Hitam dan Tercemar

  ' Like living in the dream.' Kabut menyelimuti langit pukul 05.30 pagi. Benda tak padat, yang tak bisa digenggam itu menelisik anggun di antara pepohonan, membuat beberapa dahan ketutupan. Seperti di dalam lukisan, kabut itu turun dari langit, ke sela sela pohon, hingga berbaur dengan orang-orang di atas tanah. Kabut datang bersama hawa dingin yang mengungkung sekujur tubuh. Seolah es yang membekukan kulit bagian luar, mendekap kuat tapi tak menghangatkan. Meski dingin menerjang, udara pagi di pegunungan tetap menawan paru paru yang penuh kepulan asap kendaraan dan tembakau bakar. Katlya duduk di pembatas jalan, merapatkan jaket yang dikenakan. Hidungnya memerah dan berlendir, pipinya dingin tapi kenyal seperti kue mochi di dalam freezer. Ia menggosokkan telapak tangannya mencari kehangatan. Seperti naga kehilangan daya, nafasnya menyemburkan asap tanpa api. "Kenapa mbak motornya? Mogok?," seorang pria paruh baya dengan celana pendek dan celurit menghampiri Katlya.

cerpen baru



Skandal Cinta Penghuni Surga
            Ada seseorang yang mengatakan, bahwa Tuhan menciptakan segalanya berpasang-pasangan. Mata sepasang, tangan sepasang, kaki sepasang, telinga sepasang, hidungpun memiliki lubang yang sepasang dan mulut memiliki bibir yang sepasang. Aku percaya bahwa Tuhan pun tak kan menciptakanku tanpa pasangan. Semua ini hanya masalah waktu, dan kesabarankupun takkan ada batasnya. Karena aku percaya, Tuhan lebih dari sekedar ada, Dia juga berkehendak.
          Jarak yang memisahkan, itu hanya omong kosong. Bahkan ketika jarak tercipta antara Adam dan Hawa, mereka tetap berjalan ke arah yang sama. Saling berlari untuk mencari, brdoa untuk bisa bersama lagi. Bahkan jika waktu ikut campur dalam kisah mereka, lihatlah bahwa waktu lantas menyerah dalam sepersekian ratus tahun saja.
          Jutaan tahun yang lalu, di tengah gurun pasir yang terik. Tanpa GPS, tanpa radar, bahkan tanpa peta sekalipun. Cinta telah menyombongkan diri mempertemukan Adam dan Hawa. Meski putus asa, menyerah, dan pasrah tak urung menghantui. Tapi dengan keyakinan yang berpihak pada cinta. Sepasang makhluk bernama manusia di pertemukan dengan penuh cinta dan kerinduan, yang dengannya tak secentipun berkurang dari hati mereka. Berapa jampun waktu menguji cinta mereka, tak satupun dari mereka yang menyerah. Tak ada harga dunia dan seisinya, mereka hanya ingin kembali bersama.
          Sama halnya dengan mereka, yang aku butuhkan hanyalah keyakinan. Biarkan ia hinggap dan menetap dalam hati mu. Entah kapan dan dimana, entah kamu atau dia, pasti akan saling menemukan. Biarkan sabar menjadi sayapmu yang meski patah akan mengantarkanmu padanya.
          Rasanya sudah siang malam aku jatuh cinta, berulang kali coba bersama, tapi Tuhan masih berkata ‘’ Bukan ‘’. Aku memang tak tahu sampai kapan harus berjuang untuk menemukan, tapi aku yakin Tuhan akan berikan. Jadi kali ini, akupun masih memberanikan diri untuk jatuh cinta. Seperti bermain ular tangga, saat aku telah memberanikan diri melempar dadu hatiku, yang aku perlu lakukan hanyalah terus berjalan. Masalah jatuh dimakan ular atau naik ke tangga pelaminan, semua adalah ranah Tuhan.  
©
‘’Siapa dia?’’
‘’Dia siapa?’’
‘’Hey,, jangan mengulangi pertanyaanku.’’
‘’Hahahaha.’’
          Kami baru saja menamatkan 2 SKS mata kuliah Filsafat Ilmu ketika Mawa menegurku yang terbengong di depan Ruang Kuliah. Sebenarnya aku tak berniat terbengong, aku hanya sedang mengunci tatap seseorang. Sosok dengan tubuh tinggi atletis, kulit putih bersih dan rambut ikal cepak. Matanya teduh menenangkan, hidungnya mancung dan tegak, bibirnya tipis dan berwarna merah muda. Jika ia tersenyum rasanya pintu surga roboh begitu saja.
‘’ Kau tidak mau menceritakannya?’’
‘’Apa yang harus ku ceritakan? Tentang kancil yang mencuri timun?’’
‘’Hahahaha.’’
          Mawa adalah sosok bidadari surga yang tinggal di dunia. Dia dilahirkan sebagai hadiah untuk setiap pria soleh yang taat pada Tuhannya. Tubuhnya sangat proporsional untukku, tidak menjulang tinggi juga tidak pendek kecil. Ia juga tidak terlalu kurus ataupun gemuk, rasanya berat dan tinggi badannya sangat ideal, Tapi ia selalu mengeluh tentang obesitas. Parasnya putih bersih menyejukkan. Bibirnya yang selalu tersenyum membuat wajahnya seolah bersinar di atas bumi yang gelap.
          Tutur katanya sangat sopan, meski bukan keturunan ningrat, tapi ia gadis jawa yang sarat akan norma dan adat jawa. Tingkah lakunya yang anggun sangat cocok dengan gamis longgar yang melekat ditubuhnya. Jilbabnya terbentang lebar, melindunginya hatinya dari nafsu yang memperbudak.
          Aku sangat berbeda jauh dengannya, aku masih belajar untuk melonggarkan pakaianku, apalagi melebarkan jilbabku. Tanganku selalu usil mengerjai orang-orang disekitarku. Mulutku sulit berhenti jika sudah berbicara. Polahku juga sangat diluar batas. Aku tidak bisa berdiam diri lama-lama, selalu saja berlarian mengusili orang-orang. Tapi aku ingin belajar untuk jadi wanita normal, yang duduk dengan anggun, berpakaian feminin, dan juga memiliki banyak pernak-pernik di meja rias.
‘’ Pantaskanlah dirimu jika kau ragu untuk mendapatkannya.’’
‘’Apasih yang kau bicarakan, Mawa?’’
‘’Sudah, jujurlah aku lebih dari sekedar sadar dengan bahasa tubuhmu.’’
‘’Bahasa tubuh apa?’’
‘’Mengaku sajalah Pertiwi, jangan membuatku menyebut namanya.’’
          Mawa mengerlingkan matanya menggodaku. Baru 6 bulan kita bersahabat, tapi dia begitu hebat dalam membaca tingkah laku ku. Mungkin dia memang benar-benar tahu bahwa aku sedang terbuai paras pujangga.
‘’Aku hanya kagum padanya, bukannya lebih.’’
‘’Tenanglah, jodoh tak kan lari kemana meski kau mengejar hingga ke ujung dunia.’’
‘’justru yang tak jodoh itu yang takkan lari kemana.’’
‘’Maksutnya?’’
‘’Yaiya, kalau tak jodoh, mau dibawa lari kemana juga tetap akan di depan mata takkan ia berpindah ke sisi kita.’’
‘’Lantas, jodoh itu tak perlu dikejar dong?’’
‘’Jodoh takkan membuat mu berlari. Dia selalu ada di tempatnya berada.’’
          Tangan Mawa bergerak merangkul pundakku, ia tersenyum malu dengan jawabanku. Baik puisi cinta, galau, picisan, sindiran, dia selalu menyukai dan menghargai karya ku. Terkadang ia akan mengunggah puisi-puisi ku di Sosial Medianya, atau menuliskan ulang di buku hariannya. Ia juga sering menemaniku berjam-jam menulis cerita, ia tak pernah bosan selalu menyemangatiku.
‘’Sebenci apapun aku padamu, aku takkan menyakitimu.’’
‘’Kenapa Mawa?’’
‘’Kau seorang penulis, jika aku menyakitimu, aku takut abadi dalam karyamu.’’
          Rangkaian kata yang ia bagi denganku memang sederhana, tapi aku tahu seberapa dalam maknanya. Rangkulan tangannya padaku pun bertalian dengan persahabatan kami. Selamanya, aku ingin selalu berbagi kasih dengannya. Meski takkan mudah untuk menyebrangi jurang perbedaan tapi itu bukan akhir persahabatan.
‘’Ujian akan segera berakhir. Berganti dengan libur panjang di kampung halaman.’’
‘’Yaa, dan jarak akan tersenyum menyambut kita di semester depan.’’
‘’Kisah kita takkan menemui akhir kan Tiwi? Bahkan hingga janah-Nya kita akan berteman.’’
‘’In Shaa Allah.’’
          Kami berjalan meninggalkan koridor kampus yang semakin sore semakin lengang. Hanya area taman dan lapangan olahraga yang masih padat dengan beberapa kelompok Mahasiswa. Salah satu yang mencuri perhatianku adalah lapangan dengan ring basket dikedua sisinya. Air tampak menggenang di beberapa sisi lapangan. Tapi itu nampaknya bukan hambatan bagi 10 orang Mahasiswa baru yang sedang berebut bola berwarna merah di tengah lapangan.
          Beberapa dari mereke bertubuh sangat atletis dan beberapa lainnya tampak gendut dan sulit bergerak. Cuaca yang sedikit mendung membuat mereka tak begitu berkeringat. Tapi nafas mereka tetap tersengal seiring tempo permainan yang terus memanas. Entah masalah terletak pada mataku atau memang sosok itu begitu menonjol diantara yang lain. Tubuhnya yang tinggi membuatnya mudah melangkah dengan lebar dan berlari meninggalkan lawannya. Pundi-pundi angka terus menerus dicetak, kedua tim bersaing cukup imbang.
‘’Mau nonton lebih dekat?’’
          Tanpa menunggu kepala ku tergerak mengangguk atau bibirku bergerak untuk berkata ‘Ya’, Mawa sudah menuntunku ke bangku penonton. Sore ini penonton memang tampak sepi, hanya ada kami dan deretan bangku yang dihuni genangan air hujan. Aku tidak bisa mengalihkan pandangan ku dari sosok dengan nomor punggung 04. Warna seragamnya hitam silver, membuat kulit putihnya semakin bersinar. Senyum manis selalu hadir diwajahnya, terutama saat jari-jarinya berhasil mendorong bola basket itu masuk ke dalam ring dan mencetak poin. Lalu teman-temannya akan berebut melakukan High Five dengannya.
‘’Ciiee yang ngelihatin melulu.’’
‘’Kamu ni kenapa sih Mawa?’’
‘’Udah ngaku aja.’’
          Senyuman Mawa terus membuat ku bersemu merah setiap saat ia menggodaku. Tawa kecilpun tak bisa ku halangi untuk terbit menjawab godaan Mawa. Lengannya terus menyikut tubuhku, membuatku semakin salah tingkah dibuatnya. Matanya juga begitu polos mengusik ke dalam hatiku.
©
          Saat hujan datang menerjang, riuh suara kahalayak pun takkan meredam segenap kehampaan yang mengakar dalam hatiku. Meski hadirnya selalu menyesakkan akan kenangan, mendesak rindu agar mengular, tapi aku tetap suka hujan. Kekuatannya dalam menantang tanah. Ricuh suaranya yang datang berbondong-bondong. Aku suka sejuk airnya yang membekukan jiwa.
‘’ Ngelamun aja neng..’’
          Sosok Mawa berbalut gamis katun berwarna marun menghampiriku yang mengakar di tepi jendela. Khimar merahnya lebar menyelubungi hatinya. Anggun melekat dengan pesonanya. Dia selalu tersenyum setiap saar menghampiriku. Wajahnya selalu bersinar menyombongkan kesederhanaan. Entah sudah berapa bidadari yang patah hati melihat sosoknya, yang pasti akupun cemburu akan akhlaknya.
‘’Kok diem aja sih?’’
‘’Enggak kok nggak papa.’’
          Aku balas tersenyum menanggapi ramah tamah basa-basinya.
‘’Kamu belakangan sering diem, kenapa sih?’’
‘’Enggak ada apa-apa kok.’’
‘’Kalau ada masalah cerita dong, jangan dipendem sendiri ya cantik.’’
‘’Iya...’’
          Lengannya lembut merangkulku, kepalanya menyender ke pundakku. Kami menikmati tetes hujan yang mengembun di lapisan kaca. Suasana kampus begitu senyap menenangkan.
          Keributan terdengar dari pekarangan kampus yang tergenang air hujan. Disusul beberapa mahasiswa berpakaian serba hitam yang berlarian. Beberapa bendera organisasi politik tampak berkibar diantara mereka. Tidak jauh dibelakangnya mahasiswa dengan pakaian serba merah coba mengejar. Wajah mereka ikut memerah sejurus dengan umpatan yang mengalir dari mulut mereka.
‘’Ada apasih?’’
          Mawa mengangkat kepalanya dan melongok keluar jendela.
‘’Ya.. biasalah. Drama politik.’’
‘’Ehh itu Sanni kan?’’
‘’Oiya ada Sanni. Ternyata dia ikut organisasi begituan ya.’’
‘’Ssst jangan suudzon.’’
‘’Kamu tahu apa tentang dia?’’
‘’Yang aku tahu, dia pria yang rajin solat, berpendirian teguh, wawasannya luas, berbakti sama orangtua, mandiri, penyayang lagi sama anak kecil.’’
‘’Wow...’’
          Mawa hanya tersenyum mendengar respon ku. Kakinya malah langsung mengambil langkah seribu. Jika mataku tidak salah tangkap, ada semu memerah ketika ia menceritakan sosok Sanni, sang macan aktivis. Rasanya tak habis difikir jika membayangkan Mawa jatuh cinta. Bagaimanakah bidadari jatuh cinta?
©
          Cuaca siang ini sangat bagus untuk pergi jalan-jalan. Taman Kampus penuh dengan mahaasiswa yang tak ingin melewatkan langit biru di tengah musim hujan ini. Alih-alih berbaur, aku hanya menikmati indahnya langit dari tepi jendela. Aku menekuk kedua tanganku kedepan, meletakkannya di tepi jendela, dan menjadikannya bantal untuk menyandarkan kepala. Aku memejamkan mata, ingin tidur sebentar saja.         
 ‘’Assalamualaikum...’’
          Mataku yang baru mulai terpejam, membelalak kaget. Sosok pria berparas menawan dengan tinggi badan normal dan posturnya yang tak jauh dari rata-rata, berjongkok di hadapanku. Celana kain hitamnya berpadu apik dengan baju koko warna denim dan songkok hitam dikepala.
‘’Waalaikumussalam...’’
‘’ehh maaf ganggu ya.’’
          Aku hanya tersenyum seadanya.
‘’Aku mau nawarin kegiatan Outbond nih,, ikut ya?’’
‘’Outbond apaan?’’
‘’Ya kaya Makrab jurusan gitu deh..’’
‘’Makrab jurusan? Kok gak ada pengumuman resmi.’’
‘’Ada kok di grup WA, tapi peminatnya sedikit, jadi aku bantu share langsung ke anak-anak.’’
‘’Ohh gitu, emang kapan acaranya?’’
‘’Akhir pekan ini. Ikut ya,, temen-temen kamu juga diajakin.’’
‘’Emang temen-temen aku bukan temen-temen kamu?’’
‘’Ya bukannya gitu, tapi aku minta tolong ajakin yang akhwat-akhwat, nanti kalau udah terkumpul semua kamu kasih tahu aku. Biayanya juga gak mahal kok, Cuma 50.000-an.’’
‘’Ohh iyadeh nanti aku tanyain temen-temen cewek.’’
‘’Syukron ya.’’
          Sanni beranjak meninggalkan ku dengan wajah berhias senyum kemenangan.
©
          Hari Minggu yang cerah, langit biru mengangkasa, awan putih menggantung dengan indahnya. Beberapa mahasiswa sudah berkumpul di sekitar gerbang Kampus. Segerombolan anak permpuan cekikikan di dekat toilet. Anak-anak lelaki sibuk mengepak perlengkapan semacam tenda, senter dan peranakannya.
          Aku duduk di taman kecil di depan Kampus. Sebenarnya, aku cukup malas mengikuti kegiatan Organisasi semacam ini. Tapi entah kenapa Mawa merengek memaksa ku mengikuti kegiatan ini.
‘’Assalamualaikum ukhti...’’
          Baru saja aku membatin tentangnya, mendadak dia muncul memelukku dari belakang, kebiasaannya jika bertemu denganku.
‘’Udah siap semuanya?’’
‘’Udah Alhamdulillah, kamu gimana?’’
‘’Aku juga, yaudah yukk berangkat.’’
          Dengan hati yang mencoba ikhlas aku turut bernyanyi dalam perjalanan menuju puncak bogor. Kami mengendarai sebuah Bis berisi 30 orang peserta, 17 orang laki-laki dan sisanya perempuan. Sepanjang jalan Sani terdengar terus menggenjreng gitarnya dan bernyanyi bersama anak-anak lainnya. Sebuah kejutan untuk aku yang hanya mengenal Sani sebagai sosok pendiam di balik buku-buku tebal yang biasa ia baca.
          Kejutan yang lain adalah wajah Mawa yang terus bersemu merah dan berbinar bahagia. Terkadang ia tersenyum sendiri dan bahkan terkikik kecil seolah malu. Bukannya aku tak bertanya ada apa? Tap jawabannya selalu hanya gelengan atau senyum tipis lalu ia memalingkan wajah ke jendela.
          Aku juga megalihkan pandanganku pada sosok yang selalu bersinar dimataku. Atlet basket yang kini sibuk bercengkrama di bangku depan bersama supir Bis. Samar ku dengar ia membahas tentang perekonomian negeri ini dan bagaimana tanggapannya dalam perspektif Islam. Bagaimana aku terbungkam dalam diam meraba setiap gerik polah tingkah dan tutur katanya.
‘’Alhamdulilah akhirnya sampai juga.’’
          Pandanganku teralihkan oleh suara Bagas, si ketua panitia. Bis merangsek masuk ke sebuah pekarangan dimana sebuah plang besar bertuliskan ‘BUMI PERKEMAHAN’ tertera di antara pohon-pohon cemara yang mengangkasa.
          Atas perintah Bagas semua peserta segera turun ke halaman parkir. Pembagian tenda dan rekan tenda dilakukan dengan cepat. Aku tidak terlalu mendengar perkataanya, yang pasti aku setenda dengan Putri dan Ayu, sementara Mawa bersama Intan dan Mila singgah di tenda paling ujung dekat tenda Sani.
©
          Karena ini hanya acara Organisasi maka tidk ada kegiatan resmi yang mengikat peserta. Tujuan dari acara ini hanya untuk pengakraban dan refreshing di alhir semester. Setelah memasang tenda dan membereskan barang semua peserta dibebaskan untuk melakukan kegiatan apapun, karena acara wajib hanyalah nanti malam selepas isya. 
‘’Assalamualaikum...’’
          Kepala Sani nongol di celah tenda ku yang masih terbuka. Dia tersenyum jahil melihat aku yang sedang membereskan barang terperanjak kaget.
‘’Astagfirullah.. Sani, Waalaikumussalam.’’
‘’Kita mau ke air terjun di dalem hutan nih, ikut yuk.’’
‘’Jauh enggak?’’
‘’Enggak kok.... ayo ikut aja, akhwat banyak yang ikut kok.’’
‘’Yaudah deh aku ikut. Jangan lupa ajak Mawa ya.’’
          Seketika dia melarikan wajahnya dari pintu tendaku dan berjalan menjauh. Meninggalakan pertanyaan menggelayut di mimik wajahku. Sepertinya aku harus meluruskan semu merah yang terpancar di wajah Mawa dan Sani. Jadi aku segera mengambil jaket dari dalam tas dan berlari keluar tenda.
          Anak-anak yang lain sudah memulai langkah awal mereka masuk ke dalam hutan. Sekali lagi aku memastikan aku menutup pintu tenda ku dengan benar sehingga jaminan aman bisa aku kantongkan. Sedikit tergesa, aku meminta kaki ku berlari sedikit lebih cepat untuk mengejar ketinggalanku.
          Akibat pemandangan pohon yang sama-sama menjulang tinggi dan berwarna hijau subur, perjalan selama 40 menit menuju ke air terjun sungguh tidak terasa, meski jelas rasa lelah menyergap di bebrapa sendi tubuh. Aku mencari sosok Mawa yang sejak tadi tak nampak menghampiriku. Sambil menyelam minum air, sambil mencari Mawa sekalian mencari Arjuna. Iya Arjuna, atlet basket yang diam-diam menetap di hatiku. Anehnya kemana pun mata dan kaki ini mencari, sosk mereka berdua tak ku temukan, sampai tak terasa aku sudah berjalan cukup jauh dari area Air Terjun.
          Keringat dingin mulai keluar dari setiap pori-pori diatas kulitku. Semua yang tampak hanyalah pohon-pohon cemara yang sama. Aku terus menyebut asma Allah, sambil menggenggam erat ujung lengan jaket yang ku gunakan. Kantong jaket sebelah kanan aku rogoh, barang berbentuk persegi yang tipis namun panjang aku raba-raba. Hampa, kantong kanan dan kiri aku raba lebih dalam tapi benda itu tak juga aku temukan. Kaki lemas hingga membuatku jatuh terduduk, semakin kencang dan cepat aku menyebut asma Allah.
‘’ Tiwi... Pertiwi...’’
          Telinga ku membesar coba meyakinkan bahwa benar-benar ada yang memnggilku. Kepalaku menoleh ke kanan dan kiri. Kaki ku yang semula lemas terasa baru saja terkena sengatan energi ribuan volt. Mataku menangkap sosok Sani yang berjalan dari arah belakangku. Puji syukur terpanjat untuk Allah dari dalam hatiku.
‘’Kamu ngapain disini?’’
‘’Tadi aku mau nyariin Mawa tapi malah tersesat. Kam kok bisa sampai disini?’’
‘’Ohh itu aku lagi nyariin Arjuna,dia juga daritadi nggak ada.’’

          Sekejap kemudian kami mendengar suara dari balik pepohonan. Tak ada percakapan lebih lanjut antara aku dan Sani. Kami sama-sama merangsek menuju ke arah suara. Kami mengintip dari celah pohon cemara yang menjulang di hadapan kami. Arjuna dan Mawa tampak sedang bercakap-cakap cukup serius.
‘’Aku nggak bisa Ar....’’
          Garis tegas tampak di sorot mata Mawa namun kerut keraguan menghiasi wajahnya. Arjuna berjalan semakin dekat ke arah Mawa yang lagi-lagi bergerak mundur. Nafasku seolah tercekat melihat sahabatku tengah berdua di tengah hutn dengan seseorang yang telah lama aku kagumi garis sifatnya. Apa yang terjadi antara mereka berdua?
‘’Rosemawarna As-Sa’diyah, aku menginginkan mu untuk berjalan disampingku menemani setiap langkah ibadah ku dan menjaga syahwat ku dari kenikmatan dunia. Ijinkan aku meminang mu untuk ku jadikan kekasih halal ku dunia akhirat.’’
          Arjuna berdiri di depan Mawa, menggenggam kedua tangan Mawa, menatap ke dalam mata Mawa, dan sekaligus menggerus rasa hatiku padanya. Aku berjalan mundur sambil menutup mulut, menahan dobrakan air mata di pelupuk. Sungguh aku tak menyangka sedalam ini rasa kagumku padanya, hingga aku begitu terluka melihatnya bersama Mawa. Seharusnya aku bahagia melihat sahabatku di khitbah sang pujangga. Tapi aku tak bisa, dan kaki ku memilih untuk berlari menjauh meski aku tak tahu arah dan waktu.
          Aku berlari hingga jantungku terasa hilng dari sarangnya. Hingga kaki ku panas akan gesekan dengan tanah. Mataku pun semakin sayu sebab air mata yang tak sedikit pun ku bendung. Aku duduk di sebuah akar pohon yang besar. Aku tidak tahu aku ada dimana, otakku hanya berisi bayangan Arjuna melamar Mawa yang terus berputar bak film lawas.  
          Aku menarik nafas dalam lalu menghembuskannya keluar. Semua bayangan Mawa dan Arjuna coba aku singkirkan. Bagaimanapun aku harus tenang dan mulai berfikir jernih. Sekarang aku benar-benar tersesat dan tak tahu harus melakukan apa. Mata ku berputar melihat sekeliling hanya ada pohon-pohon cemara yang kian membingungkan. Kicauan burung pun menambah rasa takut yang diam-diam tumbuh dalam diriku.
          Sudah dua jam aku hanya duduk termenung di akar pohon ini. Otakku coba berfikir keras mencari cara untuk keluar dari hutan cemara ini. Tapi lagi-lagi hanya bayangan Mawa dan Arjuna yang terus berputar. Aku tidak ingin mengakui bahwa aku menyerah dengan hal ini. Tapi sudah nampak dengan jelas bahwa aku tidak bisa berbuat apa-apa dengan yang telah terjadi. Tiba-tiba suara daun dan ranting patah terdengar mendekat. Tangan ku kuat mencengkram ujung kaosku. Sebuah bayangan meloncat dari balik pohon tumbang. Aku ingin berteriak tapi suaraku tercekat.
‘’ Alhamdulillah akhirnya ketemu juga.’’
‘’ Sani?’’
‘’Aku kira tadi kamu balik ke air terjun, pas sampai sana aku cari kamu gak ada.’’
‘’ Terus kamu nyari aku sampai sini?’’
‘’Aku nggak mau menimbulkan fitnah, jadi aku minta bantuan temen-temen yang lain, tapi sepertinya kita ditakdirkan untuk saling menemukan.’’
          Bibirku tak tahu harus berucap apa, hingga akhirny hanya mataku yang mengeluarkan air mata. Kepalaku menunduk malu menangis di depan Sani. Sementara Sani hanya memandangku bngung harus berbuat apa. Tentu dia tidak akan menyentuh tubuh wanita yang jauh dari halal untuknya.
‘’ Lho kok nangis? Jangan nagis dong, aku kan udah ada disini.’’
‘’ Dua jam aku Cuma duduk disini. Gak tahu harus ngapain Cuma istigfar dan sholawat.’’
‘’ Yaudah sekarang tenang aja aku udah nandain jalannya, kita bisa pulang tanpa taku tersesat, yukk.’’
          Sani berdiri dn bersiap untuk melangkah, menginspirasi ku untuk mengikuti langkahnya. Benar saja, di beberapa pohon ada ikatan tali merah penanda jalan. Sani memimpin langkah di depan, sesekali berhenti dan memperhitungkan langkahnya. Sekitar 45 menit kemudian, aku mulai bisa melihat air terjun yang tadi kami singgahi. Beberapa orang tampak bersiaga di bibir hutan sambil menggenggam alat komunikasi.
‘’San gimana? Ketemu nggak? Anak-anak yang lain udah pada balik, mereka nggak nemu.’’
‘’Tuh.’’
          Sani membalas tatapan khawatir mereka dengan senyum yang menyiratkan lelah sambil tangannya menunjuk aku yang berjalan beberapa meter dibelakangnya. Sebagian orang menghembuskan nafas lega dan sebagian lagi menampakan wajah penasaran. Mawa berlari menubruk tubuhku dan menautkan tangannya di leherku. Ia memelukku begitu erat, hingga tersama sama menyesakkannya dengan kejadian siang tadi.
‘’Ya Allah Tiwi, kamu gak kenapa-kenapa kan? Kamu dari mana aja? Aku khawatir dari tadi nyariin kamu, pokoknya kalau kamu kenapa-kenapa, Sani harus tanggung jawab.’’
          Mulut Mawa tak dekitpun berhenti bicara, ia tak melihat mimik wajahku sama sekali. Emosi ku tampak mendidih dan siap untuk diluapkan semuanya. Rasanya ingin aku menamparnya seketika. Tapi iman ku terhadap Tuhan begitu kuat menahan gerakan tanganku. Mawa hendk merangkul tangan ku ketika akhirnya aku menepisnya dan berjalan pergi darinya.
©
          Sore ini dihabiskan dengan sholat jamaah bersama dan beberapa kajian keagamaan. Mawa mencoba terus mendekatiku yang terus menghindar. Sedikitpun aku tidak ingin terlibat dengannya. Intan dan Putri setia menemaniku sepanjang sore ini, mereka bilang sangat khawatir ketika Sani mengatakan aku menghilang.
          Malam api unggun akan segera di mulai, Intan dan Putri begitu gembira sehingga terburu-buru duduk ditepi api unggun yang bahkan belum siap dinyalakan. Aku masih berkutat di dalam tenda, menata barangku yang sedikit berantakan. Tanpa sepengetahuan ku Mawa masuk ke dalam tenda dan memelukku dari belakang.
‘’Kamu marah ya sama aku?’’
‘’Menurut kamu?’’
‘’Ya aku merasa kamu marah sama aku tapi aku gak tahu kenapa?.’’
‘’Baguslah kalau kamu nggak tahu.’’
‘’Loh kok gitu sih wi, yaudah dehh aku minta maaf ya.’’
‘’Hmmm’’
          Aku benar-benar tidak tertarik dengan permintaan maaf Mawa. Hatiku benar-benar sakit dan terluka, tidak mungkin akan sembuh dengan hanya kata maaf bukan?.
‘’Tiwi aku mau cerita.’’
‘’Apa?’’
‘’Tadi aku dilamar seseorang, tapi aku bingung mau jawab apa?’’
‘’Ohh.’’
‘’Kok Cuma ohh sih wi, aku butuh pendapat kamu.’’
‘’Dengar ya Mawa aku nggak peduli dengan masalah kamu jadi mulai sekarang jangan dekati aku lagi.’’
          Barangku sudah rapi di dalam tas dan aku segera meninggalkan Mawa di dalam tenda. Bagaimana bisa dia bercerita tentang Arjuna yang melamarnya, sementara aku begitu terluka melihat kejadian itu di depan mata.
‘’Assalamualaikum.’’
          Sosok Sani yang tiba-tiba mucul di pintu tenda begitu mengagetkan aku. Dia hanya tersenyum melihat  wajah ku yang pucat karena terkejut.
‘’Waalaikumussalam.’’
‘’Kaget ya, maaf deh.’’
‘’Kamu ngapain disini?’’
‘’Nih mau ngasih kamu jaket, siapa tahu kamu Cuma bawa satu yang kotor tadi.’’
          Belum sempat aku menjawab pernyataan Sani, Mawa sudah keburu keluar dari tenda dan merusak mood ku yang mulai membaik dengan kehadiran Sani. Kaki ku berjalan menjauh dari tenda dan menghampiri Intan dan Putri yang sibuk membantu Arul menghidupkan api unggun.
©
‘’Sani, boleh aku tanya sesuatu?’’
‘’Tanya apa Mawa?’’
‘’Tadi kamu ketemu Tiwi dimana? Dia nggak terbentur apa gitu?’’
‘’Kenapa emang? Dia bersikap aneh sama kamu?’’
‘’Iya, dia kaya benci gitu sama aku.’’
‘’Kita nggak boleh suudzon Mawa, kamu mungkin yang menganggapnya berlebihan.’’
‘’Tapi dia nggak pernah kaya gini sebelumnya,’’
‘’Mungkin dia terluka ngelihat sahabatnya dilamar orang yang dia suka.’’
          Sani berlalu sambil mengangkat bahu, meninggalkan Mawa yang diam tertegun.
©
          Api sudah berkibardi celah-celah kayu yang ditumpuk menjulang. Masing-masing dari kami sudah memegang jagung dan siap untuk membakarnya. Aku, Intan, dan Putri banyak tertawa dan saling mengusii satu sama lain.
‘’ Ehh Pertiwi, kamu lagi marahan ya sama Mawa?’’
          Pertanyaan Putri begitu menohok kerongkongan ku. Ku benar-benar tak bisa menjawabnya. Hanya tersenyum getir menjawabnya. Luka di hati ini masih jelas terasa benar adanya.
‘’Aku dengar Mawa selingkuh sama Arjuna.’’
          Pernyataan Intan bahkan lebih menohok hingga ke ulu hati.
‘’Tadi waktu kami belum sadar kamu hilang, Arjuna dan Mawa keluar dari hutan secara bersamaan. Terus tiba-tiba Sani ribut nyariin kamu. Baru deh kita sadar kamu hilang.’’
‘’Gosipnya, Sani marah melihat Mawa dan Arjuna jadi dia mau jadikan kamu pelampiasan.’’
‘’Apa? Maksut kalian apasih? Emang Sani sama Mawa ada hubungan apa kok sampai Arjuna dibawa-bawa segala.’’
‘’Kamu gak tahu kalau mereka pacaran?’’
‘’Kata siapa mereka pacaran.’’
‘’Waktu itu Arul lagi iseng lihat-lihat koleksi fotonya Sani, ternyata mayoritas isinya fotonya Mawa, bahkan ada folder khusus yang judulnya ‘Bidadari Dunia-ku’. Mereka juga sering ngobrol bareng bertiga sama Arjuna. Meskipun yang diomongin masalah agama.’’
          Jantungku berdebar begitu kencang, betapa selama satu semester ini banyak hal yang tak ku lihat dari sosok Mawa. Betapa bodohnya aku tak menyadari cinta segitiga diantara mereka. Kenapa aku begitu bodoh menggantungkan hatiku pada sosok yang mencari bidadari.
          Rasanya air mata ingin menetes begitu saja ketika sebuah jaket mendarat di pundak ku. Sani duduk di batang pohon tepat di sebelah kanan ku. Pandangannya lurus menatap api unggun. Dan di seberang pandangannya, Mawa juga menatap lurus ke arah yang sama. Kepala Mawa bergeser sedikit ke kiri atas dan pandangan kami bertemu. Sudah kepalang tanggung, kami saling mengunci tatap. Hingga tangan Arjuna yang memberikan jagung bakar pada Mawa mengalihkan perhatian kami. Reflek kepalaku menoleh ke kanan dan senyum Sani menyambut tatapan ku padanya. Bibirku tertarik ke kanan dan kiri, menerbitkan senyum balasan pada Sani. Entah kenapa aku merasa malu dengan senyumku hingga ku palingkan wajah dan menunduk menyembunyikan semu merah.  
           Api unggun padam pukul 10:00 malam, tampaknya banyak anggota laki-laki kelelahan karena berkeliling mencariku di dalam hutan. Tenda-tenda juga mulai gelap 30 menit kemudian. Putri dan Intan sudah jatuh terlelap sambil berpelukan. Aku sendiri entah kenapa tidak menemukan kantuk di pelupuk mata. Dua jam berlalu dan aku menyerah pura-pura tidur.
          Dengan jaket Sani yang masih melekat ditubuhku aku memakai sepatu dan berjalan keluar tenda. Mata ku melihat ke sekeliling, tampaknya semua peserta sudah terlelap dalam tidur mereka. Kecuali satu orang yang sedang melakukan sholat sunnah malam di dekat tendanya. Sujudnya begitu lama dan khusyuk, doanya begitu ringan menyentuh langit. Air mata mengalir di kedua belah pipinya. Tapi ia tidak sesenggukan, hanya menegadah tangan dan menangis dalam diam.
          Aku duduk di sebatang pohon yang potongannya mengelilingi abu api unggun. Melihatnya bercinta dengan Tuhan membuatku iri. Air mata menggenang di sudut mataku. Aku juga ingin sejatuh cinta itu dengan Tuhan ku. Aku juga ingin bisa bercerita panjang lebar dalam gelap malam bersama Tuhan. Aku juga ingin menangis sesenggukan dalam taubatku. Merasakan kebesaran dan kekuasaan Tuhan dalam hatiku.
          Beberapa menit berlalu dan Sani berdiri dari duduknya, berdiri berbalik arah sambil melipat sajadahnya. Dia menangkapku dengan pandangannya. Dan senyuman manisnya membunuh lamunan ku. Kakinya menyusup ke dalam sepatu dan tangannya cekatan menali sepatunya. Sajadah menyampir di pundaknya, dan kakinya melangkah mendekati ku. Ia duduk bertelakan di batang pohon lainnya yang juga mengitari abu api unggun.
‘’Masih nangisi lamaran tadi siang?’’
‘’Ahh enggak kok. Cemburu aja sama kamu yang lagi bercinta dengan Tuhan.’’
‘’Cemburu sama aku atau Tuhan.’’
‘’Hahahahaha apaan sih... habis sholat Tahajud?’’
‘’Enggak... Istikharah.’’
‘’Dapat apa dari sujud mu malam ini.’’
‘’Kamu mau tahu apa yang aku temukan dari tetes air mata ku malam ini.’’
          Baru kali ini, Sani menatap begitu lembut kepadaku. Aku hanya mengangguk menjawabnya.
‘’Kamu.’’
          Apakah telinga ku salah tangkap atau memang benar dia mengatakan menemukan aku. Jawabannya sunguh membuatku melupakan cara bernafas. Tapi tetap saja aku mengambil nafas dalam dan terus balas menatapnya.
‘’Aku menemukan mu dalam Istikharah ku malam ini. Entah kenapa aku begitu yakin bahwa kau adalah jawabn dari Istikharah ku. Jadi aku berharap, agar kau pun menemukan ku dalam Istikharah mu.’’
          Sani memalingkan wajahnya berdiri dari duduknya. Ia melepas sepatu dari kakinya, dan masuk ke dalam tenda.
Tamat

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGEN DISAYANG TAPI OGAH PACARAN

Corona dan Manusia

Sebuah Skenario Kematian