seperti Milea, aku ingin bercerita tentang Dilan ku yang bernama Irul
Namanya
Ahmad Khoirul, lahir di Magelang pada tahun 1997, saat ini usianya sekitar
sembilan belas tahun. Dia biasa di panggil Irul oleh kawan karibnya, sementara
keluarganya memanggil Ahmad. Berharap dengan panggilan itu Ahmad Khoirul alias
Irul alias Ahmad bisa menjadi anak sholeh yang dibanggakan kedua orangtuanya.
Disini aku akan memanggilnya Irul saja, sesuai yang aku dengar dari
teman-teman.
Pertama
kali bertemu dengannya, di sebuah lapangan basket sekolah menengah pertama. Di
bawah terik matahari pagi menjelang siang. Dalam barisan anak-anak ingusan yang
baru masuk sekolah. Irul terlihat mencolok dibarisan belakang siswa putra ujung
kiri. Di sekolah kami, barisan putra dan putri di pisah, kelasnya juga begitu,
gedung sekolahnya juga begitu. Sebuah jalan desa membentang meghalangi gedung
sekolah putra dan putri.
Hanya
dalam beberapa kesempatan kami semua di satukan di sebuah lapangan bola atau
lapangan basket untuk upacara atau event tahunan sekolah. Kira-kira itu tahun
2009, kami anak-anak SMP masih belum mengenal teknologi bertukar pesan SMS.
Sebenarnya, kami belum punya ponsel waktu itu, hanya jika mendesak kami bisa
meminjam ponsel sekolah untuk menghubungi orangtua dengan biaya 500 perak per
SMS.
Tentu
saja kami jarang memakai fasilitas itu karena uang 500 perak masa itu bisa
mendapat sebungkus kolak pisang. Lumayan untuk mengganjal perut selama di
sekolah. Kembali pada topik utama. IRUL. Sebenarnya dia biasa saja, tidak
mencolok, hanya saja aku memang sudah mengincarnya. Jadilah hanya sosoknya yang
terlihat di barisan siswa putra. Selebihnya aku tidak mengenal mereka.
Aku
mengenal Irul dari bisik-bisik tetangga, alias rumor yang beredar diantara
teman-teman ku. Irul punya kakak perempuan yang bersekolah di tempat yang sama.
Namanya Riva atau aku biasa memanggilnya Mbak Riva. Dia juga murid baru tapi di
bangku sekolah menengah atas. Banyak yang bilang dia punya adik cowok yang
mukanya sangat mirip dengan Mbak Riva. Kulitnya putih bersih seperti cewek dan
dia berbicara sangat santun terhadap kakaknya. Jadilah dia sosok yang di
idam-idamkan anak perempuan angkatan ku. Tidak lain karena sikapnya dalam
memperlakukan kakaknya yang santun itulah yang mengambil hati kaum hawa.
Saking
banyaknya orang yang membicarakan tentang Irul, jadilah aku penasaran dengan
sosok asli si Irul. Sedikit demi sedikit aku gali informasi mengenai si Irul
dari menguping pembicaraan orang-orang. Sampai suatu hari aku bisa melihat
dengan mata kepala ku sendiri, sosok Irul yang memang putih bersih seperti cewek.
Ketika itu siang bolong saat aku pergi ke kantin depan sekolah. For your information aja, di sekolah ku
ada tiga kantin, satu di sekolah putri, satu di sekolah putra, dan satu lagi di
depan sekolah putri. Kantin itu biasanya digunakan murid putra dan putri untuk bertemu.
Dengan izin pihak sekolah tentunya.
Irul
duduk di depan warung makan Indomie
bersama dua rekan nya dan Mbak Riva. Entah bagaimana kebetulan siang itu aku
ingin makan Indomie. Jadilah setelah
aku mengantar teman ku belanja di mini market sekolah, kami pergi ke warung Indomie. Entah sengaja atau tidak
sengaja aku sudah lupa, yang pasti aku lewat di depannya. Berharap dia melihat
ku lalu jatuh cinta. Ahh dasar anak SMP, imajinasinya terlalu dangkal.
Sayangnya, aku hanya seperti lalat di tempat sampah, yang mana keberadaan dia
acuhkan bukan karena menarik. Melainkan sebab risih dan terganggu. Harapan
musnah, seolah keberutntungan yang tersuguhkan tak terjamah.
Keberuntungan
kedua datang menyapa kisah cinta monyet ku. Nadia ketua kelas tujuh D yang
tidak lain adalah kelas ku, juga punya saudara di bangku SMA. Kakak Nadia
namanya Mbak Ifa, dia sering main ke kelas kami saat istirahat. Terkadang Mbak
Ifa main ke kelas bersama Mbak Riva. Dari situlah aku tau kalau Mbak Ifa dan
Mbak Riva adalah teman satu kelas, bahkan teman akrab.
Sebuah
ide culas muncul di kepala ku, pertama aku akan mendekati Nadia untuk bisa akrab
dengan Mbak Ifa, lalu lama-lama akrab dengan Mbak Riva juga setelah itu dengan
mudah aku akan akrab dengan Irul. Jika saja Nadia, Mbak Ifa atau Mbak Riva
sedang membaca tulisan bodoh ini, sungguh aku tidak benar-benar licik. Aku
memang berharap untuk menjadi lebih dekat dengan Irul lewat kalian, tapi
sungguh mengenal kalian adalah salah satu kisah menarik dalam ingatan ku. Toh
ketika itu, aku tidak benar-benar tertarik dengan Irul. Aku hanya merasa
penasaran karena banyak sekali teman-teman ku yang membicarakan mu, dan mereka
semua cantik dan populer.
Nyatanya,
kedekatan ku dengan mereka ya hanya begitu-begitu saja tidak ada yang istimewa.
Semua angan ku untuk menjadi lebih dekat dengan Irul pun terhempas begitu saja.
Aku tidak terlalu kecewa, toh aku hanya penasaran, belum suka, belum cinta.
Akhirnya semua berjalan mengalir begitu saja. Dalam artian aku pesimis dengan
diriku sendiri, seperti dalam lirik lagu Rumor aku hanyalah Butiran Debu.
Tapi,
aku tidak begitu saja dengan dia, aku masih terus menghubungi nya ketika sedang
ada di rumah. Entah bagaimana aku bisa mendapatkan nomor teleponnya waktu itu.
Berbekal ponsel pinjaman dari ibu, aku suka mengiriminya SMS. Yahh, isinya
adalah kata-kata klise orang yang sedang pdkt, ‘lagi apa?’ ‘udah makan’ dan banyak lagi kata-kata nggak penting
lainnya. Asal kamu tahu saja, sangat susah kala itu membuat percakapan kami
bertahan lama. Rasanya dia sangat tidak tertarik untuk mengobrol dengan ku.
Tentu saja saat itu aku merasa sedih, harapan ku untuk dekat dengannya seolah
berjarak ribuan tahun cahaya.
Ada
sekali, Irul dan Mbak Riva mengadakan semacam acara gathering di rumah mereka. Menurut sumber gosip terpercaya, dana
untuk melaksanakan acara itu hasil dari tabungan Mbak Riva dan Irul. Air liur
ku seolah menetes karena ingin sekali hadir di acara itu, sekaligus kagum
dengan sosok Irul. Jaman sekarag mah jarang anak yang mau ngadain acara pakai
duit sendiri. Acara itu kira-kira sudah masuk bulan Ramadhan tahun 2010. Nanti
kamu tanya Irul aja tepatnya kapan, aku lupa.
Meski
hati ku bersikeras ingin datang ke acara itu, namun rasanya logika menghalangi
ku dengan berbagai alasan. Dari yang masuk akal hingga alasan konyol yang tak
terduga. Pertama, aku gak tahu rumah Mbak Riva, apalagi rumah Irul, tapi mereka
serumah sih hahahaha. Kedua, aku merasa canggung, sungkan dan malu itu untuk
datang kesana. Meskipun aku denger banyak temen cewek ku yang pergi ke acara
itu, sayang aku bukan salah satu dari mereka. Jadilah aku tidak hadir di acara
itu, aku hanya mendengar certianya dari mereka yang datang kesana. Bagaimana ya
ceritanya, ah aku sudah lupa.
Salah
satu sumber cerita ku tentang acara gathering
di rumah Irul adalah Putri. Dia teman satu angkatan ku di sekolah, tapi kami
beda kelas dan tidak pernah sekelas. Putri berasal dari Magelang, sama seperti
Irul. Kabarnya, Putri dekat dengan Irul, bahkan aku lihat sendiri kedekatan
Putri dengan Mbak Riva. Mereka terlihat serasi ketika bercanda bersama, entah
di kantin atau di jalan, mereka bertegur sapa juga bercanda. Jujur, aku cemburu
dengan kedekatan mereka, tapi aku tidak tahu berbuat apa atau bersikap
bagaimana.
Bahkan
terkadang, aku juga sengaja datang kepada Putri, sekedar bertaya tentang Irul.
Saat itu mungkin sudah beredar gosip bahwa aku suka dengan Irul, atau belum ya,
aku lupa. Jika sudah, aku tidak tahu itu gosip beredar darimana, atau aku tahu
tapi lupa. Aku tidak keberatan, karena mungkin memang benar begitu adanya.
Pastinya, aku suka dan sangat suka mendengar cerita tentang Irul. Jika baik aku
tuliskan di buku harian, sedang jika buruk aku jadikan alasan untuk mengirim
SMS padanya. Dengan susunan kalimat, ‘eh katanya kamu gini gini ya’, dan
terkadang di situ percakapan ku dengannya menjadi lebih panjang. Aku senang,
bahagia malah. Meskipun usia ku mungkin masih tigabelas atau empatbelas ketika
itu, dan belum mengerti tentang cinta, suka, dan apapun. Pokoknya aku suka
dengan semua perasaan ku padanya, aku suka dengan kisah ku dengannya. Sampai
sekarang, aku masih suka, masih cinta, padanya, pada kita, kisah kita.
Selain
Putri yang bercerita bagaimana obrolan serunya dengan Irul, atau bagaimana Irul
suka berkata gombal dengannya. Ada juga Rina, dia juga sama, teman satu angkatan
tapi beda kelas dan tidak pernah satu kelas. Alhamdulillah, aku selalu berada
di kelas unggulan, dan mereka di kelas biasa. Pelajaran di kelas ku beberapa
memakai sistem bilingual, sementara kelas mereka memakai bahasa Indonesia semi
formal. Jadi, meskipun aku kalah cantik, kalah populer dari mereka, tapi aku tidak kalah pandai kok dengan
mereka. Bukannya sombong, itu adalah pembelaan, sebab setidaknya masih ada yang
bisa di banggakan dalam diriku.
Rina
ini ternyata juga naksir sama Irul, dia juga tahu kalau aku naksir Irul. Aku
pikir dia lebih deket ke Irul, entah bagaimana dulu aku bisa berpikir begitu.
Pastinya, Rina meskipun tidak terlihat lebih menarik tapi dia lebih percaya
diri dalam mendekati Irul. Kami sering bertukar cerita tentang Irul, belakangan
aku merasa bodoh, sama sama naksir kok bertukar informasi, ahahaha. Harusnya kan
kita sama-sama bersaing bukan kerjasama. Emangnya kalau menang Irul bisa di
bagi dua, ahh konyol. Belakangan aku tahu (dari Irul), kalau ternyata Rina
pernah nembak (minta Irul jadi pacar Rina). Untungnya Irul nolak, coba kalau di terima, remuk redam
lah aku.
Satu
kisah menarik sebuah bintang jatuh di antara kisah kami, entah bagaimana
pokoknya, melalui guru TIK ku yang hitam manis cantik rupawan kecil mungil
menggoda. Aku menitipkan sebuah buku berisi karangan cerpen ku, aku tulis
khusus untuk dibaca Irul. Sengaja aku buat ketika Irul bilang mau baca cerpen
buatan ku. Judulnya antara cinta dan pertemanan atau apa ya aku sudah lupa.
Intinya, jalan ceritanya sedikit aku buat mirip aku dengan dia. Istilah jaman
sekarangnya, ngode, baragkali
gara-gara baca itu, Irul sadar dia naksir aku, ehh aku deng yang naksir dia.
Sayang, bukunya kembali tak berbentuk, penuh dengan coretan dan beberapa lembar
kertasnya sobek. Di halaman belakang, ada permintaan maaf dari Irul, karena
bukunya juga dibaca teman-temannya.
Huft,
rul Irul, seandainya kamu tahu bagaimana hati ku berlonjak kegirangan,
ketakutan, pokoknya absurd.
Membayangkan kamu menerima bukunya, membayangkan kamu membaca bukunya, ahh
pokoknya kalau tentang kamu itu mudah membuat aku gila. Ngomong-ngomong aku
juga cerita soal ini ke Rina, dan yah dia meyakinkan ku bahwa tulisan di halam
belakang itu tulisan mu. Bodohnya, aku mempercayai Rina, pokoknya yang
bersangkutan dengan kamu, aku percaya aja. Modus lain yang pernah aku coba adalah,
pura-pura bilang ke Mbak Riva mau pinjem sarung Irul. Alasannya sarung Irul
bagus, dan sampai sekarang itu gagal. Entah itu sarung Irul atau sarung
pinjeman, aku tak tahu dan tak berhasil tahu. Pasalnya, Irul juga lupa dengan
sarung yang aku bicarakan.
Ada
juga Dian, yang mengaku di panggil Princess oleh Irul, saat aku konfirmasi,
Irul mengatakan bahwa anak perempuan itu ternyata suka bohong. Aku syok,
bingung, mau percaya yang mana, akhirnya aku tidak mempercaya keduanya. Di satu
sisi Dian memaksakan bahwa hal itu benar adanya, sementara Irul bersikeras
bahwa itu bohong. Hmmm, yasudah, biarkan itu menjadi urusan mereka berdua. Toh
mereka belum pacaran, aku msih punya peluang 100:1 untuk menjadi kekasih Irul.
Ehh sejak kapan aku mau jadi pacar Irul? Aku memang suka sama Irul, tapi jadi
pacarnya, hmm i don’t think so.
Satu
lagi cewek yang berkaitan dengan prince
charming ku si Irul, Laili, nama cewek itu Laili. Laili berasal dari
Magelang, sama seperti Irul, Cuma kalau rumah Irul ada di lereng Candi Borobudur,
Laili tinggal di lereng Gunung Andong. Dibanding Putri, Laili lebih putih mulus
sama seperti Irul. Dan entah bagaimana banyak teman-teman yang menjodohkan
Laili dengan Irul, katanya mereka cocok dan serasi. Iya sih, mereka sama-sama
putih, bersih, mulus , serasi gitulah lah. Kayak Pangeran William dan Putri
Kate Midleton lah pokoknya. Dari Irul sendiri aku tahu kalau mereka juga sempat
bertukar pesan singkat, ya sewajarny teman (kata Irul sih gitu, tapi menurut
ku, gimanapun isi pesan singkat mereka,
aku tetap cemburu).
Sejujurnya,
kisah tentang Irul dan beberapa teman wanita nya ingin aku cukupkan sebatas itu
saja. Tapi, siang ini saat aku dan Irul makan siang bersama, dia menambah
wawasan ku tentang salah seorang wanita lagi. Novi, salah satu teman wanita
yang aku cukup mengenalnya. Kami pernah berada dalam satu kelompok, sayang aku
tidak terlalu dekat dengannya. Sehingga aku tidak tahu bahwa ada secuil kisah
antara dia dan Irul-ku (ehh waktu itu belum jadi Irul ku). Siang tadi aku tnya
sama Irul, siapa saja teman wanita satu angkatan yang dia ingat. Anehnya dia
menyebut nama Novi, satu orang yang tidak aku duga akan disebutkan Irul. Kata
Irul, mereka sempat menjadi teman bertukar pesan singkat, aku tidak tahu sejauh
mana, dan jujur tidak mau tahu, karena takut cemburu.
Jaman
SMP dulu, aku mengenal Novi sebagai sosok yang periang dan sedikit tomboy.
Bukan tomboy juga sih, hanya tidak feminim dan hiperaktif. Novi sosok yang
mudah akrab, atau bahkan ‘sok’ akrab
dengan kakak kelas (itu pandangan ku, kalau kamu tidak setuju ya boleh saja).
Terkadang, Novi juga bersikap kekanak-kanakan, tapi menurut ku (lagi) itu masih
wajar, kan kit masih SMP, transisi dari anak SD. Jadi, simbol kedekatan Novi
dan Mbak Riva adalah, sikap Novi yang ‘sok’
akrab. Ingatan ku tentang Novi da Mbak Riva juga Irul hanya sebatas itu,
ingatan lainnya tentang Novi, bukanlah sesuatu yang patut untuk aku tulis
disini.
Sampai
detik ini, Irul dan Novi masih berhubungan, bukan hubungan pertemanan ataupun
mantan yang masih kirim kabar. Melainkan, mereka saling ‘follow’ di media sosial. Dengan begitu aku menyimpulkan, mungkin
mereka cukup dekat untuk sekedar sebatas ‘Teman’. Aku ingat, Irul pernah
bilang, alasan ia mem-follow Novi
karena Novi adalah pacar dari temannya. Entah benar atau tidak, aku tidak tahu,
toh itu hak Irul berteman dengan siapapun, asal teman hidupnya tetap aku, aku
tidak masalah. Ya meskipun ada sebersit rasa cemburu dalam hatiku, tapi itu
tidak lebih hanya karena aku takut kehilangan Irul.
Hubungan
aku dengan Irul selama tiga tahun tidak mengalami peningkatan, hanya sebatas
aku bertanya hal-hal klise dan dia menjawab sesingkat-singkatnya. Pernah
sekali, Irul mengatakan aku seperti polisi karena banyak bertanya. Padahal, aku
hanya ingin ngobrol dengannya. Sejak saat itu, aku mulai memilah setiap hal
yang ingin au tanyakan. Dengan itu, intensitas percakapan kami berkurang. Sedih
sih, karena aku merasa gagal untuk mendekati Irul. Perlahan aku mencoba
‘realistis’, alias tidak terlalu berharap untuk bisa dekat dengan Irul.
Singkat
cerita, akhirnya aku berlabuh di hati yang lain, namanya Sahid, dia temannya
Irul, satu angkatan. Tentang Sahid aku tidak akan bercerita banyak karena ini
kisah tentang Irul bukan Sahid. Selama berpacaran dengan Sahid, aku sempat lost contact dengan Irul karena ia
melanjutkan SMA di Malang, sementara aku pulang ke kampung. Aku dan Sahid
menjalani hubungan jarak jauh antar kota. Masa-masa dengannya aku memiliki
waktu berjam-jam hanya untuk mengobrol, dan bahagianya dia yang selalu mencari
topik. Berbeda dengan percakapan ku dengan Irul yang singkat, padat, dan
membosankan. Percakapan ku dengan Sahid penuh warna dan panjang lebar.
Malam
tahun baru 2013, aku dan Sahid putus, entah karena apa, yang pasti kalimat yang
diucapak Sahid adalah seperti ini, ‘Yasudah, daripada aku menyakiti mu terus.
Kita putus saja’. Meskipun hubungan kami sebagai sepasang kekasih berakhir,
tapi hubungan kami sebagai teman akrab berlanjut. Jika dulu aku memanggilnya
‘Mbeb’, sekarang aku memanggilnya ‘Kakak’, bukan karena dia lebih tua. Hanya
untuk menjaga hubungan kami tetap akrab dan tidak canggung untuk bertegur sapa.
Dua bulan kemudian, aku kembali menjalin kasih dengan teman sekelas ku di SMA.
Namanya Fahri, kita awalnya dekat sebagai teman curhat, lalu lama-lama
terpikat, dan jadilah semakin dekat.
Setelah
naik ke bangku kelas dua SMA, aku kembali mendapatkan kontak Irul di jejaring
media sosial BBM. Kalau tidak salah aku dapat dari Facebook Irul. Sesekali aku
masih menghubungi Irul, sekedar rindu atau ingin tahu kabar Irul. Aku mendapat
topik baru untuk dibahas dengan Irul. Arema. Sebuah klub sepak bola daerah,
Arek Malang, ya klub sepakbola daerah Malang. Setiap kali ada pertandingan bola
Arema, aku selalu menghubungi Irul. Sesekali Irul yang memberitahuku tentang
adanya pertandingan bola dimana Arema ikut bertanding. Sejak itu Arema menjadi
sebuah memori khusus, tentang aku dan Irul (bagiku sih).
Merasa
ada peluang untuk semakin dekat dengan Irul, aku mulai mencari tahu lebih bayak
tentang sepakbola. Sebatas sepakbola Indonesia saja, sebab aku ingin bersikap
nasionalis dengan mencintai hal-hal yang berbau Indonesia. Meskpiun kala itu
aku berstatus sebagai kekasih Fahri, dan alhamdulilah aku bahagia, tapi aku
tdak perna kehilanga ketertarikan ku terhadap Irul. Bukan, Fahri bukan
pelarian, aku benar-benar menyayangi Fahri ketika masih berpacaran dengannya.
Tapi ya bagaimana, aku juga masih tertarik dengan hal-hal yang berbau Irul.
Termasuk ketika dia memajang Display
Picture seorang wanita berjilbab. Kenapa bukan aku saja? Kenapa aku tidak
bisa mendekatinya? Kenapa dia tidak pernah menatap ke arah ku?. Tapi yasudah,
aku sudah punya Fahri kok yang jelas-jelas selalu berusaha membahagiakan ku.
Lulus
dari SMA, aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan ku dengan Fahri, mungkin
karena aku sedang bosan. Aku merasa benar-benar malas untuk membalas pesan
singkatnya, malas untuk ngobrol dengannya. Apalagi dia itu dulu orang sibuk,
aku sering ditinggal ini dan itu, dasarnya dia memang orang yang suka kerja.
Apa-apa di lakukan, hingga terkadang aku merasa terabaikan. Di sela-sela rasa
terabaikan itu, lalu hadirnya percakapan aku dengan Irul tentang bola kadang
menjadi kebahagiaan tersendiri.
Beberapa
bulan kemudian, aku merantau keluar kota untuk melanjutkan studi ku di bangku
kuliah. Dalam masa-masa awal kuliah, di bulan Agustus kira-kira, aku mendengar
Fahri sudah memiliki kekasih baru. Adik kelas kami di SMA yang sejak MOS sudah
naksir Fahri. Jujur, aku hancur ketika itu, selama tiga hari aku tidak bisa
tidur dan menangis di malam hari, tapi aku tidak tahu harus apa, aku tida punya
tempat berbagi. Akhirnya, aku bertukar pesan berisi curhat dan linangan air
mata dengan teman SMA ku. Semua rasa gundah, terluka, dan kecewa aku limpahkan.
Beberapa barang pemberian Fahri aku buang ke tampat sampah. Termasuk sebuah dream catcher yang ia buat sendiri
sebagai kado Anniversary kedua kami.
Sejak
hari itu, jujur aku entah bagaimana jadi berantakan. Tapi teman-teman kuliah ku
tidak ada yang tahu. Aku menutupi semua rasa berduka itu dengan berbagai
candaan. Niatnya ingin menghibur diri sendiri, sayang, malah sama sekali tidak
terhibur. Teman-teman kuliah ku tidak memahami kondisi batin ku yang butuh
disemangati. Mereka hanya tahu bahwa yang aku ungkapkan hanya candaan.
Akhirnya, aku punya julukan baru, ‘JONES’ (Jomblo Ngenes).
Tiga
bulan selanjutnya, Tuhan seperti ingin menghiburku, dia mendatangkan seseorang
yang sudah lama aku ingini. Irul. Bulan desember tahun 2015, aku memiliki
saat-saat dimana aku an Irul punya percakapan panjang, hanya di BBM, lantas
lanjut ke WA. Entah bagaimana, kami lantas semakin dekat, obrolan kami menjadi
panjang lebar dan megasyikkan. Akhirnya, aku dan Irul memutuskan untuk bertemu
di sebuah pasar malam di kota tempat ku kuliah. Kala itu, Irul masih di Malang,
kelas 3 SMA, Irul pernah pindah sekolah jadi harus mengulang lagi satu tahun. Sejak
itu, panggilan aku kamu jadi pake sayang-sayang an, hahahaha. Ada satu
percakapan yang menurut aku menjadi awal bagi hubungan aku dengan Irul.
Irul :
Kamu Bahagia Dengan Aku?
Aku :
Bahagia
Aku : Kamu?
Irul :
Bahagia
Aku dan Irul : Alhamdulilah...
Aku
bahagia dengan hubungan ku dengan Irul, seolah dahaga yang kehausan akhirnya
menemukan muara air untuk minum. Aku mencintainya. Meskipun tidak pernah ada
kesepakatan bahwa kami pacara tapi, aku ‘ana ilaiki’ dan Irul ‘ana ilaika’.
Artinya sama, ‘aku padamu’, hanya yang stau untuk laki-laki dan satunya
sebaliknya. Setelah saling panggil ‘sayang’ dari bulan Desember, Irul
memutuskan hubungan kami pada bulan April.
Irul :
Putus
Aku :
Maksudnya? Kamu minta putus?
Irul : Iya
Aku :
Kenapa?
Irul : Aku
ada yang lain.
Aku : Oke
Oke?
Jawaban macam apa itu? bodoh!. Kalian jangan berani-berani tanya, bagaimana
perasaan ku. Remuk. Diputuskan karena wanita lain, ahh rasanya ingin aku amuk
wanita itu, kalau perlu aku mutilasi saja. Bodohnya, aku hanya menjawab oke.
Bayangkan aku diputuskan oleh seseorang yang aku idamkan sejak SMP, hanya
karena wanita lain. Padahal paginya, aku ada ujian lisan yang mana aku belum
hafal sedikitpun. Beruntung, di tengah suasana hati yang tidak lagi mampu
tergambarkan, otak ku yang cara kerjanya menjadi turut berantakan, masih mampu
menghafalkan materi ujian lisan.
Strong!
I need no i must be strong!. Sekedar info, itu adalah pengalaman pertama ku di
selingkuhi, dan semoga yang terakhir. Waktu itu, aku sama sekali gak punya
teman untuk tempat bercerita. Entah bagaimana tidak ada teman kuliah yang cocok
untuk menjadi tempat curhat masalah percintaan. Sekali lagi, aku menutupi semua
luka hatiku dengan canda tawa. Di depan teman ku aku hanyalah seseorang yang
suka bercanda tanpa beban hidup yang berarti. Padaha hatiku rek, hancur lebur,
ditinggal lelaki. Bagaimanapun aku tetap belajar untuk tersenyum, waktu sama
temen aku tersenyum seriang-riangnya, sementara kala sendiri nangis sepuas-puasnya.
Nama
cewek yang berhasil merampas Irul-ku adalah Isna, teman sekelas Irul di Malang.
Sedih, aku stalking Facebook Isna, cantik rek, pantas kalau Irul berpaling. Parahnya,
Irul masih menghubungi aku, dan malah curhat perihal hubungannya dengan Isna. Huft,
dadaku rasanya sesak, seperti ada sesuatu yang terbakar di dalamnya. Tuhan, aku
merasa ini terlalu berat untuk aku tanggung sendiri. Duh jadi pengen nangis
kalau mengenang masa-masa itu.
Aku
memutuskan untuk tetap menjalani hidup dengan sisa-sisai rasa sakit yang ada. Pelan-pelan
aja, dijalanin sambil ketawa bareng temen-temen. Biar saja julukan ‘Jomblo
Ketikung’ dianggap hanya guyonan, padahal kisah nyata. Biar saja mereka tidak
tahu kisah duka ku yang sebenarnya, asal masih bisa tertawa bersama. Pelan-pelan
menat kembali hati ku yang pork poranda. Perlahan-lahan, mengukir lagi senyum
yng tertawan kata palsu. Pasti bisa dan harus bisa, mungkin belum rezeki ku
menjadi teman hidup Irul. Dari Irul dan Isna aku belajar tentang merelakan. Dan
mulai sejak itu, ku sensitif dengan semua cewek yang bernama Isna. Jangan mentang-mentang
namanya punya arti dua, lantas dia jadi wanita kedua, pihak ketiga, perusak
hubungan orang.
Berjalan
selama beberapa minggu, Irul menghubungi ku, dia bilang dia akan ke kota. Irul mendaftar
di Universitas yang sama dengan ku, jadi dia akan melaksanakan ujian masuk. Waktu
itu aku bingung, Isna kan di Malang kenapa dia gak daftar di Malang aja?. Kenpa
Irul harus kuliah disini dan mengganggu hari-hari move on ku. Sekuat tenaga aku mencoba untuk tidak memperdulikan
Irul dan semua omongannya. Meskipun terkadang aku kepo, ingin tahu Irul sedang,
apa dimana sama siapa. Ahh paling sama Isna lalu ke kepo an ku lenyap berganti
dengan benci dan risih. Sebenarnya, itu salah Irul, dia yang mendekati Isna,
dia juga yang meminta Isna untuk menjadi kekasihnya. Padahal sejak itu Irul
belum pernah meminta ku jadi kekasihnya. Jelas, dengan alasan apapun, sampai
saat ini aku akan cemburu pada Isna (sangat sangat cemburu). Karena Isna adalah
pacar pertama Irul, karena Isna telah mampu merebut Irul dariku. Karena Isna mampu
membuat Irul tak ingin melepasnya, dan lebih memilih melepasku.
Mungkin
saat itu, Isna bagaikan monster mengerikan bagiku. Isna memakan semua cinta
Irul padaku. Bahkan Isna adalah nenek sihir jahat, ia melenyapkan Irul dari
tangan ku. Tidakkah dia tahu, aku sudah menunggu masa-masa untuk bisa mengobrol
panjag lebar dengan Irul sejak SMP. Hampir enam tahun aku berharap Irul untuk
melihat ke arah ku. Baru berapa bulan aku di atas awan, dan hanya hitungan
hari, Isna berhasil merebut Irul. Menghempaskan ku kembali ke bumi. Aku tahu
ini salah Irul jika akhirnya ia berselingkuh, tapi tetap aku benci Isna, sangat
amat benci. Karena kau cantik dan menarik, dan terutama karena kau mengambil
Irul ku. Mungkin suatu saat, akan muncul karya ku ‘Isna si wanita kedua’.
Hari
ujian tiba, Irul benar datang ke kota ku, dia datang bersama salah seorang
temannya dari Malang. Jantung ku berdegub ingin bertemu, tapi logika berkata ‘campaka’,
Irul sudah membuang mu. Akhirnya logika ku mengalah, bahkan turut membantu hati
ku untuk bertemu dengan Irul-ku ah bukan Irul-nya Isna. Dengan sengaja, aku
memilih berjualan es teh dan beberapa makanan ringan di fakultaas tempat Irul
melakukan ujian masuk. Kebetulan UKM yang aku ikuti sedang membutuhkan dana,
jadi kami memutuskan jualan saat ujian masuk. Lumayan untu menambah pemasukan
dana. Naas modusku gagal, aku tidak berhasil bertemu Irul di fakultas. Saat aku
tengah menyerah, berjalan pulang ke kantor UKM, aku bertemu dengan Irul. Dia dan
temannya tengah duduk di pinggir jalan. Kami saing tatap tanpa satu kata yang
terungkap. Aku ragu untuk bertegur sapa jadi aku lewati begitu saja. Sampai di
kantor, aku tak henti memikirkannya.
Di tengah
lamunan, kantor mendadak becek karena es batu yang mencair. Sebuh ide muncul di
kepala ku, aku pura-pura mencari kain pel di luar kantor, hanya untuk melihat
Irul yang duduk tak jauh dari kantor. Tuhan, aku ingin Irul ku. Tidak, aku
tidak boleh, Irul sudah memilih Isna. Aku memutuskan kembali ke kantor dan
engatakan tidak menemukan kain pel. Padhal aku sama sekali tidak mencari. Bagaimana
aku akan menemukan kain pel jika yang ku tatap hanyalah Irul. Dia bukan kain
pel, dia pacarnya Isna yag diam-diam masih aku idamkan.
Lepas
hari pertama ujian masuk, sebenarnya aku berjanji untuk bertemu dengannya, tapi
gagal. Karena aku harus segera pergi ke tempat acara aqiqah saudara ku, tepat
saat Irul baru selesai mengerjakan ujian. Sebenarnya, aku sengaja lewat jalan
memutar, dan aku berhasil melihat Irul. Dia duduk di sekitar tempat parkir,
tapi aku diam saja, hanya memandang punggungnya, sampai akhirnya dia pergi,
lalu aku pergi.
Hari
berikutnya, kami bertemu, sore hari di selasar masjid kampus, kami duduk di
anak tangga. Mengobrol tanpa saling memandang, bukan karena aku benci, tapi
sulit mengendalikan kondisi hati. Dan disana, kala senja tengah merayap dari
peraduan, dia mengatakan ‘aku sayang chika’. Tidak, Irul tidak mengatakannya
padaku, Irul mengatakannya pada Isna. Jadi, begini kronologinya,
Isna : Kamu
sayang chika gak?
Irul :
Sayang
Isna :
Yaudah kamu balik aja sama chika.
Hmm,
ku kaget kenapa Irul bilang begitu, sebab Irul juga pernah mengatakan hal yang
sama tentang Isna. Bukan pada ku juga,
tapi pada kakaknya Isna, karena hubungan mereka, entah bagaimana tidak di
restui. Aku lupa bagaimana percakapan mereka, yang pasti Irul pernah mengirm screenshot percakapannya pada ku. Pada malam
hari dimana dada ku mendadak panas dan sesak. Dasar Irul bodoh! Nyakitin kok
bertubi-tubi, gak capek apa. kalau mau selingkuh yasudah selingkuh aja, jangan cawe-cawe (menghubungi) aku lagi. Memangnya
aku ingus yang bisa kau tarik ulur lalu di buang sembarangan?.
Pokoknya,
semenjak itu, hubungan kita membaik. Benteng pertahanan ku perlahan terkikis,
aku mulai membuka diri lagi pada Irul. Bulan Juni, Irul dan Isna putus, dan
hubungan ku dengan Irul membaik, secara signifikan. Ehh tapi mungkin aku salah,
kalau kalian kepo tentang hubungan Isna dan Irul, hubungi saja langsung mereka.
Irul ada disini bersama ku, sementara Isna ada di Malang, kuliah jurusan bahasa
asing di Universitas ternama di Malang.
Setelah
kembali bersama, bukan mudah untuk ku menjalani hari-hari bersama setelah putus
karena hal yang serius. Tapi, fatma (teman SMA ku) pernah berkata, memperbaiki
yang pernah ada, akan jauh lebih mudah dibanding memulai yang baru. Berbekal itu,
aku merangkak bersama Irul, memulai hari baru, sebagai aku dan Irul yang baru.
Kami
seolah kembali menjalani fase-fase perkenalan lagi, untuk pertama kalinya, kami
menjalani hubungan jarak dekat. Beberapa hal menjadi semakin rumit, sementara
hal lain berjalan indah, seperti jarak yang tak lagi berarti. Bisa ketemu kapan
saja, pergi kemana saja, semau kita asal bersama. Sementara hal yang rumit
adalah kebiasaan-kebiasaan baru yang kita belum tahu. Putus nyambung memang
hubungan kami akhirnya. Begitu juga dengan pertengkaran den perdebatan, hingga
sesekali ada kata-kata kasar yang keluar. Sempat ingin menyerah, memutuskan
untuk pergi, tapi lantas kembali. Hati ini seolah tahu kemana tempatnya berada.
Detik
saat aku memberanikan diri menulis kisah ini, tak lain hanya karena, aku
sungguh bersyukur masih bisa menggandeng tangan Irul. Masih berlebel sebagai
sosok istimewa untuk Irul. Hingga detik aku menyelesaikan tulisan ini, aku
masih sangat menyayangi Irul, dan masih ingin untuk terus menyayangi nya,
menggandeng nya, menyebutnya sebagai lelaki ku.
Di akhir
tulisan ini, aku ingin mengatakan pada Irul, aku ingin menjadkan mu artner
berjuang ku. Mengajak mu mengelilingi setiap jengkal mimpi ku. Berbagi manis
getirnya suaratan takdir. Mengukir kisah cinta kita, dalam sebendel buku nikah
berlebel ‘Halal’. Untuk mu, Ahmad Khoirul Putra-nya Bu Umi, maukah kau menjadi
imam ku, suami ku, teman hidup ku, partner kerja ku, dari semenjak di dunia
hingga kelak di surga. Ijinkan aku mencecap manisnya janji pernikahan, membangun
istana surga dari cicilan rumah tangga sakinah, mawadah di dunia.
Sekian, dan terima kasih
Untuk Irul
Untuk Bu Umi yang melahirkan Irul
Untuk Mbak Riva yang sudah menyayangi Irul
Untuk Isna yang mengembalikan Irul
Untuk kalian yang sudah mau membaca
Sampai jumpa....
Komentar
Posting Komentar