. Gadis kecil itu berubah.
“Sangat
merindukan mu.”
Tubuh pemuda itu merasakan kehangatan
dari dekapan sang gadis. Jantungnya melonjak ke angkasa. Suka cita gegap
gempita memenuhi rongga dadanya. Dia tak mengerti, listrik apa yang sedang
menyengat tubuhnya. Sesaat gadis itu terus mendekapnya. Pemuda itu seolah
menemukan lagi jiwa yang menghilang dari tubuhnya.
“Lita”
Gadis itu melepas dekapannya dan
mentap ke dalam mata si pemuda.
“Ah...
aku lega kau masih mengingat nama ku.”
Sekian
nice story, love it so much
BalasHapustapi ada beberapa paragraf yang penggunaan kata ganti yang rancu antara 'aku' dan 'Alvaro' .
still good and make a beautiful words