Hitam dan Tercemar

  ' Like living in the dream.' Kabut menyelimuti langit pukul 05.30 pagi. Benda tak padat, yang tak bisa digenggam itu menelisik anggun di antara pepohonan, membuat beberapa dahan ketutupan. Seperti di dalam lukisan, kabut itu turun dari langit, ke sela sela pohon, hingga berbaur dengan orang-orang di atas tanah. Kabut datang bersama hawa dingin yang mengungkung sekujur tubuh. Seolah es yang membekukan kulit bagian luar, mendekap kuat tapi tak menghangatkan. Meski dingin menerjang, udara pagi di pegunungan tetap menawan paru paru yang penuh kepulan asap kendaraan dan tembakau bakar. Katlya duduk di pembatas jalan, merapatkan jaket yang dikenakan. Hidungnya memerah dan berlendir, pipinya dingin tapi kenyal seperti kue mochi di dalam freezer. Ia menggosokkan telapak tangannya mencari kehangatan. Seperti naga kehilangan daya, nafasnya menyemburkan asap tanpa api. "Kenapa mbak motornya? Mogok?," seorang pria paruh baya dengan celana pendek dan celurit menghampiri Katlya.

Halwa si ojek cinta


"gua pergi dulu ya"
"mau kemana?"
"mau ngejemput pacar orang."

Terang Halwa sambil lalu. Dengan tergesa-gesa ia mengenakan flat shoes birunya, dengan tas ransel yang masih menggantung sebelah. Setengah berlari ia turun menuju parkiran, mencari beat warna hitam yang ia pinjam dari seniornya di ekskul teater.

Dua menit kemudian Halwa kembali muncul di depan ruang siar. Dengan nafas yang terengah-engah, dia masuk sambil melepas sepatu asal.

"kunci motor gua mana ya chik."

Aku sedikit melirik padanya yang sibuk menelanjangi meja komputer penyiar. Tak lama tangannya menyentuh kunci motor tanpa gantungan di sebelah monitor komputer. Aku diam saja melihat tingkah paniknya.

"aku pergi ya gaes."

Halwa melambai asal pada mahluk yang tersisa di ruang siaran. Setelahnya dia menghilang, pergi dengan pacar orang.

....

"chik, temen gua putus sama pacarnya gara-gara gua."

Kalimat tersebut menjadi pembuka, sebuah cerita picisan tentang seorang gadis yang cemburu dengan Halwa. Katanya, pacarnya lebih sering, ketemu Halwa daripada dia. Mungkin lelaki itu bosan, wanita yang dia kenal berubah terlalu manja dan cemburuan. Sehingga lebih ingin menikmati secangkir kopi dam semburit senja dengan Halwa yang tak pernah bertingkah feminim.

Seingat ku Halwa bukan gadis menyek, yang akan merengek saat tidak ada teman laki-laki yang mau memboncengkannya. Dia tidak masalah jika temannya tidak membutuhkannya, tapi dia akan selalu ada saat dibutuhkan. Misalnya saja, saat temannya putus cinta.

....

"Gua udah jomblo enam tahun, kenapa?"
"Genepi aja jadi 9 tahun kaya wajib belajar."

Selama di Jogja, Halwa silih berganti pergi bersama pacar orang, tapi tak pernah dapat pacar. Sedikitpun, dia tak pernah mengeluh soal sepi atau sendiri. Perjalanan menuju tempat pendakian merbabu atau andong, dia bisa menempuhnya sendirian dengan kondisi jalanan gelap dan dingin. Halwa hanya merasa sepi saat makan sendirian. Jangan heran, kalau dia milih gak makan daripada makan sendirian.

"wa aku laper, belum makan seharian"

Aku mengirim pesan pada halwa pukul 00.31 WIB.

"lah, makan chik, jangan mati. Gua temenin apa, gua pesen grab kesana."

Halwa tahu rasanya sepi makan sendiri. Mereka yang mengerti, biasanya tak bisa membiarkan orang lain merasakan hal yang sama dengan mereka.

......

"gaes aku dipepet orang, motor ku di tendang."

Halwa mengirim pesan ke grup, pukul 22:30 WIB. Aku sedang berada di depan kosan, memikirkan tujuan untuk mengakhiri malam.

"wa mau aku samperin?."
"gak usah chik, biar anak sanggar aja."

Semandiri apapun halwa, dia tetaplah wanita. Masih butuh sosok lain untuk melindungi dan mengayominya. Kerennya, pagi berikutnya, si tukang ojek cinta ini sudah bisa datang ke kantor dengan ceria. Penuh semangat bercerita pada masing-masing orang di kantor tentang kejadian semalam. Dia memang begitu, kalau ketemu orang gak bisa kalau gak cerita. Apa aja dia ceritain, kalau gak sempet cerita, dia tulis di storynya. Halwa, si ojek cinta selalu mengungkapkan isi pikiran dan hatinya. Meskipun tidak semua.

....

Terkadang aku bertanya-tanya kenapa kita harus selalu bahagia? Harus selalu baik-baik saja?. Maksudnya, coba di ingat, saat kita sedang dalam kondisi yang buruk. Lalu kita cerita pada orang lain. Tanggapan mereka akan seputar, 'yang sabar ya', 'gpp jangan sedih, tetap semangat', 'masa gitu aja nangis, ayo senyum'.

Apa yang salah dengan kesedihan, saat aku tertawa keras, tertawa pada hal sederhana, tertawa tak ada habisnya. Aku juga menangis tersedu, menangisi hal sederhana, menangis tanpa tahu kapan berhenti. Sesederhana membaca kumpulan puisi Chairil Anwar, saya tertawa, lalu sedih, dan bahkan menangis. Luka dan tangis adalah hal manusiawi.

'Kenapa nangis? Kamu sedih ya?'
'Gpp nangis aja kalau mau nangis'
'Luapin aja dulu keselnya'
'Mau dipeluk? Apa di puk-puk?'

Ada masanya saya ingin meluapkan rasa marah dan sedih. Seringnya saya menjauh, agar tidak merugikan orang lain. Kadang dengan sengaja memanggil orang lain, untuk menemani menghabiskan secangkir amarah dan sebotol air mata. Pernah, dalam kondisi terburuk, aku menelfon temanku untuk menemaniku menangis. Tanpa berkata apa-apa. Hanya ingin tangisku di dengar.

Tapi, tidak jarang orang juga jadi menutup diri, membiarkan duka laranya di telan sendiri. Sebab sudah berbagi pun, masih banyak yang tidak mengerti. Mirisnya, ketika orang disekitarnya hanya ingin tahu, tapi tidak sepenuhnya peduli.
'oh dia gitu'
Yasudah sampai disitu saja, tidak lantas bertanya mengapa dan bagaimana. Ini juga mengapa, buku diary masih relevan untuk digunakan saat ini. Meski bentuknya tak lagi buku, bisa jadi catatan digital atau surat elektronik yang ditujukan pada diri sendiri.

....

"chik kenapa ya orang suka gitu, kok ada orang kaya gitu."

Mahluk pecinta alam ini sedang gelisah menghadapi persoalan pertemanan. Wajahnya tertekuk saat menceriakan setiap bagian yang membuatnya kecewa. Halwatun yang tidak bisa makan sendirian, mulai gelisah kehilangan teman makan. Tapi, dia masih sanggup bangun tengah malam untuk goreng telor dan makan di dekat tangga kontrakannya. Sambil 'sambat' tentang hidupnya, mungkin ada yang mendengar, hanya saja tak terlihat.

"nih ya wa, aku lagi belajar makan sendirian, pergi sendirian, nonton sendirian. Bukan karena gak butuh temen. Aku juga gak semandiri atau sestrong itu untuk menghadapi semuanya sendirian. Tapi aku mulai sadar aja, gak selamanya orang itu ada buat kita. Malah kadang, saat kondisi terburuk kita, mereka bener-bener gak ada. Jadi aku seolah mau bersiap untuk kondisi itu, atau lebib tepatnya aku sudah mengalami dan gak mau berharap lagi."

Aku dan halwa, jarang bertukar pesan, kalau bukan ada keperluan. 'chat kok kalau ada butuhnya doang'. Memang kalau gak butuh, harus mengirim pesan apa. Ucapan selamat malam dengan titik dua bintang?. Di dunia ini mungkin masih banyak orang yang tidak bisa makan sendirian. Tapi, semakin dewasa justru lingkaran pertemanan semakin mengecil. Tidak ada waktu untuk merengek, perihal tak punya teman. Lebih kepada, yasudah persiapkan saja waktu sendirian mu.

Malam itu, kita menghabiskan banyak sekali kisah oertemanan di ruang kantor yang sudah sepi tak berpenghuni. Seandainya bukan karena kasihan melihat satpam yang menunggu kami pulang. Mungkin sampai pagi kami masih akan terus bercerita. Lalu kami melangkah ke burjo depan kantor. Memesan sepiring makan, dihangatkan dengan obrolan sebelumnya.

.....

"gua tu ya kesel sama kak wildan."

Halwa memulai kisahnya sore itu, aku mendengarkan sambil mengaduk coklat panas yang baru ku buat. Dalam satu minggu ini, mungkin sudah tiga kali dia berkata sebal dengan temannya yang bernama Wildan. Tapi yang aku lihat justru, Halwa yang selalu ada untuk si Wildan, sesebal apapun dia. Meski hanya sekedar jadi teman makan atau belanja bulanan. Halwa bercerita sambil mengunyah gorengan, salah satu cemilan kesukaannya.

Untuk sebagian orang, wanita bertubuh tinggi dan kekar ini sangat jutek dan urakan. Namun, sebenarnya mereka hanya belum menerima paket cinta dari Halwa. Mana mungkin orang mau peduli dengan wajah Halwa yang tidak cocok dengan produk kecantikan apapun. Itulah mengapa dia biarkan wajahnya hanya berlunur debu jalanan. Mana mungkin juga temannya mengerti, celana jeans kumal yang selalu dia kenakan, adalah celana favoritnya. Sehingga mereka hanya akan mendesak Halwa untuk mengganti celananya.


....

Hay Halwa, mari berteman, hingga tak ada lagi manusia di bumi.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGEN DISAYANG TAPI OGAH PACARAN

Corona dan Manusia

Sebuah Skenario Kematian