Skandal Cinta Penghuni Surga
Ada seseorang yang
mengatakan, bahwa Tuhan menciptakan segalanya berpasang-pasangan. Mata
sepasang, tangan sepasang, kaki sepasang, telinga sepasang, hidungpun memiliki
lubang yang sepasang dan mulut memiliki bibir yang sepasang. Aku percaya bahwa
Tuhan pun tak kan menciptakanku tanpa pasangan. Semua ini hanya masalah waktu,
dan kesabarankupun takkan ada batasnya. Karena aku percaya, Tuhan lebih dari
sekedar ada, Dia juga berkehendak.
Jarak
yang memisahkan, itu hanya omong kosong. Bahkan ketika jarak tercipta antara
Adam dan Hawa, mereka tetap berjalan ke arah yang sama. Saling berlari untuk
mencari, brdoa untuk bisa bersama lagi. Bahkan jika waktu ikut campur dalam
kisah mereka, lihatlah bahwa waktu lantas menyerah dalam sepersekian ratus
tahun saja.
Jutaan
tahun yang lalu, di tengah gurun pasir yang terik. Tanpa GPS, tanpa radar,
bahkan tanpa peta sekalipun. Cinta telah menyombongkan diri mempertemukan Adam dan
Hawa. Meski putus asa, menyerah, dan pasrah tak urung menghantui. Tapi dengan
keyakinan yang berpihak pada cinta. Sepasang makhluk bernama manusia di
pertemukan dengan penuh cinta dan kerinduan, yang dengannya tak secentipun
berkurang dari hati mereka. Berapa jampun waktu menguji cinta mereka, tak
satupun dari mereka yang menyerah. Tak ada harga dunia dan seisinya, mereka
hanya ingin kembali bersama.
Sama
halnya dengan mereka, yang aku butuhkan hanyalah keyakinan. Biarkan ia hinggap
dan menetap dalam hati mu. Entah kapan dan dimana, entah kamu atau dia, pasti
akan saling menemukan. Biarkan sabar menjadi sayapmu yang meski patah akan
mengantarkanmu padanya.
Rasanya
sudah siang malam aku jatuh cinta, berulang kali coba bersama, tapi Tuhan masih
berkata ‘’ Bukan ‘’. Aku memang tak tahu sampai kapan harus berjuang untuk
menemukan, tapi aku yakin Tuhan akan berikan. Jadi kali ini, akupun masih
memberanikan diri untuk jatuh cinta. Seperti bermain ular tangga, saat aku
telah memberanikan diri melempar dadu hatiku, yang aku perlu lakukan hanyalah
terus berjalan. Masalah jatuh dimakan ular atau naik ke tangga pelaminan, semua
adalah ranah Tuhan.
©
‘’Siapa dia?’’
‘’Dia siapa?’’
‘’Hey,, jangan mengulangi
pertanyaanku.’’
‘’Hahahaha.’’
Kami
baru saja menamatkan 2 SKS mata kuliah Filsafat Ilmu ketika Mawa menegurku yang
terbengong di depan Ruang Kuliah. Sebenarnya aku tak berniat terbengong, aku
hanya sedang mengunci tatap seseorang. Sosok dengan tubuh tinggi atletis, kulit
putih bersih dan rambut ikal cepak. Matanya teduh menenangkan, hidungnya mancung
dan tegak, bibirnya tipis dan berwarna merah muda. Jika ia tersenyum rasanya
pintu surga roboh begitu saja.
‘’ Kau tidak mau menceritakannya?’’
‘’Apa yang harus ku ceritakan?
Tentang kancil yang mencuri timun?’’
‘’Hahahaha.’’
Mawa
adalah sosok bidadari surga yang tinggal di dunia. Dia dilahirkan sebagai
hadiah untuk setiap pria soleh yang taat pada Tuhannya. Tubuhnya sangat
proporsional untukku, tidak menjulang tinggi juga tidak pendek kecil. Ia juga
tidak terlalu kurus ataupun gemuk, rasanya berat dan tinggi badannya sangat
ideal, Tapi ia selalu mengeluh tentang obesitas. Parasnya putih bersih
menyejukkan. Bibirnya yang selalu tersenyum membuat wajahnya seolah bersinar di
atas bumi yang gelap.
Tutur
katanya sangat sopan, meski bukan keturunan ningrat, tapi ia gadis jawa yang
sarat akan norma dan adat jawa. Tingkah lakunya yang anggun sangat cocok dengan
gamis longgar yang melekat ditubuhnya. Jilbabnya terbentang lebar,
melindunginya hatinya dari nafsu yang memperbudak.
Aku
sangat berbeda jauh dengannya, aku masih belajar untuk melonggarkan pakaianku,
apalagi melebarkan jilbabku. Tanganku selalu usil mengerjai orang-orang
disekitarku. Mulutku sulit berhenti jika sudah berbicara. Polahku juga sangat
diluar batas. Aku tidak bisa berdiam diri lama-lama, selalu saja berlarian
mengusili orang-orang. Tapi aku ingin belajar untuk jadi wanita normal, yang
duduk dengan anggun, berpakaian feminin, dan juga memiliki banyak pernak-pernik
di meja rias.
‘’ Pantaskanlah dirimu jika kau ragu
untuk mendapatkannya.’’
‘’Apasih yang kau bicarakan, Mawa?’’
‘’Sudah, jujurlah aku lebih dari
sekedar sadar dengan bahasa tubuhmu.’’
‘’Bahasa tubuh apa?’’
‘’Mengaku sajalah Pertiwi, jangan
membuatku menyebut namanya.’’
Mawa
mengerlingkan matanya menggodaku. Baru 6 bulan kita bersahabat, tapi dia begitu
hebat dalam membaca tingkah laku ku. Mungkin dia memang benar-benar tahu bahwa
aku sedang terbuai paras pujangga.
‘’Aku hanya kagum padanya, bukannya
lebih.’’
‘’Tenanglah, jodoh tak kan lari
kemana meski kau mengejar hingga ke ujung dunia.’’
‘’justru yang tak jodoh itu yang
takkan lari kemana.’’
‘’Maksutnya?’’
‘’Yaiya, kalau tak jodoh, mau dibawa
lari kemana juga tetap akan di depan mata takkan ia berpindah ke sisi kita.’’
‘’Lantas, jodoh itu tak perlu
dikejar dong?’’
‘’Jodoh takkan membuat mu berlari.
Dia selalu ada di tempatnya berada.’’
Tangan
Mawa bergerak merangkul pundakku, ia tersenyum malu dengan jawabanku. Baik
puisi cinta, galau, picisan, sindiran, dia selalu menyukai dan menghargai karya
ku. Terkadang ia akan mengunggah puisi-puisi ku di Sosial Medianya, atau
menuliskan ulang di buku hariannya. Ia juga sering menemaniku berjam-jam
menulis cerita, ia tak pernah bosan selalu menyemangatiku.
‘’Sebenci apapun aku padamu, aku
takkan menyakitimu.’’
‘’Kenapa Mawa?’’
‘’Kau seorang penulis, jika aku
menyakitimu, aku takut abadi dalam karyamu.’’
Rangkaian
kata yang ia bagi denganku memang sederhana, tapi aku tahu seberapa dalam
maknanya. Rangkulan tangannya padaku pun bertalian dengan persahabatan kami.
Selamanya, aku ingin selalu berbagi kasih dengannya. Meski takkan mudah untuk
menyebrangi jurang perbedaan tapi itu bukan akhir persahabatan.
‘’Ujian akan segera berakhir.
Berganti dengan libur panjang di kampung halaman.’’
‘’Yaa, dan jarak akan tersenyum
menyambut kita di semester depan.’’
‘’Kisah kita takkan menemui akhir
kan Tiwi? Bahkan hingga janah-Nya kita akan berteman.’’
‘’In Shaa Allah.’’
Kami
berjalan meninggalkan koridor kampus yang semakin sore semakin lengang. Hanya area
taman dan lapangan olahraga yang masih padat dengan beberapa kelompok
Mahasiswa. Salah satu yang mencuri perhatianku adalah lapangan dengan ring
basket dikedua sisinya. Air tampak menggenang di beberapa sisi lapangan. Tapi
itu nampaknya bukan hambatan bagi 10 orang Mahasiswa baru yang sedang berebut
bola berwarna merah di tengah lapangan.
Beberapa
dari mereke bertubuh sangat atletis dan beberapa lainnya tampak gendut dan
sulit bergerak. Cuaca yang sedikit mendung membuat mereka tak begitu
berkeringat. Tapi nafas mereka tetap tersengal seiring tempo permainan yang
terus memanas. Entah masalah terletak pada mataku atau memang sosok itu begitu
menonjol diantara yang lain. Tubuhnya yang tinggi membuatnya mudah melangkah
dengan lebar dan berlari meninggalkan lawannya. Pundi-pundi angka terus menerus
dicetak, kedua tim bersaing cukup imbang.
‘’Mau nonton lebih dekat?’’
Tanpa
menunggu kepala ku tergerak mengangguk atau bibirku bergerak untuk berkata
‘Ya’, Mawa sudah menuntunku ke bangku penonton. Sore ini penonton memang tampak
sepi, hanya ada kami dan deretan bangku yang dihuni genangan air hujan. Aku
tidak bisa mengalihkan pandangan ku dari sosok dengan nomor punggung 04. Warna
seragamnya hitam silver, membuat kulit putihnya semakin bersinar. Senyum manis
selalu hadir diwajahnya, terutama saat jari-jarinya berhasil mendorong bola
basket itu masuk ke dalam ring dan mencetak poin. Lalu teman-temannya akan
berebut melakukan High Five dengannya.
‘’Ciiee yang ngelihatin melulu.’’
‘’Kamu ni kenapa sih Mawa?’’
‘’Udah ngaku aja.’’
Senyuman
Mawa terus membuat ku bersemu merah setiap saat ia menggodaku. Tawa kecilpun
tak bisa ku halangi untuk terbit menjawab godaan Mawa. Lengannya terus menyikut
tubuhku, membuatku semakin salah tingkah dibuatnya. Matanya juga begitu polos
mengusik ke dalam hatiku.
©
Saat
hujan datang menerjang, riuh suara kahalayak pun takkan meredam segenap
kehampaan yang mengakar dalam hatiku. Meski hadirnya selalu menyesakkan akan
kenangan, mendesak rindu agar mengular, tapi aku tetap suka hujan. Kekuatannya
dalam menantang tanah. Ricuh suaranya yang datang berbondong-bondong. Aku suka
sejuk airnya yang membekukan jiwa.
‘’ Ngelamun aja neng..’’
Sosok
Mawa berbalut gamis katun berwarna marun menghampiriku yang mengakar di tepi
jendela. Khimar merahnya lebar menyelubungi hatinya. Anggun melekat dengan
pesonanya. Dia selalu tersenyum setiap saar menghampiriku. Wajahnya selalu
bersinar menyombongkan kesederhanaan. Entah sudah berapa bidadari yang patah
hati melihat sosoknya, yang pasti akupun cemburu akan akhlaknya.
‘’Kok diem aja sih?’’
‘’Enggak kok nggak papa.’’
Aku
balas tersenyum menanggapi ramah tamah basa-basinya.
‘’Kamu belakangan sering diem,
kenapa sih?’’
‘’Enggak ada apa-apa kok.’’
‘’Kalau ada masalah cerita dong,
jangan dipendem sendiri ya cantik.’’
‘’Iya...’’
Lengannya
lembut merangkulku, kepalanya menyender ke pundakku. Kami menikmati tetes hujan
yang mengembun di lapisan kaca. Suasana kampus begitu senyap menenangkan.
Keributan
terdengar dari pekarangan kampus yang tergenang air hujan. Disusul beberapa
mahasiswa berpakaian serba hitam yang berlarian. Beberapa bendera organisasi
politik tampak berkibar diantara mereka. Tidak jauh dibelakangnya mahasiswa
dengan pakaian serba merah coba mengejar. Wajah mereka ikut memerah sejurus
dengan umpatan yang mengalir dari mulut mereka.
‘’Ada apasih?’’
Mawa
mengangkat kepalanya dan melongok keluar jendela.
‘’Ya.. biasalah. Drama politik.’’
‘’Ehh itu Sanni kan?’’
‘’Oiya ada Sanni. Ternyata dia ikut
organisasi begituan ya.’’
‘’Ssst jangan suudzon.’’
‘’Kamu tahu apa tentang dia?’’
‘’Yang aku tahu, dia pria yang rajin
solat, berpendirian teguh, wawasannya luas, berbakti sama orangtua, mandiri,
penyayang lagi sama anak kecil.’’
‘’Wow...’’
Mawa
hanya tersenyum mendengar respon ku. Kakinya malah langsung mengambil langkah
seribu. Jika mataku tidak salah tangkap, ada semu memerah ketika ia
menceritakan sosok Sanni, sang macan aktivis. Rasanya tak habis difikir jika
membayangkan Mawa jatuh cinta. Bagaimanakah bidadari jatuh cinta?
©
Cuaca
siang ini sangat bagus untuk pergi jalan-jalan. Taman Kampus penuh dengan
mahaasiswa yang tak ingin melewatkan langit biru di tengah musim hujan ini.
Alih-alih berbaur, aku hanya menikmati indahnya langit dari tepi jendela. Aku
menekuk kedua tanganku kedepan, meletakkannya di tepi jendela, dan
menjadikannya bantal untuk menyandarkan kepala. Aku memejamkan mata, ingin
tidur sebentar saja.
‘’Assalamualaikum...’’
Mataku
yang baru mulai terpejam, membelalak kaget. Sosok pria berparas menawan dengan
tinggi badan normal dan posturnya yang tak jauh dari rata-rata, berjongkok di
hadapanku. Celana kain hitamnya berpadu apik dengan baju koko warna denim dan
songkok hitam dikepala.
‘’Waalaikumussalam...’’
‘’ehh maaf ganggu ya.’’
Aku
hanya tersenyum seadanya.
‘’Aku mau nawarin kegiatan Outbond
nih,, ikut ya?’’
‘’Outbond apaan?’’
‘’Ya kaya Makrab jurusan gitu
deh..’’
‘’Makrab jurusan? Kok gak ada
pengumuman resmi.’’
‘’Ada kok di grup WA, tapi
peminatnya sedikit, jadi aku bantu share langsung
ke anak-anak.’’
‘’Ohh gitu, emang kapan acaranya?’’
‘’Akhir pekan ini. Ikut ya,,
temen-temen kamu juga diajakin.’’
‘’Emang temen-temen aku bukan
temen-temen kamu?’’
‘’Ya bukannya gitu, tapi aku minta
tolong ajakin yang akhwat-akhwat, nanti kalau udah terkumpul semua kamu kasih
tahu aku. Biayanya juga gak mahal kok, Cuma 50.000-an.’’
‘’Ohh iyadeh nanti aku tanyain
temen-temen cewek.’’
‘’Syukron ya.’’
Sanni
beranjak meninggalkan ku dengan wajah berhias senyum kemenangan.
©
Hari
Minggu yang cerah, langit biru mengangkasa, awan putih menggantung dengan
indahnya. Beberapa mahasiswa sudah berkumpul di sekitar gerbang Kampus.
Segerombolan anak permpuan cekikikan di dekat toilet. Anak-anak lelaki sibuk
mengepak perlengkapan semacam tenda, senter dan peranakannya.
Aku
duduk di taman kecil di depan Kampus. Sebenarnya, aku cukup malas mengikuti
kegiatan Organisasi semacam ini. Tapi entah kenapa Mawa merengek memaksa ku
mengikuti kegiatan ini.
‘’Assalamualaikum ukhti...’’
Baru
saja aku membatin tentangnya, mendadak dia muncul memelukku dari belakang,
kebiasaannya jika bertemu denganku.
‘’Udah siap semuanya?’’
‘’Udah Alhamdulillah, kamu gimana?’’
‘’Aku juga, yaudah yukk berangkat.’’
Dengan
hati yang mencoba ikhlas aku turut bernyanyi dalam perjalanan menuju puncak
bogor. Kami mengendarai sebuah Bis berisi 30 orang peserta, 17 orang laki-laki
dan sisanya perempuan. Sepanjang jalan Sani terdengar terus menggenjreng
gitarnya dan bernyanyi bersama anak-anak lainnya. Sebuah kejutan untuk aku yang
hanya mengenal Sani sebagai sosok pendiam di balik buku-buku tebal yang biasa
ia baca.
Kejutan
yang lain adalah wajah Mawa yang terus bersemu merah dan berbinar bahagia.
Terkadang ia tersenyum sendiri dan bahkan terkikik kecil seolah malu. Bukannya
aku tak bertanya ada apa? Tap jawabannya selalu hanya gelengan atau senyum
tipis lalu ia memalingkan wajah ke jendela.
Aku
juga megalihkan pandanganku pada sosok yang selalu bersinar dimataku. Atlet
basket yang kini sibuk bercengkrama di bangku depan bersama supir Bis. Samar ku
dengar ia membahas tentang perekonomian negeri ini dan bagaimana tanggapannya
dalam perspektif Islam. Bagaimana aku terbungkam dalam diam meraba setiap gerik
polah tingkah dan tutur katanya.
‘’Alhamdulilah akhirnya sampai
juga.’’
Pandanganku
teralihkan oleh suara Bagas, si ketua panitia. Bis merangsek masuk ke sebuah
pekarangan dimana sebuah plang besar bertuliskan ‘BUMI PERKEMAHAN’ tertera di
antara pohon-pohon cemara yang mengangkasa.
Atas
perintah Bagas semua peserta segera turun ke halaman parkir. Pembagian tenda
dan rekan tenda dilakukan dengan cepat. Aku tidak terlalu mendengar
perkataanya, yang pasti aku setenda dengan Putri dan Ayu, sementara Mawa
bersama Intan dan Mila singgah di tenda paling ujung dekat tenda Sani.
©
Karena
ini hanya acara Organisasi maka tidk ada kegiatan resmi yang mengikat peserta.
Tujuan dari acara ini hanya untuk pengakraban dan refreshing di alhir semester.
Setelah memasang tenda dan membereskan barang semua peserta dibebaskan untuk
melakukan kegiatan apapun, karena acara wajib hanyalah nanti malam selepas
isya.
‘’Assalamualaikum...’’
Kepala
Sani nongol di celah tenda ku yang masih terbuka. Dia tersenyum jahil melihat
aku yang sedang membereskan barang terperanjak kaget.
‘’Astagfirullah.. Sani,
Waalaikumussalam.’’
‘’Kita mau ke air terjun di dalem
hutan nih, ikut yuk.’’
‘’Jauh enggak?’’
‘’Enggak kok.... ayo ikut aja,
akhwat banyak yang ikut kok.’’
‘’Yaudah deh aku ikut. Jangan lupa
ajak Mawa ya.’’
Seketika
dia melarikan wajahnya dari pintu tendaku dan berjalan menjauh. Meninggalakan
pertanyaan menggelayut di mimik wajahku. Sepertinya aku harus meluruskan semu
merah yang terpancar di wajah Mawa dan Sani. Jadi aku segera mengambil jaket
dari dalam tas dan berlari keluar tenda.
Anak-anak
yang lain sudah memulai langkah awal mereka masuk ke dalam hutan. Sekali lagi
aku memastikan aku menutup pintu tenda ku dengan benar sehingga jaminan aman
bisa aku kantongkan. Sedikit tergesa, aku meminta kaki ku berlari sedikit lebih
cepat untuk mengejar ketinggalanku.
Akibat
pemandangan pohon yang sama-sama menjulang tinggi dan berwarna hijau subur,
perjalan selama 40 menit menuju ke air terjun sungguh tidak terasa, meski jelas
rasa lelah menyergap di bebrapa sendi tubuh. Aku mencari sosok Mawa yang sejak
tadi tak nampak menghampiriku. Sambil menyelam minum air, sambil mencari Mawa
sekalian mencari Arjuna. Iya Arjuna, atlet basket yang diam-diam menetap di
hatiku. Anehnya kemana pun mata dan kaki ini mencari, sosk mereka berdua tak ku
temukan, sampai tak terasa aku sudah berjalan cukup jauh dari area Air Terjun.
Keringat
dingin mulai keluar dari setiap pori-pori diatas kulitku. Semua yang tampak
hanyalah pohon-pohon cemara yang sama. Aku terus menyebut asma Allah, sambil
menggenggam erat ujung lengan jaket yang ku gunakan. Kantong jaket sebelah
kanan aku rogoh, barang berbentuk persegi yang tipis namun panjang aku
raba-raba. Hampa, kantong kanan dan kiri aku raba lebih dalam tapi benda itu
tak juga aku temukan. Kaki lemas hingga membuatku jatuh terduduk, semakin
kencang dan cepat aku menyebut asma Allah.
‘’ Tiwi... Pertiwi...’’
Telinga
ku membesar coba meyakinkan bahwa benar-benar ada yang memnggilku. Kepalaku
menoleh ke kanan dan kiri. Kaki ku yang semula lemas terasa baru saja terkena
sengatan energi ribuan volt. Mataku menangkap sosok Sani yang berjalan dari
arah belakangku. Puji syukur terpanjat untuk Allah dari dalam hatiku.
‘’Kamu ngapain disini?’’
‘’Tadi aku mau nyariin Mawa tapi
malah tersesat. Kam kok bisa sampai disini?’’
‘’Ohh itu aku lagi nyariin
Arjuna,dia juga daritadi nggak ada.’’
Sekejap
kemudian kami mendengar suara dari balik pepohonan. Tak ada percakapan lebih
lanjut antara aku dan Sani. Kami sama-sama merangsek menuju ke arah suara. Kami
mengintip dari celah pohon cemara yang menjulang di hadapan kami. Arjuna dan
Mawa tampak sedang bercakap-cakap cukup serius.
‘’Aku nggak bisa Ar....’’
Garis
tegas tampak di sorot mata Mawa namun kerut keraguan menghiasi wajahnya. Arjuna
berjalan semakin dekat ke arah Mawa yang lagi-lagi bergerak mundur. Nafasku
seolah tercekat melihat sahabatku tengah berdua di tengah hutn dengan seseorang
yang telah lama aku kagumi garis sifatnya. Apa
yang terjadi antara mereka berdua?
‘’Rosemawarna As-Sa’diyah, aku
menginginkan mu untuk berjalan disampingku menemani setiap langkah ibadah ku
dan menjaga syahwat ku dari kenikmatan dunia. Ijinkan aku meminang mu untuk ku
jadikan kekasih halal ku dunia akhirat.’’
Arjuna
berdiri di depan Mawa, menggenggam kedua tangan Mawa, menatap ke dalam mata
Mawa, dan sekaligus menggerus rasa hatiku padanya. Aku berjalan mundur sambil
menutup mulut, menahan dobrakan air mata di pelupuk. Sungguh aku tak menyangka
sedalam ini rasa kagumku padanya, hingga aku begitu terluka melihatnya bersama
Mawa. Seharusnya aku bahagia melihat sahabatku di khitbah sang pujangga. Tapi
aku tak bisa, dan kaki ku memilih untuk berlari menjauh meski aku tak tahu arah
dan waktu.
Aku
berlari hingga jantungku terasa hilng dari sarangnya. Hingga kaki ku panas akan
gesekan dengan tanah. Mataku pun semakin sayu sebab air mata yang tak sedikit
pun ku bendung. Aku duduk di sebuah akar pohon yang besar. Aku tidak tahu aku
ada dimana, otakku hanya berisi bayangan Arjuna melamar Mawa yang terus
berputar bak film lawas.
Aku
menarik nafas dalam lalu menghembuskannya keluar. Semua bayangan Mawa dan
Arjuna coba aku singkirkan. Bagaimanapun aku harus tenang dan mulai berfikir
jernih. Sekarang aku benar-benar tersesat dan tak tahu harus melakukan apa.
Mata ku berputar melihat sekeliling hanya ada pohon-pohon cemara yang kian
membingungkan. Kicauan burung pun menambah rasa takut yang diam-diam tumbuh
dalam diriku.
Sudah
dua jam aku hanya duduk termenung di akar pohon ini. Otakku coba berfikir keras
mencari cara untuk keluar dari hutan cemara ini. Tapi lagi-lagi hanya bayangan
Mawa dan Arjuna yang terus berputar. Aku tidak ingin mengakui bahwa aku
menyerah dengan hal ini. Tapi sudah nampak dengan jelas bahwa aku tidak bisa
berbuat apa-apa dengan yang telah terjadi. Tiba-tiba suara daun dan ranting
patah terdengar mendekat. Tangan ku kuat mencengkram ujung kaosku. Sebuah
bayangan meloncat dari balik pohon tumbang. Aku ingin berteriak tapi suaraku
tercekat.
‘’ Alhamdulillah akhirnya ketemu
juga.’’
‘’ Sani?’’
‘’Aku kira tadi kamu balik ke air
terjun, pas sampai sana aku cari kamu gak ada.’’
‘’ Terus kamu nyari aku sampai
sini?’’
‘’Aku nggak mau menimbulkan fitnah,
jadi aku minta bantuan temen-temen yang lain, tapi sepertinya kita ditakdirkan
untuk saling menemukan.’’
Bibirku
tak tahu harus berucap apa, hingga akhirny hanya mataku yang mengeluarkan air
mata. Kepalaku menunduk malu menangis di depan Sani. Sementara Sani hanya
memandangku bngung harus berbuat apa. Tentu dia tidak akan menyentuh tubuh
wanita yang jauh dari halal untuknya.
‘’ Lho kok nangis? Jangan nagis
dong, aku kan udah ada disini.’’
‘’ Dua jam aku Cuma duduk disini.
Gak tahu harus ngapain Cuma istigfar dan sholawat.’’
‘’ Yaudah sekarang tenang aja aku
udah nandain jalannya, kita bisa pulang tanpa taku tersesat, yukk.’’
Sani
berdiri dn bersiap untuk melangkah, menginspirasi ku untuk mengikuti
langkahnya. Benar saja, di beberapa pohon ada ikatan tali merah penanda jalan.
Sani memimpin langkah di depan, sesekali berhenti dan memperhitungkan
langkahnya. Sekitar 45 menit kemudian, aku mulai bisa melihat air terjun yang
tadi kami singgahi. Beberapa orang tampak bersiaga di bibir hutan sambil
menggenggam alat komunikasi.
‘’San gimana? Ketemu nggak?
Anak-anak yang lain udah pada balik, mereka nggak nemu.’’
‘’Tuh.’’
Sani
membalas tatapan khawatir mereka dengan senyum yang menyiratkan lelah sambil
tangannya menunjuk aku yang berjalan beberapa meter dibelakangnya. Sebagian
orang menghembuskan nafas lega dan sebagian lagi menampakan wajah penasaran.
Mawa berlari menubruk tubuhku dan menautkan tangannya di leherku. Ia memelukku
begitu erat, hingga tersama sama menyesakkannya dengan kejadian siang tadi.
‘’Ya Allah Tiwi, kamu gak
kenapa-kenapa kan? Kamu dari mana aja? Aku khawatir dari tadi nyariin kamu,
pokoknya kalau kamu kenapa-kenapa, Sani harus tanggung jawab.’’
Mulut
Mawa tak dekitpun berhenti bicara, ia tak melihat mimik wajahku sama sekali.
Emosi ku tampak mendidih dan siap untuk diluapkan semuanya. Rasanya ingin aku
menamparnya seketika. Tapi iman ku terhadap Tuhan begitu kuat menahan gerakan
tanganku. Mawa hendk merangkul tangan ku ketika akhirnya aku menepisnya dan
berjalan pergi darinya.
©
Sore
ini dihabiskan dengan sholat jamaah bersama dan beberapa kajian keagamaan. Mawa
mencoba terus mendekatiku yang terus menghindar. Sedikitpun aku tidak ingin
terlibat dengannya. Intan dan Putri setia menemaniku sepanjang sore ini, mereka
bilang sangat khawatir ketika Sani mengatakan aku menghilang.
Malam
api unggun akan segera di mulai, Intan dan Putri begitu gembira sehingga
terburu-buru duduk ditepi api unggun yang bahkan belum siap dinyalakan. Aku
masih berkutat di dalam tenda, menata barangku yang sedikit berantakan. Tanpa
sepengetahuan ku Mawa masuk ke dalam tenda dan memelukku dari belakang.
‘’Kamu marah ya sama aku?’’
‘’Menurut kamu?’’
‘’Ya aku merasa kamu marah sama aku
tapi aku gak tahu kenapa?.’’
‘’Baguslah kalau kamu nggak tahu.’’
‘’Loh kok gitu sih wi, yaudah dehh
aku minta maaf ya.’’
‘’Hmmm’’
Aku
benar-benar tidak tertarik dengan permintaan maaf Mawa. Hatiku benar-benar
sakit dan terluka, tidak mungkin akan sembuh dengan hanya kata maaf bukan?.
‘’Tiwi aku mau cerita.’’
‘’Apa?’’
‘’Tadi aku dilamar seseorang, tapi
aku bingung mau jawab apa?’’
‘’Ohh.’’
‘’Kok Cuma ohh sih wi, aku butuh
pendapat kamu.’’
‘’Dengar ya Mawa aku nggak peduli
dengan masalah kamu jadi mulai sekarang jangan dekati aku lagi.’’
Barangku
sudah rapi di dalam tas dan aku segera meninggalkan Mawa di dalam tenda.
Bagaimana bisa dia bercerita tentang Arjuna yang melamarnya, sementara aku
begitu terluka melihat kejadian itu di depan mata.
‘’Assalamualaikum.’’
Sosok
Sani yang tiba-tiba mucul di pintu tenda begitu mengagetkan aku. Dia hanya
tersenyum melihat wajah ku yang pucat
karena terkejut.
‘’Waalaikumussalam.’’
‘’Kaget ya, maaf deh.’’
‘’Kamu ngapain disini?’’
‘’Nih mau ngasih kamu jaket, siapa
tahu kamu Cuma bawa satu yang kotor tadi.’’
Belum
sempat aku menjawab pernyataan Sani, Mawa sudah keburu keluar dari tenda dan
merusak mood ku yang mulai membaik dengan kehadiran Sani. Kaki ku berjalan
menjauh dari tenda dan menghampiri Intan dan Putri yang sibuk membantu Arul
menghidupkan api unggun.
©
‘’Sani, boleh aku tanya sesuatu?’’
‘’Tanya apa Mawa?’’
‘’Tadi kamu ketemu Tiwi dimana? Dia
nggak terbentur apa gitu?’’
‘’Kenapa emang? Dia bersikap aneh
sama kamu?’’
‘’Iya, dia kaya benci gitu sama
aku.’’
‘’Kita nggak boleh suudzon Mawa,
kamu mungkin yang menganggapnya berlebihan.’’
‘’Tapi dia nggak pernah kaya gini
sebelumnya,’’
‘’Mungkin dia terluka ngelihat
sahabatnya dilamar orang yang dia suka.’’
Sani
berlalu sambil mengangkat bahu, meninggalkan Mawa yang diam tertegun.
©
Api
sudah berkibardi celah-celah kayu yang ditumpuk menjulang. Masing-masing dari
kami sudah memegang jagung dan siap untuk membakarnya. Aku, Intan, dan Putri
banyak tertawa dan saling mengusii satu sama lain.
‘’ Ehh Pertiwi, kamu lagi marahan ya
sama Mawa?’’
Pertanyaan
Putri begitu menohok kerongkongan ku. Ku benar-benar tak bisa menjawabnya.
Hanya tersenyum getir menjawabnya. Luka di hati ini masih jelas terasa benar
adanya.
‘’Aku dengar Mawa selingkuh sama
Arjuna.’’
Pernyataan
Intan bahkan lebih menohok hingga ke ulu hati.
‘’Tadi waktu kami belum sadar kamu
hilang, Arjuna dan Mawa keluar dari hutan secara bersamaan. Terus tiba-tiba
Sani ribut nyariin kamu. Baru deh kita sadar kamu hilang.’’
‘’Gosipnya, Sani marah melihat Mawa
dan Arjuna jadi dia mau jadikan kamu pelampiasan.’’
‘’Apa? Maksut kalian apasih? Emang
Sani sama Mawa ada hubungan apa kok sampai Arjuna dibawa-bawa segala.’’
‘’Kamu gak tahu kalau mereka
pacaran?’’
‘’Kata siapa mereka pacaran.’’
‘’Waktu itu Arul lagi iseng
lihat-lihat koleksi fotonya Sani, ternyata mayoritas isinya fotonya Mawa,
bahkan ada folder khusus yang judulnya ‘Bidadari Dunia-ku’. Mereka juga sering
ngobrol bareng bertiga sama Arjuna. Meskipun yang diomongin masalah agama.’’
Jantungku
berdebar begitu kencang, betapa selama satu semester ini banyak hal yang tak ku
lihat dari sosok Mawa. Betapa bodohnya aku tak menyadari cinta segitiga
diantara mereka. Kenapa aku begitu bodoh menggantungkan hatiku pada sosok yang
mencari bidadari.
Rasanya
air mata ingin menetes begitu saja ketika sebuah jaket mendarat di pundak ku.
Sani duduk di batang pohon tepat di sebelah kanan ku. Pandangannya lurus
menatap api unggun. Dan di seberang pandangannya, Mawa juga menatap lurus ke
arah yang sama. Kepala Mawa bergeser sedikit ke kiri atas dan pandangan kami
bertemu. Sudah kepalang tanggung, kami saling mengunci tatap. Hingga tangan
Arjuna yang memberikan jagung bakar pada Mawa mengalihkan perhatian kami.
Reflek kepalaku menoleh ke kanan dan senyum Sani menyambut tatapan ku padanya.
Bibirku tertarik ke kanan dan kiri, menerbitkan senyum balasan pada Sani. Entah
kenapa aku merasa malu dengan senyumku hingga ku palingkan wajah dan menunduk
menyembunyikan semu merah.
Api unggun padam pukul 10:00 malam, tampaknya
banyak anggota laki-laki kelelahan karena berkeliling mencariku di dalam hutan.
Tenda-tenda juga mulai gelap 30 menit kemudian. Putri dan Intan sudah jatuh
terlelap sambil berpelukan. Aku sendiri entah kenapa tidak menemukan kantuk di
pelupuk mata. Dua jam berlalu dan aku menyerah pura-pura tidur.
Dengan
jaket Sani yang masih melekat ditubuhku aku memakai sepatu dan berjalan keluar
tenda. Mata ku melihat ke sekeliling, tampaknya semua peserta sudah terlelap
dalam tidur mereka. Kecuali satu orang yang sedang melakukan sholat sunnah
malam di dekat tendanya. Sujudnya begitu lama dan khusyuk, doanya begitu ringan
menyentuh langit. Air mata mengalir di kedua belah pipinya. Tapi ia tidak
sesenggukan, hanya menegadah tangan dan menangis dalam diam.
Aku
duduk di sebatang pohon yang potongannya mengelilingi abu api unggun.
Melihatnya bercinta dengan Tuhan membuatku iri. Air mata menggenang di sudut
mataku. Aku juga ingin sejatuh cinta itu dengan Tuhan ku. Aku juga ingin bisa
bercerita panjang lebar dalam gelap malam bersama Tuhan. Aku juga ingin menangis
sesenggukan dalam taubatku. Merasakan kebesaran dan kekuasaan Tuhan dalam
hatiku.
Beberapa
menit berlalu dan Sani berdiri dari duduknya, berdiri berbalik arah sambil
melipat sajadahnya. Dia menangkapku dengan pandangannya. Dan senyuman manisnya
membunuh lamunan ku. Kakinya menyusup ke dalam sepatu dan tangannya cekatan
menali sepatunya. Sajadah menyampir di pundaknya, dan kakinya melangkah
mendekati ku. Ia duduk bertelakan di batang pohon lainnya yang juga mengitari abu
api unggun.
‘’Masih nangisi lamaran tadi
siang?’’
‘’Ahh enggak kok. Cemburu aja sama
kamu yang lagi bercinta dengan Tuhan.’’
‘’Cemburu sama aku atau Tuhan.’’
‘’Hahahahaha apaan sih... habis
sholat Tahajud?’’
‘’Enggak... Istikharah.’’
‘’Dapat apa dari sujud mu malam
ini.’’
‘’Kamu mau tahu apa yang aku temukan
dari tetes air mata ku malam ini.’’
Baru
kali ini, Sani menatap begitu lembut kepadaku. Aku hanya mengangguk
menjawabnya.
‘’Kamu.’’
Apakah
telinga ku salah tangkap atau memang benar dia mengatakan menemukan aku.
Jawabannya sunguh membuatku melupakan cara bernafas. Tapi tetap saja aku
mengambil nafas dalam dan terus balas menatapnya.
‘’Aku menemukan mu dalam Istikharah
ku malam ini. Entah kenapa aku begitu yakin bahwa kau adalah jawabn dari
Istikharah ku. Jadi aku berharap, agar kau pun menemukan ku dalam Istikharah
mu.’’
Sani
memalingkan wajahnya berdiri dari duduknya. Ia melepas sepatu dari kakinya, dan
masuk ke dalam tenda.
Tamat
Komentar
Posting Komentar