Hitam dan Tercemar

  ' Like living in the dream.' Kabut menyelimuti langit pukul 05.30 pagi. Benda tak padat, yang tak bisa digenggam itu menelisik anggun di antara pepohonan, membuat beberapa dahan ketutupan. Seperti di dalam lukisan, kabut itu turun dari langit, ke sela sela pohon, hingga berbaur dengan orang-orang di atas tanah. Kabut datang bersama hawa dingin yang mengungkung sekujur tubuh. Seolah es yang membekukan kulit bagian luar, mendekap kuat tapi tak menghangatkan. Meski dingin menerjang, udara pagi di pegunungan tetap menawan paru paru yang penuh kepulan asap kendaraan dan tembakau bakar. Katlya duduk di pembatas jalan, merapatkan jaket yang dikenakan. Hidungnya memerah dan berlendir, pipinya dingin tapi kenyal seperti kue mochi di dalam freezer. Ia menggosokkan telapak tangannya mencari kehangatan. Seperti naga kehilangan daya, nafasnya menyemburkan asap tanpa api. "Kenapa mbak motornya? Mogok?," seorang pria paruh baya dengan celana pendek dan celurit menghampiri Katlya.

terjebak nostalgia

Hari ini, potret Amanda di hari pernikahannya yang tragis muncul di halaman depan surat kabar nasional. Berita itu muncul setelah selama setahun penuh sang reporter meminta pihak keluarga untuk mengijinkan peluncuran berita drama-sarkatis tadi. Dalam hitungan jam, kisah tentang ‘Amanda gadis yang terjebak di gaun pengantin selama 20 tahun’ menjadi viral dan hangat diperbincangkan.
            Sabtu 20 juli 1995, seorang gadis remaja berusia duapuluh dua tahun telah menjelma menjadi sesosok perempuan dewasa yang sangat anggun. Dengan balutan ballgown putih yang elegan, Amanda pantas menyandang jabatan pengantin wanita tercantik pada masanya.
            Suara pembawa acara terdengar tengah memanggil pengantin pria untuk menuju ke lokasi pernikahan. Jantung Amanda berdegup semakin kencang menantikan langkah pasangannya masuk ke dalam gedung. Lima menit berlalu tangan Amanda basah dengan keringat. Calon suaminya masih belum memasuki gedung acara. Sepuluh menit selanjutnya, panitia mengantarkan Amanda untuk duduk terlebih dahulu. Hingga satu jam berlalu, panitia akhirnya mengakhiri acara dan mempersilahkan tamu untuk meninggalkan lokasi.
            Sabtu 25 juli 1995, orang-orang silih berganti menyampaikan bela sungkawa. Mereka menepuk bahu Amanda dan menghiburnya dengan beberapa kalimat motivasi. Sebagian kecil masih tinggal dan memberikan pelukan juga pundak untuk bersandar. Satu jam yang lalu, Arya kakak Amanda mengenggam tangan Amanda, matanya tampak berkaca-kaca menatap Amanda. Bibirnya bergerak-gerak seolah ingin mengatakan sesuatu namun tak bisa. Air mata Amanda menetes, lalu menderas dalam pelukan Arya. Tidak perlu satu kata pun untuk menjelaskan apa yang terjadi. Jelas. Calon suami Amanda telah melarikan diri sejak hari pernikahan mereka.
            Terhitung dari hari pernikahannya di tanggal 20 Juli 1995 ataupun hari resepsinya di tanggal 25 Juli 1995, Amanda tak pernah melepas baju pengantinnya. Ketika malam datang Amanda sibuk memandang bulan, membayangkan pengantin prianya datang. Di siang hari, Amanda duduk di depan pintu, atau mengintip dari balik jendela,  menanti pengantinnya kembali. Satu minggu berlalu, Amanda sama sekali tak melepaskan baju pengantinnya. Dua minggu berjalan, Arya dan anggota keluarga lainnya membujuk Amanda untuk menanggalkan baju pengantinnya. Tidak ada jawaban apapun untuk bujukan Arya dan keluarganya, Amanda hanya menggeleng pelan.
            Wajah Amanda pucat, bibirnya biru, matanya sayu dan di kelopak matanya berwarna kehitam-hitaman. Pipi Amanda tampak semakin tirus, bagaimana tidak, setiap hari Amanda hanya menelan paling banyak dua sendok bubur dan setengah gelas air putih. Masuk pada minggu ketiga, Amanda ditemukan pingsan di pinggir jendela, mulutnya mengeluarkan cairan seperti muntahan bubur. Pada saat itulah akhirnya Amanda melepas gaun pengantinnya, bukan Amanda yang melepasnya, tapi suster di rumah sakit yang menggantikan gaun Amanda dengan baju pasien rumah sakit.
            Selama tiga hari Amanda terbaring di dipan Rumah Sakit tanpa pernah membuka mata. Setiap pagi dan sore hari, suster menyuntikkan vitamin dan beberapa cairan kimia lainnya lewat infus. Malam ke-empat Amanda di rumah sakit, matanya mulai terbuka. Tangannya menggapai jemari Arya yang tertidur di samping ranjangnya. Sentuhan itu membuat Arya terlonjak dari tidurnya karena terkejut.
“Kamu sudah bangun Amanda? Apa kau baik-baik saja?.”
            Amanda diam, tangannya meraba bagian dada, lalu perutnya.
“Dimana gaun pengantin ku?.”
            Mata lelah Amanda menatap pilu kedua manik mata milik kakaknya.
“Gaun mu sedang di cuci. Mama menyimpannya di lemari.”
            Mata lelah Amanda masih menatap manik mata milik kakaknya, namun kini ditambah dangan linangan air mata yang membelah pipi Amanda. Jika saja kita menatap pada ekspresi wajah Amanda. Maka akan terlihat betul seolah hati Amanda benar-benar tengah hancur.
“Aku harus memakainya kak. Aku harus memakainya, jadi seketika dia datang kita bisa langsung menikah. Aku harus memakainya kak.”
            Tidak ada yang lebih terluka di ruangan itu selain Arya, tangisnya ikut pecah melihat adik kesayangannya hancur. Arya merengkuh Amanda ke dalam pelukannya. Mereka berdua hanyut dalam air mata yang kian menderas. Jemari Amanda bahkan erat menggenggam lengan Arya. Mereka terlihat tengah berbagi beban yang terasa amat berat jika mereka pikul sendirian.
“Tolong ambilkan gaun ku kak, aku harus memakainya.”
“Dia tak akan kembali Amanda. Dia sudah pergi.”
“Tidak kak dia pasti kembali. Bukankah kakak yang mengenal kan aku padanya. Kakak bilang dia orang yang baik, dia akan menjadi pengganti kakak untuk menjaga ku.”
            Suara parau Amanda terdengar memilukan. Tangan Amanda mengepal memukul dada Arya yang masih mendekap Amanda, bahkan dekapan Arya kian kuat.
“Maafkan aku Amanda. Tapi dia sudah pergi mengkhianati kita semua.”
            Hanya berlangsung selama satu minggu, Arya dan keluargnya mampu melepaskan Amanda dari gaun pengantin. Amanda mengamuk melepas infusnya secara paksa, membuang semua benda yang bisa ia jangkau. Amanda juga melempari semua orang yang mendekatinya. Hingga akhirnya Arya berhasil mendekap Amanda dengan kuat, dua staff rumah sakit turut membantu memegangi lengan dan kaki Amanda setelahnya. Seorang dokter dan dua suster lalu menyuntikkan obat penenang di lengan kanan Amanda. Empat jam berikutnya Amanda pulas tertidur meringkuk di ranjang rumah sakit.
©
            Seluruh penghuni rumah sakit tengah gempar. Duapuluh menit yang lalu, seorang pengunjung dikejutkan dengan kain yang menjulur dari sebuah jendela dikamar yang terletak di lantai tiga. Seorang wanita tampak menggantung diantara kain selimut dan sprei yang disambung menjadi satu. Tidak, Amanda tidak bunuh diri, dia membuat kain sprei dan selimut yang ia sambung sebagai ayunan. Kakinya mengayun dengan menendang ke tembok bagian luar gedung rumah sakit. Mulutnya menyenandungkan lagu-lagu pernikahan kesukaannya. Tatapannya kosong memandang langit biru. Rambutnya yang terurai berkibar tertiup angin.
            Tim SAR dan pemadam kebakaran dikerahkan untuk menyelamatkan Amanda. Di depan gedung, tampak Arya yang terlihat depresi, putus asa, dan kehilangan harapan. Rasa bersalah atas perginya calon pengantin Amanda terus menggelayut di hatinya. Bagaimana mungkin sahabatnya semenjak SMA yang Arya daulat sebagai calon pengantin Amanda. Justru melarikan diri dihari pernikahan mereka. Sahabat yang dulu begitu Arya banggakan kini hilang bagaikan tenggelam di kerak bumi. Tidak ada satupun yang melihat sahabat Arya itu semenjak ia menghilang di hari pernikahan sahabat Arya dan Amanda.
            Sekitar tigapuluh menit berjalan saat akhirnya Amanda berhasil di amankan. Keluarga Amanda tak henti memeluk Amanda sambil mengucapkan syukur. Akhirnya, Arya dan keluarganya membiarkan Amanda kembali memakai baju pengantinnya dan membawanya pulang ke rumah. Sesuai dengan anjuran psikiater, mereka tidak lagi memberikan Amanda bubur dan vitamin atau obat-obat an lainnya. Amanda memakan makananyang biasa tersaji di pesta pernikahan.
            Selama duapuluh tahun, Amanda selalu berpikir bahwa esok adalah hari pernikahannya. Silih berganti keluarga datang ke kamarnya, mereka berpakaian seperti orang yang akan menghadiri pesta, membawakan kado dan makanan pesta. Setiap satu tahun, Arya membelikan gaun pengantin yang persis sama dengan yang Amanda pakai di hari pernikahannya. Semua orang turut berlakon bahwa hari esok adalah hari pernikahan Amanda. Hanya dengan begitulah mereka mampu membuat Amanda bertahan hidup.
            Sesuatu yang tragis terjadi lima tahun yang lalu, ayah Amanda meninggal karena struk, tapi Amanda bahkan tak menyadarinya. Satu bulan kemudian berganti ibu Amanda yang meninggal karena stres. Amanda tidak tahu apa-apa, kamarnya terkunci di hari meninggalnya kedua orangtuanya. Separuh jiwa Amanda telah ia serahkan pada seorang pria yang mengaku sebagai kekasihnya, namun ketika pria itu meninggalkan Amanda di hari pernikahannya. Bukan separuh jiwa Amanda yang pergi, tapi seluruh jiwanya.
©
            Satu minggu setelah diterbitkannya kisah Amanda di surat kabar, seorang lelaki berusia sekitar lima puluh datang bertamu ke rumah Amanda dan membuat Arya geram. Meski tangan Arya mengepal marah ingin sekali menonjok wajah sahabatnya semasa SMA itu, tapi Arya juga mengingat bahwa lelaki yang sangat ingin Arya hajar adalah lelaki yang selalu dinantikan kehadirannya oleh Amanda. Dengan besar hati Arya mengantarkan mantan sahabatnya tadi ke kamar Amanda.
“Amanda.”
            Sebuah tangan yang hangat merengkuh jari Amanda yang terkulai di atas ranjang. Seminggu yang lalu Amanda kembali ditemukan pingsan di dekat jendela. Dokter keluarga dipanggil untuk merawatnya di rumah.
            Mata kuyu Amanda untuk pertama kalinya terbuka, setelah tiga hari hanya terpejam. Kepalanya menoleh ke asal suara yang seolah familiar di telinganya, namun lama tak terdengar.
“Maaf.”
            Seorang laki-laki dengan rambut yang telah banyak beruban, bersimpuh disamping ranjang Amanda. Mata tua laki-laki itu mengeluarkan bulir air bening. Jarinya gemetar menyentuh kulit tangan Amanda yang tak lagi mulus seperti duapuluh tahun yang lalu.
“Pembunuh.”
            Mata merah Amanda menatap beringas ke arah lelaki yang menghilang dari hidupnya sejak duapuluh tahun lalu. Jari telunjuk Amanda mengarah ke foto orangtuanya yang terpajang di dinding dan berhiaskan karangan bunga.
“Maaf.”
            Lelaki tua tadi tertunduk dan tangisnya menderas sambil terus mengucapkan kata maaf. Sementara tangan Amanda yang lelaki itu genggam terasa sangat dingin seketika. Lelaki itu melihat kepada tangan Amanda. Pucat pasi. Begitulah kata sifat yang pas untuk menggambarkannya. Kepala lelaki itu dengan seketika menoleh ke wajah Amanda yang sudah terjatuh ke sebelah kiri. Dari hidung Amanda mengalir darah segar yang baru saja akan mengering. Dengan berdebar lelaki beruban itu mengecek hembus nafas, denyut nadi dan detak jantung Amanda. Nihil.
“Pembunuh.”
            Kata terakhir yang Amanda ucapkan pada lelaki itu terngiang lagi, lagi, dan lagi. Menambah beban penyesalan yang menghantuinya selama lebih dari duapuluh tahun. Lelaki tua  itu tersedu di samping tubuh Amanda yang tak lagi beryawa.
©
            Esok paginya, berita kematian Amanda muncul di halaman pertama surat kabar yang memuat beritanya dulu. Kisah tenang gadis yang terjebak dalam gaun pengantin selama duapuluh tahun menjadi viral. Banyak penulis yang datang meminta ijin untuk membukukan kisah Amanda. Sutradara dan produser-pun berbondong-bondong ingin mengunggah kisah Amanda ke layar film dan sinetron.
            Sayang, kini ganti Arya yang mengunci rapat kamar tidurnya. Pulang dari pemakaman Amanda, Arya lantas masuk kamar tanpa mengucap sepatah kata dan tanpa pernah menoleh ke arah manapun. Mata Arya merah dan sembab, bibirnya terkunci rapat dan wajahnya masam. Tangan Arya terkepal sepanjag proses pemakaman jenasah adiknya.
            Tiga hari berselang, pihak keluarga terpaksa mendobrak pintu kamar Arya yang masih terkunci rapat. Tidak mudah merobohkan pintu yang terbuat dari kayu jati, namun bagaimanapun juga mereka harus melakukannya. Tubuh Arya tergeletak di samping jendela kamarnya, lengan kanannya memeluk potret masa kecil keluarganya. Matanya terpejam dan hidungnya mengeluarkan darah yang masih segar. Sama seperti keadaan Amanda beberapa hari sebelum meninggal.
            Tidak ingin kehilangan Arya juga, pihak keluarga lantas membawanya ke rumah sakit. Dirawatnya Arya di rumah sakit muncul di surat kabar. Esoknya seorang lelaki berusi limapuluh datang hendak menjenguk Arya.
“Arya,,,”
            Lelaki tua tadi menepuk pundak Arya yang menatap kosong ke arah jendela. Seketika kepala Arya menoleh ke arah suara yang memanggilnya.
“Pembunuh”

tamat

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGEN DISAYANG TAPI OGAH PACARAN

Corona dan Manusia

Sebuah Skenario Kematian