Aku berada di lorong yang salah. Aku berjalan di tengah kerumunan yang berbeda. Kepala ku menengadah mencari celah, papan petunjuk, sorot lampu, atau bisikan bisikan pemandu. Tapi, yang ku temui malah justru bayangan hitam yang menyesatkan ku jauh semakin dalam ke lorong tak berujung. Dengan genangan air hujan yang tak berhenti selama sepekan. Lalu hawa dingin seolah menggerogoti tulang ku.
Aku bisu di depan mu, tidak bisa berkata apa apa, tidak bisa menatap apa apa. Selain tubuh mu yang melayang di depan ku. Lalu aku menangis, terisak, histeris. Tapi tak bersuara juga tak bersua dengan pertolongan. Aku mengusap wajah ku yang tak basah oleh air mata. Justru hati ku yang kesakitan akibat kekeringan namun masih terus di peras oleh duka.
Kamu masih menggantung di depan ku, bibir mu biru, tubuh mu beku. Kaki mu dingin bak sikap mu pada ku, atau mungkin lebih. Sedetik kemudian badan mu kejang bergerak - gerak. Lalu aku goyangkan saja lebih keras. Siapa tahu kamu jatuh, tapi ternyata kamu malah, Mati.
Tali yang menjerat leher mu perlahan rapuh dan kamu akhirnya jatuh. Aku mengambil kursi, meletakkannya tepat di bawah badan mu. Sehingga saat kamu jatuh, kursi itu hancur tertimpa jasadmu. Biarlah kursi itu hancur, nanti akan ku jadikan kayu bakar. Tapi maaf sepertinya kamu akan tetap kedinginan.
Sudah malam, suara burung hantu terdengar tidak dari kejauhan. Jadi aku ambil bongkahan kayu kursi yang tertindih jasad mu. Lalu aku ambil bensin dari tangki mobil kita. Aku menyalakan api unggun dengan korek warna biru bertuliskan inisial mu dan mantan mu. Aku tertawa membacanya, "ironi ya." Pikirku, tapi jasad mu diam tidak lagi kejang.
Di dalam mobil aku menemukan kaleng minuman kita. Minuman ku habis ku tenggak. Minuman mu, baru kau sesap tapi mulut mu lantas berbusa. Aku lupa bahwa aku mengganti gula dengan sianida. Itu sebabnya, aku menggantung mu di tiang bangunan tua ini, mungkin saja racun itu akan keluar jika ku bebat leher mu dengan tambang.
Ahh malam dingin begini, biasanya kau akan pergi ke rumah mantan mu. Lalu bercengkrama hingga pagi tiba. Dan kamu tahu apa yang akan aku lakukan?. Memandangi kalian yang bergumul dalam selimut dari balik CCTV yang diam diam ku pasang. Tidak salah kan aku menyebutnya mantan mu? Toh tadi aku mengirimi dia pesan "Kita Putus" lewat ponsel mu. Tepat saat ku bilang "Kamu kenapa? Sebentar biar ku panggil ambulance."
Malam semakin dingin, aku membakar bongkahan kayu bekas kursi yang kau tiduri. Apinya berwarna merah dan biru, terasa hangat dan membuat ku berkeringat. Tapi hati ku masih dingin, masih kering, masih butuh kamu untuk menghangatkan. Jadi aku memotong tangan mu, lalu kaki mu, lama lama pretelan tubuhmu satu satu jadi bahan bakar api unggun ku.
Benar saja, hati ku mulai berdegub, lelehan air bermuara di hulu mata ku, sampai lama lama jatuh membelah pipi. Menggantung sejenak di dagu, lalu jatuh menimpa paha ku. Kini aku terduduk di tanah. Mengamati potongan tubuh mu yang berubah jadi abu. "Aaarrrrggggghhhhhhh" aku menjerit sekeras mungkin. Mencoba mencari alasan pada langit. Tentang bagaimana aku 'bermesraan' dengan mu hari ini. Aku mencari pembenaran tentang apa saja yang ku lakukan untuk mu hari ini.
Pada satu titik tatap ku pada bola mata mu yang terlepas dari tengkorak kepala. Aku menatapnya dalam, mencari jawaban dari pertanyaan yang tak pernah ku tanyakan. " Kenapa kamu tak pernah memilih ku menjadi pelipur penat mu menjadi pemilik nafas rindu mu. Kenapa harus dia yang justru menjadi pautan hati mu. Padahal disini ada aku yang mendamba mu dengan segala rasa. "
Fikiran ku melayang, terlontar pada satu kenangan. Kita duduk di rumah pohon yang ada di pekarangan rumah mu. Tempat kita menghabiskan waktu sejak balita dulu. Kamu mengenakan kaos putih dan celana pendek hitam. Sambil duduk bersila kamu mencurahkan kegalauan hati mu tentang kekasih mu yang sedang cemburu pada ku. Hingga akhirnya kita tak pernah terlihat bersama, bahkan meski kita tinggal dalam satu kompleks yang sama. Hari itu, aku cuma berkata satu hal, " Bahwa cemburu adalah senjata paling mematikan di dunia ini." Kenyataannya, kamu membuangku begitu saja, begitu kamu bersama dia yang bahkan tidak tahu jadwal makan siang mu.
Jika nanti kamu sudah sampai entah di surga atau neraka. Dan mungkin kamu bertanya, " Kenapa sahabat ku membunuhku?. " Tidak, aku tidak membunuh mu cinta ku. Aku hanya menggunakan rasa cemburu ku yang sudah menahun beranak pinak menggunung dan menyebar bagaikan virus ke setiap aliran darah ku. Sebagai senjata paling mematikan, tidak heran jika kemudian cemburu ku membunuh mu. Sampai jumpa di lain tempat, aku akan menyusul segera, setelah mantan kekasih mu mengisi liang lahat di sebelah mu. Sebab kau sangat mencintainya, aku akan buat kalian bersama dengan cara yang tak jaauh beda. Untuk itu, aku harus pulang sekarang, mencari pertolongan, mengabarkan bahwa kita menjadi korban penculikan.
Tenang saja, aku sudah siapkan semuanya. Termasuk siapa yang akan jadi dalang penculikan. Tidak lain adalah mantan kekasih ku. Yang pergi meninggalkan ku setelah mendengar ada dua garis merah pada satu alat uji yang ku rendam dalam urine. Gara gara kamu yang bercinta dengan wanita itu, aku oun mencari sembarang orang untuk melampiaskan cemburu ku. Tapi malah, lagi lagi aku ditinggalkan, bahkan hanya dijadikan mainan. Maka ini adalah pembenaran ku, bahwa aku tidak membunuh mu cinta ku, aku hanya cemburu. Sayangnya, ujung kata cemburu ku runcing menghujam denyut nadi mu. Maka maafkan aku, karena aku tidak berniat meminta maaf. Bahkan jika rencana ku gagal dan polisi memanggilku dengan sebutan pelaku. Dengan senang hati aku akan menghabiskan waktu di penjara, atau di tangan algojo. Sebab cinta tidak pernah salah dan cemburu ku punya anak panah.
Sampai jumpa cinta ku, maaf jika aku pencemburu. Sebab dirimu terlalu berarti untuk ku. Maka dari itu, tidak ada yang boleh melihat jasad mu, kematian mu, selain aku. Cukup aku.
Hmmmmmm
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus