Hitam dan Tercemar

  ' Like living in the dream.' Kabut menyelimuti langit pukul 05.30 pagi. Benda tak padat, yang tak bisa digenggam itu menelisik anggun di antara pepohonan, membuat beberapa dahan ketutupan. Seperti di dalam lukisan, kabut itu turun dari langit, ke sela sela pohon, hingga berbaur dengan orang-orang di atas tanah. Kabut datang bersama hawa dingin yang mengungkung sekujur tubuh. Seolah es yang membekukan kulit bagian luar, mendekap kuat tapi tak menghangatkan. Meski dingin menerjang, udara pagi di pegunungan tetap menawan paru paru yang penuh kepulan asap kendaraan dan tembakau bakar. Katlya duduk di pembatas jalan, merapatkan jaket yang dikenakan. Hidungnya memerah dan berlendir, pipinya dingin tapi kenyal seperti kue mochi di dalam freezer. Ia menggosokkan telapak tangannya mencari kehangatan. Seperti naga kehilangan daya, nafasnya menyemburkan asap tanpa api. "Kenapa mbak motornya? Mogok?," seorang pria paruh baya dengan celana pendek dan celurit menghampiri Katlya.

Mungkin, aku akan menunggu!

 Aku mulai kehilangan diriku sendiri. Aku kehilangan namaku, identitasku, dan siapa diriku. Tepat disaat aku menyadari bahwa itu semua hanya kebohongan belaka. 

Angin malam sedang berhembus dari sela-sela jendela yang aku biarkan terbuka. Bukan kehangatan yang aku dapatkan, malam ini terasa panas sekali hingga hatiku berkeringat. 

Aku terus mempercayai perkataan bohong manusia. Katanya mereka akan datang hari sekian pukul sekian, ternyata mereka hanya pintar membuat ku menunggu. Lantas apalagi setelah ini?. Tidak tahu, aku masih harus menunggu. 

Jam berputar dengan kejamnya di depanku, ia terus merubah angka setiap waktu. Aku jadi gelisah, apa dan apa lagi setelah ini. Tidak tahu, aku masih harus menunggu. 

Aku lelah jadi diri sendiri, tapi katamu diriku yang mana. Tidak tahu. Aku masih harus menunggu lagi sampai aku menyadari diriku yang mana yang hilang. Memangnya aku siapa dan seperti apa. Tidak tahu. Jadi mari kita menunggu lagi. 

Dulu, aku seolah punya pijar lampu yang menggantung di depan pintu, ia akan menyala saat seseorang datang menyapa. 'Hai aku bahagia,'. Lalu aku tersenyum senang, akhirnya bahagia datang. 

Aku jadi punya gambaran dan definisi, bagaimana bentuk bahagiaku. Dengan lantang aku teriakkan, dia adalah pijar lampu ku. Angin segar yang datang bawa kabar menyenangkan. Dia adalah sumber tenaga, tuas senyumku. 

Lalu, tiba-tiba badai datang mengubah lampu pijar jadi kepingan. Tidak ada lagi cahaya yang masuk dari celah pintu. aku terjebak dalam kesedihan dan ketakutan yang aku bangun melindungi hati kecil yang enggan terluka. 

Karena cahayanya sirna, aku tidak tahu lagi siapa yang datang menyapa. Aku tidak kenal lagi dia yang singgah dari balik cahaya. Bahkan meski dia orang yang sama, pijarnya sudah berbeda. Kepingan itu, dibangun sebagaimanapun jua tak bisa hasilkan pendar cahaya yang sama. 

Akhirnya aku sendiri dikekang kesepian dan kesendirian. Mungkin memang sudah jalannya mati sendiri menunggu ajal menjemput datang. Iya jika sudi menghampiriku, atau justru ia jengah dengan mahluk hina sepertiku. Sehingga alih-alih membawaku lari dalam kedamaian, ajal membiarkan ku hidup lebih lama setiap harinya untuk bisa mengutuki setiap jengkal tubuhku. Lalu jiwaku membusuk dalam raga yang segar bugar. 

Saat cahayaku pudar, dan tak ku kenali lagi pendarnya. Aku jadi seolah tersadar. Bukan, aku kebingungan, bagaimana lagi harus jalani kehidupan. Jika bukan dia bahagia yang tercipta untuk ku nanti setiap datangnya lalu apa lagi dan siapa lagi. 

Bukan hanya dirinya yang hilang, tapi jiwaku juga melayang. Aku jadi lupa aku ini siapa dan harus bagaimana. Jika semua yang aku anggap bahagia justru direnggut semesta. Lalu hidup seperti apa yang harus aku bina. 

Aku mau ke pluto saja, beli kacang goreng dari tupai astronot dan melihat kehidupan yang katanya manusia dari kejauhan. Jadi bukan siapa-siapa, tanpa nama, tanpa beban harus merasa bagaimana. Mungkin aku akan berlarian sambil telanjang, membiarkan diriku sebebas-bebasnya. Bukan, aku hanya ingin semua perasaanku bisa tersampaikan keluar. 

Apa yang mengikat ragaku, lalu mencekik leherku hingga memutar balikkan kepalaku, aku ingin semua itu keluar dan mengendap entah di bumi atau di jagat bimsakti. Biarkan aku tidak menjadi siapa-siapa untuk sebentar saja. 

Aku ingin hirup udara segar, yang anginnya sejuk hingga ke pangkal hatiku. Aku ingin, pergi ke Pluto sekarang juga, Tapi tidak bisa. Mungkin menunggu adalah jawabannya. 

Biar tidak kecewa, bunuh saja rasanya. Biar tidak menunggu, habisi saja waktunya. Biar tidak jadi aku, bagaiamna caranya? baiklah, mari kita tunggu saja. 

Selamat malam semesta, terimakasih sudah pinjamkan lagit yang gelap dan angin yang dingin. Sampai jumpa di pluto esok hari. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGEN DISAYANG TAPI OGAH PACARAN

Corona dan Manusia

Sebuah Skenario Kematian