Hitam dan Tercemar

  ' Like living in the dream.' Kabut menyelimuti langit pukul 05.30 pagi. Benda tak padat, yang tak bisa digenggam itu menelisik anggun di antara pepohonan, membuat beberapa dahan ketutupan. Seperti di dalam lukisan, kabut itu turun dari langit, ke sela sela pohon, hingga berbaur dengan orang-orang di atas tanah. Kabut datang bersama hawa dingin yang mengungkung sekujur tubuh. Seolah es yang membekukan kulit bagian luar, mendekap kuat tapi tak menghangatkan. Meski dingin menerjang, udara pagi di pegunungan tetap menawan paru paru yang penuh kepulan asap kendaraan dan tembakau bakar. Katlya duduk di pembatas jalan, merapatkan jaket yang dikenakan. Hidungnya memerah dan berlendir, pipinya dingin tapi kenyal seperti kue mochi di dalam freezer. Ia menggosokkan telapak tangannya mencari kehangatan. Seperti naga kehilangan daya, nafasnya menyemburkan asap tanpa api. "Kenapa mbak motornya? Mogok?," seorang pria paruh baya dengan celana pendek dan celurit menghampiri Katlya.

KALA


Ini adalah kisah tentang Kala, seorang laki-laki yang sudah sedemikian seringnya mengusik pagi dan malamku, menyeruak masuk ke dalam degub jantung dan aliran darah ku, memberontak isi kepala dan debar hati. Entah sudah yang keberapa kali, aku terus mengucap syukur, tentang bagaimana Tuhan membiarkan ia hadir dalam hidupku. Tulisan ini, adalah wujud lain atas rasa syukurku akan kehadirannya, serta pengingat untukku yang sudah jadi pelupa ini.

....

Kala, namanya tak pernah sekalipun terlintas akan ada dalam hidupku. Kala adalah Kala, aku dan dia tak pernah benar-benar memiliki ruang untuk mengenal satu dengan yang lainnya. Jujur, aku bingung bagaimana menulis awal kedekatan ku dengannya. 

Pikiran ku melayang pada awal tahun lalu, saat aku mulai disibukkan dengan tugas akhir untuk gelar sarjana. Ahh, aku tidak sesibuk itu sebenarnya, hanya sok-sokan mengeluh layaknya mahasiswa tingkat akhir lainnya. 

Aku tidak benar-benar tahu bagaimana cara membuat tugas akhir, namun dari situlah ide awal aku mulai mengirim pesan padanya. Mungkin, saat  itu, ia bahkan tidak menyimpan nomor seluler ku. 

Terbang ke momen tersebut, aku  mengenal Kala yang sangat cuek, Kala yang membutuhkan waktu berabad-abad untuk merespon pesan, Kala yang sering mengabaikan pesan, Kala yang sangat jauh dari jangkauan. Ibaratnya, aku adalah air laut dan Kala adalah bulan. Aku bergerak pasang dan surut, bergantung bagaimana Kala bersinar.

Terkadang Kala hilang ditelan malam, terkadang tertutup awan, terkadang ia berpijar begitu terang. Bahkan, meski ia bagi cahayanya pada 1000 bintang, aku masih mampu melihatnya bersinar terang. Saat itu, Kala masih menyembunyikan senyumnya, jika saja ia tunjukkan saat itu, mungkin aku akan mengisi headline surat kabar, 'Seorang gadis mati konyol, terpapar pesona Kala.' 

....

Waktu membawa bulan mendekat pada perairan, sebegitu dekat seolah deburan ombak dapat membelai permukaan bulan. Cahayanya terasa semakin menyilaukan, memantul diatas perairan, membuat benda disekelilingnya tampak menawan. 

Aku mulai merasa ketergantungan dengan kehadirannya, ekor mata ku mulai membututi gerak-geriknya. Seolah air yang mengalir, dimana Kala berada, disitulah aku bermuara. Notifikasi pesannya, adalah hari raya untuk seisi hati dan pikiranku. Tapi, dia masih Kala yang butuh ratusan purnama untuk berkirim pesan, masih Kala yang sikap dinginnya menguliti hangatnya perasaanku padanya. 

Semakin dekat aku dengan cahaya bulan, semakin jelas ku pandangi teriknya, semakin aku tersadar aku hanyalah deburan ombak yang berulang kali menghantam karang. Bukan bintang yang dapat berdiri di sisinya, menerima pantulan cahanya, lalu bersinar bersama menciptakan malam yang indah.  Aku hanya bisa memandangi keindahannya, terlampau jauh dan terlampau sulit untuk ku gapai.

Aku bergerak menjauh, membiarkan bulan tetap bersinar di langit sementara aku terombang-ambing di bumi. Kala tetap menjadi pemandangan terindah yang selalu ku pandangi, entah digelapnya malam atau teriknya siang. Aku selalu mampu mengintip sedikit cahanya. 

Bersama dengan hembusan angin dipantai, burung camar yang berlomba mematuk ikan, dan orang-orang yang berlarian di atas pasir putih aku mencoba menarik tatapku dari bulan. Aku berusaha berbaur dengan banyak orang untuk melupakan kehadiran satu orang, aku bergerak menjauh, menyurutkan segala anganku atasnya. 

Kala masih Kala yang butuh dua dekade untuk dapat mengisi notifikasi pesanku. Aku membasuh muka, membangunkan diri dari mimpi untuk dapat berada didekatnya. Mungkin, Tuhan hanya ingin menunjukkan salah satu cipatan-Nya yang luar biasa. Bahwa betapapun karang ku terjang, ada bulan yang dengan duduk tenang dilangit ia bersinar begitu terang. 

Tuhan mengenalkan ku pada salah satu mahluk terbaik-Nya, tapi bukan untuk ku gapai pun ku belai. 

....

Bagaimana aku harus mejelaskan isi hatiku, saat tiba-tiba bulan yang aku ingin hindari datang menghampiri. Kala datang, seolah kepergianku mengusiknya. Pasang surut aku menata hati dan niatku, untuk tak menggantung harap pada bulan yang terlampau indah untuk ditawan. Semua hancur, dalam sekali penarikan senyumanya. Aku tidak tahu, sejak kapan Tuhan menciptakan senyuman untuk membunuh benda bernyawa.  

Dia adalah Kala yang tidak aku mengerti jalan pikirannya, yang tidak aku pahami apa maunya. Seringkali aku takut untuk menghampirinya, karena kebodohan ku untuk memahami sosoknya. Kala yang membuatku bingung harus bersikap bagaimana. 

Lalu tiba-tiba entah doa yang mana yang Tuhan kabulkan, atau amal baikku yang mana yang Tuhan balas, sehingga ia biarkan salah satu mahluk terbaik-Nya itu hadir mendekat. Aku gugup setengah mati, saat kemudian kepalaku tersandar dipundaknya. Jujur, aku sudah tidak sanggup memandang parasnya, mendengar suaranya, atau sekedar menyadari keberadaannya. 

Kala masih Kala, ia membalas pesan secara berkala.  Kadang dalam satu jam, kadang dalam satu minggu, beruntung aku tidak dibiarkan menggantung dalam kebingungan selama 1 purnama, bisa-bisa aku sudah jadi pertapa. 

Aku kira, dengan hati yang sudah leluasa bersandar padanya, ombak dapat bergulir dengan tenang. Ternyata, ada karang dan palung dalam lautan, ada gelap dan silau yang tak terelakkan. Aku semakin tidak mengerti bagaimana cara memahami Kala. 

Kala, tidak pernah menyadari bagaimana ia datang dan menghilang dalam sepekan. Bagaimana kalimatnya terlalu sulit untuk dipecahkan, dan pribadinya yang terlalu pekat untuk diuraikan. Tapi ia tetap Kala yang aku suka, dengan segala tingkah mistisnya, yang datang dan menghilang. 

Terakadang aku tidak tahan, jadi langsung saja ku teriakkan di punggungnya, 'AKU SUKA KAMU KALA'. Tapi yah, namanya berbicara dengan punggung, bagaimana bisa kau mendapatkan tanggapan. 

Hati Kala adalah Kopeng di musim penghujan, sering berkabut, membuat jarak pandangku terbatas. Aku benci diriku yang tidak bisa memahami kehendaknya. Ahh BODOH, aku kerap memaki diriku sendiri saat hilang akal atas dirinya. 

Kerap kali aku menjadi marah, saat tak mampu memahaminya. Sementara ia terus menarik ulur perkataannya. Aku sering dibuat kepayahan memahami maksud hatinya. Lalu merasa enggan mengutarakan maksud hati ku. 

....

Saat aku memutuskan hati ku yang babak belur itu dibuai oleh pesonanya, aku berjanji pada diriku sendiri. Kali ini dengan sisa perasaan yang aku punya, ingin dapat mengasihinya dengan sepenuh hati, ingin secara sungguh-sungguh membenamkan diriku pada perasaan suka padanya. 

Kala, maaf aku menyukaimu sepenuh hati.

Sekalipun begitu, aku masihlah sadar tempatku dilautan, dan ia yang bertengger indah di angkasa. Aku tidak berani berdoa pada Tuhan, memintanya untuk didekatkan. Benar-benar lima kali dalam satu hari, apa yang dapat aku sampaikan pada Tuhan hanyalah,

'Tuhan, aku tahu dia mahluk  Mu yang luar biasa. Terimakasih sudah mengirimnya dalam hidupku. Seandainya memang kau izinkan kami berdekatan, sungguh itu adalah nikmat Mu yang tak dapat aku dustai. Namun, jika tiba-tiba Kau ambil ia dari rengkuhku, aku yakin Kau akan pertemuakan ia dengan sosok yang lebih baik dari aku. Jika tiba saatnya itu, tolong kuatkan aku. 

Tuhan, tolong jaga dia, terangi langkahnya, dekap ia dalam kasih Mu'

Aku sangat menyukai Kala-ku. Jika bisa ingin aku berdiam selama sebulan, hanya untuk memandangi wajahnya, mencermati setiap kerutan dan tahi lalat di wajahnya. 

....

Aku sebegitu sukanya dengan Kala, hingga tak berani untuk cemburu. Kala diciptakan Tuhan dengan segala keajaiban dunia, termasuk gunung es yang hilang di antartika, rasanya mencair dalam darah Kala, membuatnya sedemikian dinginnya. 

Sebagai kumbang, Kala pasti dicintai banyak tanaman. Bahkan anggrek di dinding akan melambai untuk ia hinggapi. Aku tidak mampu untuk menahan diri ingin membungkusnya ku isolasi, lalu ku simpan dalam lemari pendingin, agar dapat kunikmati sendiri.

Kala, acapkali aku tak percaya diri dengan kedekatan ini. Bintang-bintang yang bertaburan disekelilingmu, semakin mengecilkan nyaliku. Berulangkali aku terpaksa megurungkan niatku, menghentikan langkahku sebab rasa ragu. Gemintang disekelilingmu pasti melakukannya lebih baik dari aku. Mereka pasti menjaga mu, sebagaimana ingin mu yang tak pernah mampu ku pahami. Kala nampak lebih indah bersama bintang disekitarnya, dibanding dengan lautan yang tak jelas ujungnya.

Sudah ku bilang, aku tidak berani meminta banyak tentang dia. Mungkin ada banyak perasaan yang masih tertahankan yang terkadang, aku takut dapat meledak seketika. Namun, aku ingin menyukai Kala sebaik mungkin. 

Aku ingin melihatnya terbang dan berlari sesuai kehendaknya, aku menyukainya sebagaimana ia. Tapi dalam hatiku pun meragukan, benarkah yang aku lakukan atau sudah seperti yang Kala harapakankah sikapku?. 

Kala masih begitu pekat untuk dapat ku pahami. Ia seperti angin sore, menyejukkan, mengisi setiap sisi dalam diriku, namun juga sangat sulit untuk ku genggam. 

.....

Sejauh ini, tidak ada yang tidak kusuka dari Kala, kecuali kebodohan ku dalam memahaminya dan kepekatannya yang tak kunjung dapat ku baca. 

Perihal gunung es yang menjalar dalam darahnya, aku sudah cukup terbiasa. Aku mencoba setekun mungkin, menantinya datang saat hilang, menantinya muncul saat gelap. 

Kala, maaf aku menyukaimu sedemikian besarnya.  Semoga kamu tidak keberatan, disukai oleh itik buruk rupa. 

Terimakasih karena sudah ada di dunia ini. Terimakasih sudah lahir dalam kehidupan ini. Terlebih, terimakasih sudah sudi datang dalam hidup seorang Chika. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGEN DISAYANG TAPI OGAH PACARAN

Corona dan Manusia

Sebuah Skenario Kematian