Hari ini, potret Amanda di hari pernikahannya yang
tragis muncul di halaman depan surat kabar nasional. Berita itu muncul setelah
selama setahun penuh sang reporter meminta pihak keluarga untuk mengijinkan
peluncuran berita drama-sarkatis tadi. Dalam hitungan jam, kisah tentang
‘Amanda gadis yang terjebak di gaun pengantin selama 20 tahun’ menjadi viral
dan hangat diperbincangkan.
Sabtu
20 juli 1995, seorang gadis remaja berusia duapuluh dua tahun telah menjelma
menjadi sesosok perempuan dewasa yang sangat anggun. Dengan balutan ballgown putih yang elegan, Amanda
pantas menyandang jabatan pengantin wanita tercantik pada masanya.
Suara
pembawa acara terdengar tengah memanggil pengantin pria untuk menuju ke lokasi
pernikahan. Jantung Amanda berdegup semakin kencang menantikan langkah
pasangannya masuk ke dalam gedung. Lima menit berlalu tangan Amanda basah
dengan keringat. Calon suaminya masih belum memasuki gedung acara. Sepuluh
menit selanjutnya, panitia mengantarkan Amanda untuk duduk terlebih dahulu. Hingga
satu jam berlalu, panitia akhirnya mengakhiri acara dan mempersilahkan tamu
untuk meninggalkan lokasi.
Sabtu
25 juli 1995, orang-orang silih berganti menyampaikan bela sungkawa. Mereka
menepuk bahu Amanda dan menghiburnya dengan beberapa kalimat motivasi. Sebagian
kecil masih tinggal dan memberikan pelukan juga pundak untuk bersandar. Satu
jam yang lalu, Arya kakak Amanda mengenggam tangan Amanda, matanya tampak
berkaca-kaca menatap Amanda. Bibirnya bergerak-gerak seolah ingin mengatakan
sesuatu namun tak bisa. Air mata Amanda menetes, lalu menderas dalam pelukan
Arya. Tidak perlu satu kata pun untuk menjelaskan apa yang terjadi. Jelas.
Calon suami Amanda telah melarikan diri sejak hari pernikahan mereka.
Terhitung
dari hari pernikahannya di tanggal 20 Juli 1995 ataupun hari resepsinya di
tanggal 25 Juli 1995, Amanda tak pernah melepas baju pengantinnya. Ketika malam
datang Amanda sibuk memandang bulan, membayangkan pengantin prianya datang. Di
siang hari, Amanda duduk di depan pintu, atau mengintip dari balik jendela, menanti pengantinnya kembali. Satu minggu
berlalu, Amanda sama sekali tak melepaskan baju pengantinnya. Dua minggu
berjalan, Arya dan anggota keluarga lainnya membujuk Amanda untuk menanggalkan
baju pengantinnya. Tidak ada jawaban apapun untuk bujukan Arya dan keluarganya,
Amanda hanya menggeleng pelan.
Wajah
Amanda pucat, bibirnya biru, matanya sayu dan di kelopak matanya berwarna
kehitam-hitaman. Pipi Amanda tampak semakin tirus, bagaimana tidak, setiap hari
Amanda hanya menelan paling banyak dua sendok bubur dan setengah gelas air
putih. Masuk pada minggu ketiga, Amanda ditemukan pingsan di pinggir jendela, mulutnya
mengeluarkan cairan seperti muntahan bubur. Pada saat itulah akhirnya Amanda
melepas gaun pengantinnya, bukan Amanda yang melepasnya, tapi suster di rumah
sakit yang menggantikan gaun Amanda dengan baju pasien rumah sakit.
Selama
tiga hari Amanda terbaring di dipan Rumah Sakit tanpa pernah membuka mata.
Setiap pagi dan sore hari, suster menyuntikkan vitamin dan beberapa cairan
kimia lainnya lewat infus. Malam ke-empat Amanda di rumah sakit, matanya mulai
terbuka. Tangannya menggapai jemari Arya yang tertidur di samping ranjangnya.
Sentuhan itu membuat Arya terlonjak dari tidurnya karena terkejut.
“Kamu sudah bangun Amanda? Apa kau baik-baik saja?.”
Amanda
diam, tangannya meraba bagian dada, lalu perutnya.
“Dimana gaun pengantin ku?.”
Mata
lelah Amanda menatap pilu kedua manik mata milik kakaknya.
“Gaun mu sedang di cuci. Mama menyimpannya di
lemari.”
Mata
lelah Amanda masih menatap manik mata milik kakaknya, namun kini ditambah
dangan linangan air mata yang membelah pipi Amanda. Jika saja kita menatap pada
ekspresi wajah Amanda. Maka akan terlihat betul seolah hati Amanda benar-benar
tengah hancur.
“Aku harus memakainya kak. Aku harus memakainya,
jadi seketika dia datang kita bisa langsung menikah. Aku harus memakainya kak.”
Tidak
ada yang lebih terluka di ruangan itu selain Arya, tangisnya ikut pecah melihat
adik kesayangannya hancur. Arya merengkuh Amanda ke dalam pelukannya. Mereka
berdua hanyut dalam air mata yang kian menderas. Jemari Amanda bahkan erat
menggenggam lengan Arya. Mereka terlihat tengah berbagi beban yang terasa amat
berat jika mereka pikul sendirian.
“Tolong ambilkan gaun ku kak, aku harus memakainya.”
“Dia tak akan kembali Amanda. Dia sudah pergi.”
“Tidak kak dia pasti kembali. Bukankah kakak yang
mengenal kan aku padanya. Kakak bilang dia orang yang baik, dia akan menjadi
pengganti kakak untuk menjaga ku.”
Suara
parau Amanda terdengar memilukan. Tangan Amanda mengepal memukul dada Arya yang
masih mendekap Amanda, bahkan dekapan Arya kian kuat.
“Maafkan aku Amanda. Tapi dia sudah pergi
mengkhianati kita semua.”
Hanya
berlangsung selama satu minggu, Arya dan keluargnya mampu melepaskan Amanda dari
gaun pengantin. Amanda mengamuk melepas infusnya secara paksa, membuang semua
benda yang bisa ia jangkau. Amanda juga melempari semua orang yang
mendekatinya. Hingga akhirnya Arya berhasil mendekap Amanda dengan kuat, dua
staff rumah sakit turut membantu memegangi lengan dan kaki Amanda setelahnya.
Seorang dokter dan dua suster lalu menyuntikkan obat penenang di lengan kanan
Amanda. Empat jam berikutnya Amanda pulas tertidur meringkuk di ranjang rumah
sakit.
©
Seluruh
penghuni rumah sakit tengah gempar. Duapuluh menit yang lalu, seorang
pengunjung dikejutkan dengan kain yang menjulur dari sebuah jendela dikamar
yang terletak di lantai tiga. Seorang wanita tampak menggantung diantara kain
selimut dan sprei yang disambung
menjadi satu. Tidak, Amanda tidak bunuh diri, dia membuat kain sprei dan selimut yang ia sambung
sebagai ayunan. Kakinya mengayun dengan menendang ke tembok bagian luar gedung
rumah sakit. Mulutnya menyenandungkan lagu-lagu pernikahan kesukaannya.
Tatapannya kosong memandang langit biru. Rambutnya yang terurai berkibar
tertiup angin.
Tim
SAR dan pemadam kebakaran dikerahkan untuk menyelamatkan Amanda. Di depan
gedung, tampak Arya yang terlihat depresi, putus asa, dan kehilangan harapan.
Rasa bersalah atas perginya calon pengantin Amanda terus menggelayut di
hatinya. Bagaimana mungkin sahabatnya semenjak SMA yang Arya daulat sebagai
calon pengantin Amanda. Justru melarikan diri dihari pernikahan mereka. Sahabat
yang dulu begitu Arya banggakan kini hilang bagaikan tenggelam di kerak bumi.
Tidak ada satupun yang melihat sahabat Arya itu semenjak ia menghilang di hari
pernikahan sahabat Arya dan Amanda.
Sekitar
tigapuluh menit berjalan saat akhirnya Amanda berhasil di amankan. Keluarga
Amanda tak henti memeluk Amanda sambil mengucapkan syukur. Akhirnya, Arya dan
keluarganya membiarkan Amanda kembali memakai baju pengantinnya dan membawanya
pulang ke rumah. Sesuai dengan anjuran psikiater, mereka tidak lagi memberikan
Amanda bubur dan vitamin atau obat-obat an lainnya. Amanda memakan makananyang
biasa tersaji di pesta pernikahan.
Selama
duapuluh tahun, Amanda selalu berpikir bahwa esok adalah hari pernikahannya.
Silih berganti keluarga datang ke kamarnya, mereka berpakaian seperti orang
yang akan menghadiri pesta, membawakan kado dan makanan pesta. Setiap satu
tahun, Arya membelikan gaun pengantin yang persis sama dengan yang Amanda pakai
di hari pernikahannya. Semua orang turut berlakon bahwa hari esok adalah hari
pernikahan Amanda. Hanya dengan begitulah mereka mampu membuat Amanda bertahan
hidup.
Sesuatu
yang tragis terjadi lima tahun yang lalu, ayah Amanda meninggal karena struk,
tapi Amanda bahkan tak menyadarinya. Satu bulan kemudian berganti ibu Amanda
yang meninggal karena stres. Amanda tidak tahu apa-apa, kamarnya terkunci di
hari meninggalnya kedua orangtuanya. Separuh jiwa Amanda telah ia serahkan pada
seorang pria yang mengaku sebagai kekasihnya, namun ketika pria itu
meninggalkan Amanda di hari pernikahannya. Bukan separuh jiwa Amanda yang pergi,
tapi seluruh jiwanya.
©
Satu
minggu setelah diterbitkannya kisah Amanda di surat kabar, seorang lelaki
berusia sekitar lima puluh datang bertamu ke rumah Amanda dan membuat Arya
geram. Meski tangan Arya mengepal marah ingin sekali menonjok wajah sahabatnya
semasa SMA itu, tapi Arya juga mengingat bahwa lelaki yang sangat ingin Arya
hajar adalah lelaki yang selalu dinantikan kehadirannya oleh Amanda. Dengan
besar hati Arya mengantarkan mantan sahabatnya tadi ke kamar Amanda.
“Amanda.”
Sebuah
tangan yang hangat merengkuh jari Amanda yang terkulai di atas ranjang.
Seminggu yang lalu Amanda kembali ditemukan pingsan di dekat jendela. Dokter
keluarga dipanggil untuk merawatnya di rumah.
Mata
kuyu Amanda untuk pertama kalinya terbuka, setelah tiga hari hanya terpejam.
Kepalanya menoleh ke asal suara yang seolah familiar
di telinganya, namun lama tak terdengar.
“Maaf.”
Seorang
laki-laki dengan rambut yang telah banyak beruban, bersimpuh disamping ranjang
Amanda. Mata tua laki-laki itu mengeluarkan bulir air bening. Jarinya gemetar
menyentuh kulit tangan Amanda yang tak lagi mulus seperti duapuluh tahun yang
lalu.
“Pembunuh.”
Mata
merah Amanda menatap beringas ke arah lelaki yang menghilang dari hidupnya
sejak duapuluh tahun lalu. Jari telunjuk Amanda mengarah ke foto orangtuanya
yang terpajang di dinding dan berhiaskan karangan bunga.
“Maaf.”
Lelaki
tua tadi tertunduk dan tangisnya menderas sambil terus mengucapkan kata maaf.
Sementara tangan Amanda yang lelaki itu genggam terasa sangat dingin seketika.
Lelaki itu melihat kepada tangan Amanda. Pucat pasi. Begitulah kata sifat yang
pas untuk menggambarkannya. Kepala lelaki itu dengan seketika menoleh ke wajah Amanda
yang sudah terjatuh ke sebelah kiri. Dari hidung Amanda mengalir darah segar
yang baru saja akan mengering. Dengan berdebar lelaki beruban itu mengecek
hembus nafas, denyut nadi dan detak jantung Amanda. Nihil.
“Pembunuh.”
Kata
terakhir yang Amanda ucapkan pada lelaki itu terngiang lagi, lagi, dan lagi.
Menambah beban penyesalan yang menghantuinya selama lebih dari duapuluh tahun. Lelaki
tua itu tersedu di samping tubuh Amanda
yang tak lagi beryawa.
©
Esok
paginya, berita kematian Amanda muncul di halaman pertama surat kabar yang
memuat beritanya dulu. Kisah tenang gadis yang terjebak dalam gaun pengantin
selama duapuluh tahun menjadi viral. Banyak penulis yang datang meminta ijin
untuk membukukan kisah Amanda. Sutradara dan produser-pun berbondong-bondong
ingin mengunggah kisah Amanda ke layar film dan sinetron.
Sayang,
kini ganti Arya yang mengunci rapat kamar tidurnya. Pulang dari pemakaman
Amanda, Arya lantas masuk kamar tanpa mengucap sepatah kata dan tanpa pernah
menoleh ke arah manapun. Mata Arya merah dan sembab, bibirnya terkunci rapat
dan wajahnya masam. Tangan Arya terkepal sepanjag proses pemakaman jenasah
adiknya.
Tiga
hari berselang, pihak keluarga terpaksa mendobrak pintu kamar Arya yang masih
terkunci rapat. Tidak mudah merobohkan pintu yang terbuat dari kayu jati, namun
bagaimanapun juga mereka harus melakukannya. Tubuh Arya tergeletak di samping
jendela kamarnya, lengan kanannya memeluk potret masa kecil keluarganya.
Matanya terpejam dan hidungnya mengeluarkan darah yang masih segar. Sama
seperti keadaan Amanda beberapa hari sebelum meninggal.
Tidak
ingin kehilangan Arya juga, pihak keluarga lantas membawanya ke rumah sakit.
Dirawatnya Arya di rumah sakit muncul di surat kabar. Esoknya seorang lelaki
berusi limapuluh datang hendak menjenguk Arya.
“Arya,,,”
Lelaki
tua tadi menepuk pundak Arya yang menatap kosong ke arah jendela. Seketika
kepala Arya menoleh ke arah suara yang memanggilnya.
“Pembunuh”
tamat
Komentar
Posting Komentar